Mohon tunggu...
Briantama Afiq Ashari
Briantama Afiq Ashari Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

Kennis n Daad

Selanjutnya

Tutup

Healthy

"Fenomena Nasionalisme Vaksin" Harapan dan Kenyataan Distribusi Vaksin Global

17 September 2021   21:58 Diperbarui: 17 September 2021   22:04 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Pada awal pandemi Covid-19 ketika virus tersebut baru muncul dan menyebar ke seluruh dunia, kita masih dalam hiruk pikuk romantisme harapan akan penanganan pandemi Covid-19 yang sistematis dan adil. Ilmuwan dan para pemimpin dunia bersatu mengembangkan jenis vaksin untuk memperoleh hasil yang optimal dalam menanggulangi pandemi, kucuran dana mengalir deras demi pengembangan vaksin ini agar kondisi dunia dapat stabil kembali. 

Demi kemanusiaan, banyak yang melakukan uji hasil vaksin secara sukarela, sedangkan ilmuwan masih terus mengembangkan penelitian secara progresif. Faktor-faktor tersebut tidak dapat dimungkiri membuat masyarakat dunia menaruh harapan besar terhadap upaya preventif maupun penanggulangan lonjakan korban pandemi. 

Namun, hal kontradiktif justru terjadi ketika pengembangan vaksin telah mencapai tahap final hingga resmi ditetapkan distribusi masif melalui skala global.

Distribusi vaksin skala global justru melahirkan ketimpangan antar negara, yaitu apa yang disebut dengan "apartheid vaksin". Sebuah nasionalisme yang egois sehingga memunculkan persepsi ketidakadilan skala global. 

Penulis beropini hal tersebut terjadi ketika setiap negara lebih mementingkan kebutuhan vaksin domestik negaranya tanpa mempertimbangkan negara lain. Memang terdengar egois, tetapi jika mengacu pada teori prisoner's dilemma dalam konsep "game theory" mungkin terdengar rasional ketika individu sebenarnya mampu terikat kerja sama, namun lebih memilih untuk tidak mengikatkan diri, padahal hasil kerja sama tersebut dapat melahirkan upaya solusi yang optimal. 

Secara rasional seharusnya negara-negara di dunia memahami pandemi dalam skala global yang artinya bahwa dunia tidak akan terbebas dari pandemi Covid-19 apabila masih ada negara yang berjuang sendirian membebaskan negaranya dari pandemi, artinya teori prisoner's dilemma dalam konsep "game theory" tidak berlaku di masa pandemi.

Para ilmuwan telah memperingatkan "apartheid vaksin", yaitu populasi manusia belahan barat lebih besar peluang hidupnya daripada manusia di belahan selatan yang terkena dampak inokulasi. 

Northeastern University melampirkan penelitian bahwa distribusi vaksin yang timpang antara negara miskin dengan negara kaya mengakibatkan efek penurunan lonjakan korban Covid-19 juga timpang pula, hasil riset tersebut menunjukkan bahwa monopoli vaksin 47 negara kaya di dunia menyebabkan angka penurunan mengalami timpang sebesar 28%. 

Artinya, seharusnya angka penurunan kematian populasi manusia di dunia dapat mencapai 61% apabila dosis vaksin pertama Covid-19 sebanyak 2 miliar tersebar rata bagi seluruh populasi manusia, namun berhubung dengan adanya ketimpangan maka angka tersebut hanya mencapai 33% saja (Furneaux, n.d.). 

Akibatnya, distribusi yang timpang menyebabkan negara miskin terpaksa menunggu vaksin dari negara kaya sehingga memiliki efek ketergantungan, tidak berdikari. Monopoli vaksin berujung pada biaya yang lebih tinggi di setiap dosisnya, berkaca pada negara Uganda yang menyepakati harga $7 untuk tiap dosis vaksin Astra Zeneca dan $10 untuk biaya transportasi distribusi sehingga praktis satu manusia Uganda membayar $17 untuk vaksin (Opinion, 2021). 

Sangat jauh berbeda dengan Uni Eropa yang biaya distribusi vaksin Astra Zeneca-nya lebih murah, bahkan tiga kali lipat. Kesenjangan vaksin skala global atau "apartheid vaksin" ini menunjukkan bahwa distribusi vaksin yang terlambat dikarenakan negara-negara kaya telah mengakuisisi 4 miliar dosis vaksin global hingga 80%, padahal banyak negara miskin yang belum mampu mengelola vaksin dosis pertama, sementara negara kaya malah menggunakan pasokan vaksin global untuk mempersiapkan tahap vaksinasi ketiga. 

Benua Afrika salah satu contohnya, yaitu dari klasifikasi total populasi 1,3 miliar manusia, hanya sekitar 2% saja yang telah menerima vaksin dosis pertama (On Racism, Inequalities and the Emergence of Vaccine Apartheid, n.d.).

Ketika hal tersebut terjadi, negara-negara kaya seakan memberikan harapan dengan menjanjikan distribusi vaksin lebih banyak dan adil ke negara miskin atau berkembang sehingga mengakibatkan manusia di negara miskin akan menunggu lebih lama lagi untuk vaksinasi, bahkan bertahun-tahun. 

Mau tidak mau negara miskin lebih memperhatikan organisasi Covax, yaitu organisasi distribusi pasokan vaksin yang memberikan akses adil, inovatif, akuntabilitas dalam menangani perawatan maupun vaksinasi Covid-19 bagi negara miskin.

Namun, permainan monopoli global tentunya dapat menghambat tujuan Covax, padahal Covax adalah organisasi di bawah koordinasi WHO sekalipun. Bukti nyata bahwa kapitalisasi farmasi global mempunyai peran sentral untuk memonopoli "apartheid vaksin". 

Kita harus segera berbenah melawan "apartheid vaksin" rasisme, ketidakadilan, ketimpangan, dan imperialisme. Pemerintah dan perusahaan harus mengesampingkan "nasionalisme buta" agar tercipta kerja sama antar negara untuk menanggulangi pandemi dalam skala global. Selain itu, pentingnya pengetahuan vaksin bagi negara miskin secara teknis, tidak pragmatis agar mampu berdikari menangani diskriminasi ini, walaupun terkesan utopis.

REFERENSI

Furneaux, M. D., Rosa. (n.d.). A Covid-19 vaccine apartheid would endanger us all. Quartz. Retrieved August 27, 2021, from QZ

On racism, inequalities and the emergence of vaccine apartheid: Notes of a vaccine trial volunteer. (n.d.). Identities Journal Blog. Retrieved August 27, 2021, from Identities Journal

Opinion: Vaccine apartheid shows that, once again, the free market has failed. (2021, August 7). The Independent. Independent

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun