Mohon tunggu...
Asep B
Asep B Mohon Tunggu... Editor - Asep Burhanudin mantan wartawan yang masih giat menulis

Ada bersahaja

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

(1) Menyusuri Dalamnya Papua, Papua Sungguh Eksotis

16 Mei 2016   18:19 Diperbarui: 16 Mei 2016   18:25 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Persiapan: Perjalanan jauh dan lama menjadikan saya harus membawa akomodasi untuk satu bulan di Papua (pribadi)

Cukup lama kita mengurus barang bawaan pribadi dan barang milik bersama. Ini dikarenakan perwakilan atau orang kita di sana hanya seorang diri. Dia lebih mengutaamakan mencari mobil carteran tambahan untuk melanjutkan perjalan kami ke tempat tujuan, yakni Karubaga, Ibu Kota Tolikara. Katanya, mobil yang semula dia carter 5 unit ditaksir tidak bakalan cukup, sehingga harus ditambah 3 unitan lagi. Lagi-lagi karena udara yang dingin dan segar menjadikan saya dan rombongan tetap dibuat betah, sekalipun tertahan beberapa jam. Saya lebih banyak mengabadikan aktifitas warga lokal yang menjual pinang, jeruk dan kerajinan untuk buah tangan wisatawan di pinggir jalan.

Persimpangan Jalan ( pribadi)
Persimpangan Jalan ( pribadi)
Tak terasa waktu sudah menunjukan pukul 16.30. Barang sudah terkemas di belakang mobil carteran. Unik memang mobil angkutan umum di sini, semuanya double cabin dan double gardan. Di Jawa mobil type ini tergolong kendaraan mewah, hanya orang tertentu yang memilikinya. Di sini, ternyata dijadikan angkutatan umum. Mereka sudah biasa duduk di bak terbuka bila dalam cabin penuh penumpang.

Kabut mulai turun, udara dingin mulai menusuk persendian tulang. Jacket yang sejak awal nempel rapat di badan rupanya tak bisa mengusir seluruh hawa dingin pegunungan Wamena. Hal ini menjadikan waktu makan dipercepat. Ada beberapa rumah makan yang katanya sudah menjadi langganan pelancong di Wamena. Kami lebih memilih restauran yang berada di kompleks Hotel Baliem Pilamo. Katanya selain bersih, masakannya pun cukup enak dan beragam menu pilihan. Benar juga, setiba di sana, ruangan restouran cukup representatif. Jejeran kursi bisa menampung 40 orangan, ditambah aneka menu yang banyak. Di antara menu khas Wamena, yakni Udang selingkuh bakar atau ikan nila goreng. Udang selingkuh, begitu dinamainya, karena badannya udang sementara kakinya mirip kepiting, katanya seperti akibat perselingkuhannya. Ada-ada saja!!!

Hujan mulai turun sementara kabut semakin tebal menjadikan kami enggan untuk meninggalkan ruang makan. Saya mulai menangkap ada ketidakberesan ketika melihat beberapa sopir carteran berbisik - bisik di antara mereka. Saya coba hampiri, dan sempat dibuat kaget ketika seorang di antara mereka mengatakan enggan melanjutkan perjalanan dengan cuaca seperti ini. Katanya cukup riskan memaksakan jalan dengan cuaca seperti begini. Mereka mengkhawatirkan kabut akan semakin tebal ketika sudah sampai di pertengahan jalan nanti. Daerah yang mereka khawatirkan yakni lintasan Puncak Mega. Puncak Mega menurutnya, salah satu pegunungan lebat yang ketinggiannya 3.000 meter di atas permukaan air laut. Tak ada kendaraan yang berani lewat bila kabut sudah turun, terlebih di malam hari. Selain kiri kananya jurang curam, faktor keamanan lain, yang enggan mereka jelaskan. Nah lho, kalau untuk uruan ini kami akhinya sepakat menginap di Wamena dulu.

Double Gardan: Medan yang berat menjadikan hanya kendaraan double gardan seperti ini yang mampu menembus Papua Pegunungan Tengah (Asep Burhanudin)
Double Gardan: Medan yang berat menjadikan hanya kendaraan double gardan seperti ini yang mampu menembus Papua Pegunungan Tengah (Asep Burhanudin)
Jalur Puncak Mega, ketika itu belum diaspal, cukup lebar dan bisa dilalui dua kendaraan besar saat berpapasan. Di jalur ini sering terjadi kecelakaan karena  sering berkabut baik siang, terlebih malam haru. Sebagai pengingat pengendara di pinggir jalan teronggok puing bekas mobil yang sudah tak berbentuk akibat terjun ke bawah.

Menginap di Wamena

Masih untung hotel Baliem Pilamo sedang tidak banyak tamu, sehingga dengan kamar pas- pasan kami pun langsung check in di hotel ini yang untuk ukuran Wamena tergolong paling bagus dan lengkap.Cuaca dingin, sekalipun kamar hotel tanpa AC menjadikan rombongan kami sepertinya lebih banyak mengurung diri di dalam kamar dari pada keluar untuk jalan jalan. Mungkin, hanya satu dua orang yang mencoba ke luar ruangan, itu pun sebatas di teras dalam untuk merokok saja.

Hujan mulai reda dan kabut pun perlahan mulai sirna. Waktu itu baru menunjukan pukul 20.00 WIT. Jalan sudah mulai lenggang, hanya satu dua motor melewati jalan depan hotel. Atas ajakan teman se kamar, saya akhirnya keluar untuk melihat kota Wamena di malam hari. Jaket tebal lagi- lagi masih dirasa kurang, namun tidak mengurungkan niat kami untuk sekedar menuju satu- satunya super market yang masih buka di sana. Jangan harap Mol segede dan selengkap di kita, Mol Rotan, namanya, merupakan satu-satunya yang ada di Wamena dan masih buka. Tak banyak warga lokal yang belanja di sana, hanya beberapa pendatang yang terlihat belanja kebutuhan sehari hari. Beberapa turis bule terlihat belanja yang sama dengan kita. Menilik pakaiannya, mereka pun sama seperti kita, mau melanjutkan perjalanan ke pedalaman Papua.


Melanjutkan Perjalanan

Pagi buta saya sudah berkemas, air panas hotel cukup membantu untuk membasuh badan kami yang sudah hampir 24 jam tak dibersihkan. Tepat pukul.08.00 kami berangkat dengan 7 unit mobil double gardan konvoi beriringan. Mobil kami rata rata keluaran terbaru. Namun karena kurang perawatan dan dijadikan omprengan, bau apek pun selalu menusuk hidung dari balik jok mobil mahal ini.

Istirahat: Sejenak istirahat sebelum melanjukan kembali perjalanan (Asep Burhanudin)
Istirahat: Sejenak istirahat sebelum melanjukan kembali perjalanan (Asep Burhanudin)
Dari Wamena ke pertigaan menuju Bokondini jalan masih terasa mulus, sekalipun beberapa ruas jalan mulai mengelupaskan aspalnya. Jalan mulai menjadi tantangan rombongan kami setelah melewati pertigaan itu. Udara segar dan pemandangan yang bagus kerap dirusak dengan guncagan mobil akibat jalannya yang licin dan berlubang. Saking besarnya lubang saya harus selalu waspada menutup kaca samping. Kalau tidak, air bercampur lumpur pasti masuk ke dalam. Sopir rupanya sudah biasa menghadapi medan seperti ini. Tanpa keluhan dia sigap mengatur gigi tambahan manakala mendapat jalan berlubang penuh kubangan air dan terus menanjak.

Jalan Mobil Tertinggi di Indonesia

Jalan rusak tak henti- hetinya terus diterjang, beberapa jembatan pun banyak terputus akibat gerusan air. Akibatnya, warna mobil sudah tidak kelihatan aslinya, tertutup lumpur hitam pekat. Untuk melewati beberapal ruas jalan malahan kami terpaksa harus mendorong kendaraan saking gedenya kubangan.Tiga jam kemudian kami baru tiba di puncak gunung yang dinamai Puncak Mega yang berketinggian 3.000 MDL tadi. Saking tingginya permukaan jalan di sini, udara terasa dingin padahal waktu masih menunjukan pukul 11.00 siang. Merasa aneh jalan mobil melintas di ketinggian seperti ini menjadikan kami berhenti untuk sekedar menikmati dinginnya udara serta gugusan pegunungan dari ketinggian. Sebagai perbandingan, di Jawa Barat, puncak Gunung tertingginya saja, seperti Ciremai sekitar 2.650 MDPL. Untuk mencapai puncaknya, kita harus bersusah payah. Di sini ketinggian melebihi Ciremai, namun dengan mudahnya kita bis berada di atasnya.

Puncak Mega: Jalur provinsi di Puncak Mega yang berketinggian 3000 MDPL (Asep Burhanudin)
Puncak Mega: Jalur provinsi di Puncak Mega yang berketinggian 3000 MDPL (Asep Burhanudin)
Jalur Puncak Mega, ketika itu belum diaspal, cukup lebar dan bisa dilalui dua kendaraan besar saat berpapasan. Di jalur ini sering terjadi kecelakaan karena  sering berkabut baik siang, terlebih malam hari. Sebagai pengingat pengendara, di pinggir jalan teronggok puing bekas mobil yang sudah tak berbentuk akibat terjun ke bawah. Menurut para sopir, jika malam hari, seseorang kalau tidak mendesak tidak diperkenankan turun sendirian.Binatang buas, seperti srigala masih banyak berkeliaran di jalur ini.
Istiraha di Puncak Mega (Asep Burhanudin)
Istiraha di Puncak Mega (Asep Burhanudin)
Tiba di Karuba

Puas menikmati Puncak Mega kami meneruskan kembali perjalanan. Terpaut satu jam kemudian kami mulai memasuki kota Karubaga, Ibu Kota Tolikara. Jalan aspal mulai terlihat walau banyak mengelupas, menandakan kawasan perkotaan sudah di pelupuk mata. Jalanan terus menurun. Di sebelah kiri mulai terlihat honai (rumah penduduk), sekalipun letaknya tak beraturan, setiap honai memiliki pagar setinggi satu meteran dengan pintu gerbang bertangga. Katanya, supaya bagi piaraan mereka tak bisa keluar.

Kota Karubaga, Ibu Kota Kab. Tolikara (Asep Burhanudin)
Kota Karubaga, Ibu Kota Kab. Tolikara (Asep Burhanudin)
 Jangan berharap Kota Kabupaten sama dengan kota lainnya di Indonesia.Mol, jalanan mulus dan taman kota menghiasi sebagai karakter kota. Di sini, jauh berbeda. Yang menandakan ini sebuah kota, terdapat dereta bangunan beratap seng dengan dinding triplek atau kayu papan. Bangunan ini merupakan kawasan pertokoan yag menjual aneka keperluan masyarakat setemat. Kawasan petokoan mayoritas milik para pendatang asal P Suawesi.
Bekas Hotel Bintang: Di Karubaga terdapat sebuah bangunan bekas hotel, namun entah kenapa bangunan masih baru ini tidak difungsikan dan dijadikan kegiatan pemeritahan Tolikara (Asep Burhanudin)
Bekas Hotel Bintang: Di Karubaga terdapat sebuah bangunan bekas hotel, namun entah kenapa bangunan masih baru ini tidak difungsikan dan dijadikan kegiatan pemeritahan Tolikara (Asep Burhanudin)
Saat itu jalan masih belum berhotmik, terlebih di setiap perempatan terdapat  lampu stopan pengatur lalu- lintas.  Bahkan listrik pun nyala hanya malam hari saja. Beberapa warga asli Papua terlihat bergerombol di pinggir jalanan yang berdebu pekat. Dengan pakaian, mereka terlihat mengunyah pinang yang sesekali diludahkan di sembarang tempat. Akibatnya bisa diterka, warna merah bekas ludahan pinang kerap ditemui di pinggir jalan.
Kota Karubaga di malam hari (Asep Burhanudin)
Kota Karubaga di malam hari (Asep Burhanudin)
Cukup lama saya mengitari kota Karubaga yang dingin ini, Kantor Polres berdampingan dengan rumah dinas bupati dan hanya dipisahkan kantor Distrik Karubaga. Di samping kiri kanannya sekolah SD dan SMP. Sementara di bagian belakang Kantor polres terdapat deretan pertokoan yang terbuat dari triplek beratapkan seng juga. Cukup komplit toko di sini, selain menjual aneka kebutuhan pangan, juga pakaian. Bahkan fasilitas hiburan seperti meja bilyar pun tersedia.Kota Karubaga seperti terbelah dua oleh Bandara Karubaga yang berada persis di tengah tengah. di sayap atau sebrang kantor polres terdapat gedung Bank Papua, Kantor Koramil serta deretan pertokoan sejenis. Para pedagang di Karubaga kebanyakan kaum pendatang yang mayoritas dari Sulawesi. Di taksir tidak kurang 200 pertokoan milik mereka mengitari sisi kiri kanan Bandara. Sementara kantor pemerintahan Bupati dan rumah dinas DPRD berada di bagian atas jauh dari perkotaan.
Tarian Papua. Masyarakat Tolikara tengah menari khas mengitari Kota Karubaga (Asep Burhanudin)
Tarian Papua. Masyarakat Tolikara tengah menari khas mengitari Kota Karubaga (Asep Burhanudin)
Tolikara merupakan pemerintahan baru hasil pemekaran dari kabupaten Induknya Kabupaten Jaya Wijaya 10 tahun lalu. Setidaknya ada 46 distrik, setingkat kecamatan di Tolikara. Penduduk Tolikara, berdasarkan sensus 2010 sekitar 270.327 Jiwa, dengan jumlah penduduk laki-laki 149.483 jiwa dan perempuan 120.844 jiwa.

Berapa Biaya ke Tolikara

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun