Mohon tunggu...
Bambang Pribadi
Bambang Pribadi Mohon Tunggu... profesional -

B. Pribadi (Bambang Pribadi) sering dipanggil BP saja, pernah belajar ilmu kehutanan dan ekonomi, selain sebagai penulis dan editor, ia juga pelukis, perancang grafis, karikaturis, ilustrator, pernah menjadi dalang wayang kulit gagrak Ngayogyakarta…. www.bambangpribadi.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sketsa #34 Candradimuka, Sumber Waras, dan Firasat

8 September 2010   12:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:21 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Pagi itu jalanan sangat lengang, bus Sumber Waras melesat dengan leluasa. Sebagian besar penumpang tidur. Darmo mengeluarkan sebuah buku, judulnya menarik perhatianku: Cara Mencari Kawan dan Mempengaruhi Orang Lain. Aneh bukunya Darmo. Rasanya ingin kutanyakan apa isi buku itu padanya. Urung kulakukan, sebab aku tak mau semua orang bangun lalu memelototi kami karena berisik. Kutengok kanan kiri depan belakang, tak ada penumpang lain membaca buku, kecuali seorang pria setengah baya berkacamata yang duduk di barisan tengah. Kuperhatikan lebih lanjut. Kadang ia menunduk, sering kali ia menengadahkan kepala ke atas, memandang langit-langi bus, seperti sedang membaca sebuah buku yang isinya menguras pikirannya. Bisa jadi mungkin buku filsafat. Atau buku kumpulan tes bagi CPNS. Bisa juga, salah satu buku misterinya Agatha Christe. Kalau iya, kukira ia sedang berpikir keras demi membantu detektif Poirot mencari si pembunuh sebenarnya. Sekali-kali ia tampak menggaruk-garuk kepala. Kalau bukan ketiga jenis buku yang tadi kusebutkan, kemungkinan besar buku yang dibacanya buku catatan hutang. Dari tempat aku duduk tak kulihat bukunya apa. Karena penasaran, aku berdiri dan kuketahui, ia sedang mengisi buku teka-teki silang.

Kukeluarkan sebuah buku dari tasku, sebuah buku tebal yang sudah kumal, Buku Gambar Wayang. Ini adalah buku yang paling kusayang melebihi bantalku sendiri. Kubuka sebuah halaman favoritku. Kubaca biografi gambar bagian tokoh kesayanganku, Gatotkaca. Sebab aku merasa, sebentar lagi aku akan memiliki nasib mirip nasibnya. Tak akan lama lagi kami akan dimasak hidup-hidup di kawah Candradimuka di kaki Merapi. Sebagai orang Jawa, aku terbiasa dengan firasat. Intuisiku mengatakan, SMB Pantang Menyerah akan menjadi kawah mahapanas yang akan menggoreng mental kami segosong-gosongnya. Di suatu saat yang sangat konon, Sang Hyang Narada menggendong bayi mungil mendaki pucak Mahameru. Dewa pendek murah senyum itu berlari-lari kegirangan menuju tepian Candradimuka. Narada mengayun-ayunkan jabang bayi si Tetuka itu. Air kawah meletup-letup, seperti air liur harimau kelaparan. Di saat ini bus Sumber Waras persis berlari-lari menggendong kami menuju sebuah kawah yang sama. Kini bus Sumber Waras bergoyang-goyang hebat karena mengikuti jalan berkelok-kelok naik turun membelah bukit-bukit selepas Ambarawa. Hatiku mengecil.

Sampai di Secang, bus tidak masuk terminal, tetapi berhenti di depan terminal. Hari masih cukup pagi. Lampu-lampu jalan belum dimatikan. Kios dan warung pinggir jalan masih terlelap. Dua orang gadis naik ke atas bus melalui pintu depan. Para pengantar—beberapa orang tua—tak ikut naik. Salah satu dari mereka berbicara pada kenek, mungkin berpesan menitipkan kedua gadis itu agar diturunkan di tempat tujuan dengan selamat. Kenek bus mengangguk-angguk lalu membantu menaikkan tas-tas besar mereka. Sumber Waras kembali mengaum. Sopir melepas pedal kopling perlahan, dan menginjak pedal gas lebih dalam. Sumber Waras perlahan-lahan kembali melaju. Para pengantar tadi melambai-lambai, tetapi wajah mereka meredup akibat tombol perpisahan yang telah mereka tekan. Kedua gadis situ masih masih memandangi para pengantarnya sambil tangannya melambai-lambai. Mata keduanya sembab. Karena bus bergerak maju, kedua gadis itu tentu saja menjadi menengok ke belakang, maksudnya agar arah pandangan mereka tetap pada wajah para pengantar. Kuamati wajah kedua gadis itu dari kursi belakang, wajah mereka seperti pernah kulihat sebelumnya. Gadis yang wajahnya lebih keibuan meneteskan air mata. Ia mengusapnya dengan punggung tangannya. Gadis satunya, matanya sembab tetapi ia tersenyum. Tak lama kemudian mereka membalikkan badan lalu duduk membelakangiku jauh di depan sana. Kubuka halaman-halaman lain bergantian, gambar Srikandi dan Sumbadra. Kucocok-cocokkan kedua wajah gadis itu dengan karakter wajah Srikandi dan Sumbadra. Yang menangis tadi mirip Sumbadra, wajahnya luruh, tenang dan keibuan, kemungkinan besar suaranya kalem, lembut, dan merdu. Yang tersenyum tadi mirip Srikandi, sumringah dan murah senyum, kemungkinan besar suaranya mbranyak alias ceriwis dan agak melengking. Ketengok Darmo. Ia pun sedang membalik-balik halaman bukunya. Jika ia pemuda normal, kupastikan ia akan membaca bagian bagaimana cara merubah kawan menjadi pacar. Kalau ada, tapi. Kutengok pria setengah baya yang tadi membaca buku TTS, ia telah terlelap, rambutnya acak-acakan bekas garukan berkali-kali.

Menjelang masuk Magelang, kondektur dari depan berjalan ke belakang sambil memunguti ongkos. Matahari sudah keluar sepenuhnya dari horizon timur. Sinarnya yang hangat memasuki badan bus melalui kaca-kaca jendela. Orang-orang mulai bangun karena sengat matahari atau karena dibangunkan kondektur. Kuserahkan beberapa rupiah untuk ongkos kami berdua sambil kusebutkan tujuan kami turun.

Lhadalah, ke SMB juga to?”

Inggih, Pak!” jawab kami serempak.

“Termasuk kalian ini, ada delapan orang murid baru SMB di bus ini, lho!” kondektur memberikan informasi gratis.

“Termasuk dua gadis yang naik dari Secang tadi ya, Pak?” Darmo tiba-tiba meletuskan pertanyaan. Ternyata normal juga sepupuku ini.

“Ya, betul. Yang empat orang lagi paling depan. Mereka naik dari Semarang.”

Setelah kelar menarik ongkos, kondektur berjalan kembali ke depan sambil menghitung-hitung uang. Ketika melewati kedua gadis yang kuceritakan tadi, ia tampak membisikkan sesuatu pada mereka. Kedua gadis itu lalu menaikkan kepalanya dan melihat ke belakang, ke arah kami. Mereka melambai, senyumnya manis. Kami membalas senyum dan lambaiannya. Hatiku senang. Kawah Candradimuka yang berkecamuk di pikiranku tiba-tiba membeku, dingin sekali seperti kawah Gunung Sumbing yang sudah tak aktif. Darmo kembali bertekun dengan bukunya. Kali ini tampak ia makin serius membacanya. Ia bolak-balik halaman buku itu berkali-kali sambil senyum-senyum sendiri. Secara tak sengaja, kubalik halaman bukuku sendiri sekenanya. Kulihat gambar Arjuna. Ah, firasat apalagi ini?***

---------------------------------

08-09-2010 bp

*Sketsa ini ditulis masih dalam rangka menggenapi sketsa-sketsa sebelumnya sebagai bahan baku novel SMB Pantang Menyerah atau Firdaus Kecil.

Sketsa sebelumnya:

Sketsa #1 Sekolah Aneh

Sketsa #33 Profesor Kalong

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun