Benua Afrika salah satu contohnya, yaitu dari klasifikasi total populasi 1,3 miliar manusia, hanya sekitar 2% saja yang telah menerima vaksin dosis pertama (On Racism, Inequalities and the Emergence of Vaccine Apartheid, n.d.).
Ketika hal tersebut terjadi, negara-negara kaya seakan memberikan harapan dengan menjanjikan distribusi vaksin lebih banyak dan adil ke negara miskin atau berkembang sehingga mengakibatkan manusia di negara miskin akan menunggu lebih lama lagi untuk vaksinasi, bahkan bertahun-tahun.Â
Mau tidak mau negara miskin lebih memperhatikan organisasi Covax, yaitu organisasi distribusi pasokan vaksin yang memberikan akses adil, inovatif, akuntabilitas dalam menangani perawatan maupun vaksinasi Covid-19 bagi negara miskin.
Namun, permainan monopoli global tentunya dapat menghambat tujuan Covax, padahal Covax adalah organisasi di bawah koordinasi WHO sekalipun. Bukti nyata bahwa kapitalisasi farmasi global mempunyai peran sentral untuk memonopoli "apartheid vaksin".Â
Kita harus segera berbenah melawan "apartheid vaksin" rasisme, ketidakadilan, ketimpangan, dan imperialisme. Pemerintah dan perusahaan harus mengesampingkan "nasionalisme buta" agar tercipta kerja sama antar negara untuk menanggulangi pandemi dalam skala global. Selain itu, pentingnya pengetahuan vaksin bagi negara miskin secara teknis, tidak pragmatis agar mampu berdikari menangani diskriminasi ini, walaupun terkesan utopis.
REFERENSI
Furneaux, M. D., Rosa. (n.d.). A Covid-19 vaccine apartheid would endanger us all. Quartz. Retrieved August 27, 2021, from QZ
On racism, inequalities and the emergence of vaccine apartheid: Notes of a vaccine trial volunteer. (n.d.). Identities Journal Blog. Retrieved August 27, 2021, from Identities Journal
Opinion: Vaccine apartheid shows that, once again, the free market has failed. (2021, August 7). The Independent. Independent