Mohon tunggu...
Bambang Pribadi
Bambang Pribadi Mohon Tunggu... profesional -

B. Pribadi (Bambang Pribadi) sering dipanggil BP saja, pernah belajar ilmu kehutanan dan ekonomi, selain sebagai penulis dan editor, ia juga pelukis, perancang grafis, karikaturis, ilustrator, pernah menjadi dalang wayang kulit gagrak Ngayogyakarta…. www.bambangpribadi.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sketsa #32 Akuarium Ikan Badut

17 Agustus 2010   18:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:56 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Beberapa hari yang lalu kami sempat terbengong-bengong ketika memasuki gerbang sekolah baru kami. Gerbang itu mirip gapura tujuh belasan, gagah sekaligus megah. Di puncaknya bertengger seekor arca garuda berbahan perunggu besar membentangkan sayap. Tubuhnya berkilat-kilat ditimpa sang surya. Bulu-bulu ekornya tersibak teratur seperti senjata kipas pesilat Shaolin. Di bawah kaki garuda itu terpampang tulisan “Sekolah Menengah Bisnis Pantang Menyerah”, lalu di bawahnya terdapat sebuah semboyan “Memerangi Kemiskinan”.

Tepat sepuluh meter sebelum kami melalui kolong gapura itu, mata garuda itu memandang kami. Kedua matanya sangat tajam. Darmo seperti tak mau kalah pandang. Dia balik menatap mata garuda itu dengan tak kalah tajam, maksudnya tak kalah melotot. Kedua makhluk berbeda spesies itu bersitatap, saling memelototi lebih tepatnya. Mereka saling memandang seumpama sepasang musuh bebuyutan. Entah apa yang sedang masing-masing pegunjingkan dalam pikiran mereka. Kedua mata sepupuku itu membulat seperti mau copot. Aku tak tega. Kupikir Darmo pasti kalah pandang. Sebab kedua mata garuda itu sangat besar dan wibawanya menyengat seperti api. Tanpa diminta segera kubantu sepupuku. Kini satu lawan dua. Aku memelototi mata garuda itu sepelotot-pelototnya. Setelah kedua mata garuda perunggu itu kami anggap meredup, kami melenggang memasuki areal sekolah ajaib itu. Kami berjalan melayang-layang seperti baru saja menang lotere.

Pagi itu kami pindah kelas. Kami mengikuti Sulastri, ketua kelas baru kami yang berjalan penuh semangat. Di belakang Sulastri, berjingkat-jingkatlah wakil ketua kelas dan sekretaris kelas membuntutinya. Di baris ketiga, berjalanlah tiga teman kami yang lain, setelah itu empat, lalu lima teman kami, dan baris terakhir. Aku dan Darmo berjalan berdampingan di baris paling belakang yang enam orang jumlahnya. Jika dilihat dari udara, barisan kami membentuk formasi kepala anak panah, sebuah segitiga yang tajam. Inilah formasi baris-berbaris nomor satu. Setiap kali pindah kelas untuk mengikuti sebuah mata pelajaran di ruang lain kami diwajibkan membentuk formasi itu.

Jumlah murid kelas kami paling banyak, 21 siswa. Kelas-kelas satu lain hanya dihuni oleh 20 murid. Ada 21 ruang kelas satu. Maka, jumlah murid kelas satu angkatan kami sebanyak 421 siswa. Menurut sejarah—karena begitu ketatnya peraturan ditegakkan—kelas dua kelak hanya menyisakan 80 persen siswa, 20 persen siswa kelas satu tidak naik kelas dan harus hengkang dari sekolah kami. Pada waktu kelas tiga, 80 persen mantan siswa kelas satu yang lolos menjadi murid kelas dua tadi berkurang lagi sekitar 10 persen. Ruang-ruang kelas tiga hanya berisi sekitar 14 sampai 15 gelintir murid saja. Kukira penyebabnya adalah kedua mata patung garuda yang tegas bukan main itu telah dijadikan lambang hidup bagi berdirinya peraturan di sekolah kami. Kukira patung dewi keadilan di negeri ini pun kalah tegas dibanding mata garuda kami. Maklum saja, walaupun pedang yang dibawanya besar dan timbangan yang dijunjungnya telah lolos uji sertifikasi, si patung dewi keadilan itu matanya ditutup kain hitam.

Melihat grafik nasib siswa pada setiap kenaikan kelas, semua murid sepakat bahwa kelas satu adalah medan pertempuran terberat. Kedua mata garuda perunggu di atas gerbang sekolah ini telah mengingatkan kami melalui pandangan tajam yang penuh arti. Darmo telah menantang mata garuda itu dengan matanya. Melalui gelagat matanya, Darmo telah menjawab tantangan si garuda perunggu itu, dirinya akan selalu naik kelas sampai kelas tiga dan lulus dengan gilang-gemilang. Walaupun dengan maksud membantu Darmo, aku—dengan tingkat kecerdasan di bawah Darmo—sudah berani-beraninya ikut-ikutan memelototi mata garuda perunggu itu.

Keduapuluh satu murid baru ini sudah duduk di ruang serbakaca. Setiap orang yang berada di luar ruangan ini akan melihat kami seperti ikan-ikan badut di sebuah akuarium air laut dan tersenyum-senyum. Kami adalah murid-murid baru yang sedang lucu-lucunya, barangkali begitu pikir mereka. Kami memandang ke segala arah. Di luar ruangan ini semua serbabuku, maksudnya dipenuh rak-rak dengan buku berbaris-baris sangat rapi. Sebentar kemudian, masuklah seorang guru laki-laki. Perawakannya biasa. Rambutnya agak tak biasa, ikal bergelombang dan sedikit agak gondrong. Dari perkenalannya di aula besar tempo hari, kami tahu nama guru ini Pak Zul, lengkapnya Zulia da Gomez. Dari namanya jelaslah beliau dari Flores. Pak Zul berdehem memecah kegelisahan kami.

“Perkenalkan lagi, panggil saya Pak Zul,” begitu pintanya. Lantas kami semua memanggil-manggil namanya, Pak Zul, Pak Zul, Pak Zul...! Kelas jadi ramai. Maklum kami masih terkena sindrom murid baru dipelototi mata garuda perunggu itu, alias takut tak taat perintah. Maka, ketika Pak Zul minta dipanggil dengan namanya, kami spontan memanggil-manggilnya.

Pak Zul tertawa terbahak-bahak. Kali ini ia memperkenalkan gigi-giginya yang putih bersinar. Kami pun ikut tertawa, sambil agak meringis sekalian numpang pamer gigi juga.

“Baiklah, sekarang mata pelajaran apa?”

“Bahasa Indonesia, Pak Zul!” kami serentak menjawab seperti monyet rebutan kacang. Pak Zul, menatap kami satu per satu dengan tajam. Maklum, sindrom garuda melotot masih menjangkitiku.

“Baiklah, saya perlu menyampaikan hal ini di awal pelajaran ini bahwa target Anda lima bulan ke depan adalah masing-masing Anda sudah bisa menulis sebuah buku. Saya ulangi, sudah bisa menulis sebuah buku. Jelas?”

Akuarium ikan badut sunyi senyap.***

---------------------------------

17-08-2010 bp

*Sketsa ini ditulis masih dalam rangka menggenapi sketsa-sketsa sebelumnya sebagai bahan baku novel SMB Pantang Menyerah atau Firdaus Kecil.

Sketsa sebelumnya: Sketsa #31 Cintaku Merambat Seperti Spiderman

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun