Mohon tunggu...
Brevennara IsyaraqiMaqdis
Brevennara IsyaraqiMaqdis Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Brawijaya

Hobi olahraga, mahasiswa Universitas Brawijaya Fakultas Ilmu Politik dan Sosial

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Inkonsistensi Perilaku Negara Kaya dalam Mendorong Berkurangnya Kesenjangan

30 Juni 2023   19:19 Diperbarui: 30 Juni 2023   19:23 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pendahuluan

Sidang Umum PBB pada September 2015 menyepakati agenda pembangunan dunia adalah Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB). Tujuan SDGs adalah pembangunan yang menjaga peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat secara berkesinambungan, pembangunan yang menjaga keberlanjutan kehidupan sosial masyarakat, pembangunan yang menjamin kualitas lingkungan hidup serta pembangunan yang menjamin keadilan dan terlaksananya tata kelola yang mampu menjaga peningkatan kualitas hidup dari satu generasi ke generasi berikutnya.

SDGs mencakup 17 tujuan, yang salah satunya adalah berkurangnya kesenjangan, baik kesenjangan di dalam sebuah negara maupun kesenjangan antar negara. Penulis akan mencoba mendalami kesenjangan antar negara, karena PBB yang menyepakati SDGs, di dalamnya terdiri dari ratusan negara dari berbagai tingkat kesejahteraan. Disepakatinya SDGs berarti seluruh negara harus secara konsisten mengupayakan tercapainya tujuan SDGs. Negara miskin harus berupaya meningkatkan kesejahteraanya, sedangkan negara kaya harus membantu negara miskin, tentunya dengan didasari rasa saling menjunjung tinggi kedaulatan, kejujuran, dan ketulusan dari tiap negara.

Salah satu upaya peningkatan kesejahteraan sebuah negara adalah dengan meningkatkan pendapatan negara. Salah satu sumber pendapatan negara adalah pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA). Idealnya, negara yang memiliki SDA yang berlimpah akan memiliki tingkat pendapatan negara yang tinggi, apalagi jika SDA yang dimilikinya masuk ke dalam jenis SDA yang bernilai tinggi di pasar global. Tetapi, realita yang dapat kita saksikan saat ini nampaknya jauh dari ideal. Banyak negara yang memiliki SDA bernilai tinggi, tidak serta-merta membuat negara-negara tersebut menjadi negara yang kaya dan sejahtera.

Sejak penjajahan/kolonialisme disepakati PBB untuk tidak boleh lagi dilakukan, seharusnya berbagai negara yang selama ratusan tahun dijajah karena memiliki SDA yang besar, akan secara bertahap berkembang menjadi negara kaya setelah merdeka. Artinya, kesenjangan antara bekas negara yang dijajah dengan bekas negara penjajah akan perlahan menipis. Tetapi justru berkembang sebuah fenomena yang disebut dengan “kutukan sumber daya alam” yang menyatakan bahwa negara dengan SDA yang berlimpah cenderung lebih lambat pertumbuhan ekonominya dibanding dengan negara dengan SDA yang terbatas. Fenomena ini pertama dikemukakan oleh Richard Auty (1993), kemudian diperkuat oleh Sachs dan Warner (1995) serta laporan The World Bank (2006).

Berbagai penelitian mengenai fenomena ini menghasilkan berbagai kesimpulan permasalahan dan bagaimana solusi yang dapat dilakukan. Tetapi selama puluhan tahun nampaknya tidak ada hasil yang signifikan, seolah ada “tangan-tangan ghaib” yang berupaya agar kondisi ini terus terjadi. Negara-negara kaya terus bertambah kaya, sementara negara miskin sulit untuk berkembang menjadi negara kaya. Apakah negara kaya sungguh ingin mengurangi kesenjangan, apakah negara miskin tidak bersungguh-sungguh ingin menjadi negara kaya, adalah pertanyaan-pertanyaan mendasar yang mengerucut pada satu pertanyaan utama, yaitu konsistenkah seluruh negara ingin mengurangi kesenjangan?

Berbicara mengenai kemiskinan, dipastikan tidak ada satupun negara yang ingin menjadi miskin atau tetap miskin. Dapat dipastikan juga bahwa seluruh negara pasti ingin menjadi negara kaya yang makmur dan sejahtera. Artinya, negara miskin pasti konsisten ingin mengurangi kesenjangan, yang harus dipertanyakan adalah konsistensi negara kaya dalam perilakunya mengurangi kesenjangan.

Pembahasan

Tujuan SDGs nomor 10 adalah “berkurangnya kesenjangan”. Dari laman sdgs.bapennas.go.id,  dinyatakan bahwa kesenjangan pendapatan sedang mengalami peningkatan, 10 persen orang terkaya menguasai 40 persen dari total pendapatan global. Masalah global ini membutuhkan solusi global. Hal ini melibatkan perbaikan aturan, pengawasan pasar dan institusi keuangan, serta mendorong bantuan pembangunan dan investasi asing yang langsung pada wilayah-wilayah yang membutuhkan. Jika solusi global tersebut di atas dikaitkan dengan masalah eksplorasi dan eksploitasi SDA dalam rangka meningkatkan pendapatan dari sebuah negara, dan kita asumsikan bahwa 40 persen pendapatan global yang dikuasai 10 persen orang terkaya ada bagian dari bisnis SDA, maka fokus solusi global harusnya adalah bagaimana mengatur ulang sebuah kebijakan yang mencegah dan bahkan menghilangkan ketimpangan penguasaan pendapatan global ini.

Adanya fenomena “kutukan SDA”, jika kita cermati menitikberatkan kesalahan pada negara pemilik SDA. Nika Pranata, di laman LIPI, menyampaikan bahwa para ahli menyatakan kutukan SDA ini menimbulkan paradoks yang muncul karena kebergantungan yang tinggi terhadap harga komoditas, pasar global menjadi penentu harga komoditas, dan perilaku menyimpang oknum pemerintah. Pandangan berbagai ahli ini seolah tidak menganalisa secara mendalam bagaimana keterkaitan tata Kelola SDA sebuah negara dengan perilaku 10 persen orang terkaya dan/atau negara-negara kaya yang terus bertambah kaya sebagai pembeli dan pemanfaat SDA tersebut. Penulis menganggap bahwa kondisi paradoksal sesungguhnya adalah pembeli yang terus bertambah kaya, sedangkan penjual hampir tidak memiliki peningkatan kekayaan.

Sebagaimana dikemukakan di awal tulisan, capaian target dari SDGs sangat bergantung dari kondite dan konsistensi dari seluruh negara mengupayakannya. Penelitian mengenai kutukan SDA seolah ingin mengaburkan peran orang kaya atau negara kaya dari kondisi ini. Negara miskin konsisten ingin keluar dari kemiskinan dan mengecilkan kesenjangan, sementara negara kaya seolah memberikan Langkah-langkah yang tidak berdaya guna dan tepat-guna, mengaburkan masalah sesungguhnya, memberi obat yang salah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun