Begitu Banyak Kesedihan Dalam Merindukanmu
Bab 1: Anak Baru dan Lagu Vina di Kantin yang Tak Lagi Punya Kursi Kosong
Dia Ratna.
Ratna Pramudya Wardhanie. Lahir dan besar di Jakarta. Baru pindah pas awal tahun ajaran baru. Anak baru, tapi langsung ngetop di sekolah.
Dia jago main basket. Pernah one-on-one sama salah satu pentolan basket cowok di sekolahku, dan cuma kalah tipis.
Ratna bukan cewek paling cantik di angkatanku.
Tapi dia yang paling sering bikin orang salah tingkah.
Wajahnya kalem, putih, rambut panjang.
Sering pakai head band kalau lagi basketan---mirip yang dipake Andre Agassi.
Dan entah kenapa, setiap kali dia basketan di lapangan, cowok-cowok yang tadinya cuek bisa jadi penonton diam.
Atau kalau dia lewat lorong dan melirik sedikit,
banyak yang langsung nunduk.
Bukan karena malu, tapi takut ketahuan... berharap.
Dan justru itu yang bikin dia menarik.
Bapaknya Kepala Bea dan Cukai Jambi waktu itu.
Anak tunggal, rumahnya di antara Museum Jambi dan Hotel Telanai.
Katanya, dia pindahan dari SMA swasta ngetop di Jakarta.
Aku tahu sekolah itu. Ada di belakang Sarinah---kebetulan deket rumah sepupuku, nggak jauh dari Pisa Cafe.
Anak-anak di markas selalu bilang,
"Ngga bisa tuh dideketin, Ga. Beda level."
Dan mungkin mereka benar.
Aku ingat, ada satu temanku---Trijuli namanya.
Waktu Ratna baru dua minggu pindah ke sekolah kami,
si Trijuli nekat ngasih surat cinta.
Ditulis tangan, pakai kertas binder bergaris biru,
dilipat segitiga, dan diberikan pas Ratna lagi duduk di kantin.
Yang lucu?
Suratnya malah dibuka langsung di depan Trijuli.
Dibaca pelan-pelan, dengan suara lembut yang bikin makin pedih.
Lalu ditolak.
Tanpa drama. Tanpa janji-janji manis.
Cuma senyum kecil dan kata: "Maaf, aku nggak bisa."
Kami semua nahan ketawa di balik tiang koridor.
Dan aku sempat nyeletuk,
"Kalau tampang lo kayak Ongky Boy, Â yah nggak apa-apa semua cewek cakep lo suratin."