Mohon tunggu...
Boyke Abdillah
Boyke Abdillah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hanya manusia biasa

sahabat bisa mengunjungi saya di: http://udaboyke.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Novelet] Aku dan Majikan #5

10 Februari 2014   21:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:57 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13920439051503403818

[caption id="attachment_311361" align="alignleft" width="300" caption="123rf.com"][/caption]

“Aku sengaja ke sini bukan untuk menemui Adri, tapi untuk bicara denganmu,” ujar perempuan itu saat ia memanggilku di ruang tengah malam itu.

“Bicara dengan saya? Ada apa, Bu?” tanyaku heran. Ada urusan apa datang dari jauh hanya untuk bicara denganku?

“Sudah berapa lama kau bekerja di sini?”

“Dua belas tahun, Bu. Kenapa?”

“Pasti betah ya?”

“Iya, saya betah kerja di sini.”

“Apa yang membuatmu betah?”

“Ya, betah. Pak Adri memperlakukan saya dengan baik. Dulu sewaktu Ibu Asni masih ada, juga memperlakukan saya dengan baik seperti anggota keluarga.”

“Hanya itu?”

“Gaji yang saya peroleh juga lumayan,” aku tersenyum.

“Apa lagi?”

Aku menggeleng.

“Jujur saja padaku.”

“Maksud Ibu? Saya nggak mengerti?” aku semakin tidak tahu arah pembicaraannya.

“Aku tak suka berbasa-basi, kamu menyukai Pak Adri dan kamu mengincarnya, iya kan?”

Aku kaget.

“Ibu bicara apa?”

“Jangan pura-pura tidak tahu, Mar! Sebaiknya kamu akui saja, bahwa itu benar adanya? Kamu memanfaatkan kesempatan yang ada hingga ia jadi suka sama kamu?”

“Dari mana Ibu punya pikiran seperti itu?”

“Aku tahu, ada yang bilang.”

“Mira?” aku menebak.

“Iya, katanya kau sampai diajak liburan ke Malaka segala!”

Aku tak bisa menjawab, ada apa lagi ini? Kenapa semua orang jadi tidak senang dan menuduhku dan Pak Adri ada apa-apa?

“Kalau diajak liburan ke Malaka memang benar, tapi kalau saya dan Pak Adri punya hubungan apa-apa, itu tidak benar! Saya berani bersumpah.”

“Lantas kenapa dia sampai mengajakmu segala?”

“Jangan tanya saya, tanya Pak Adri!” aku berusaha membela diri. “Dia yang tahu jawabannya.”

“Pikiran dia telah kamu pengaruhi. Kamu memanfaatkan kesempatan untuk menggodanya. Kalau tidak, mana mungkin ia mengajakmu pergi liburan berdua saja?”

“Sebaiknya Ibu tanya sama Pak Adri saja, biar jelas!”

“Kau jangan mengatur-atur aku! Dari sikapnya, sudah terlihat jelas ia menyukaimu. Tak mungkin ia berbaik hati kalau tidak ada maksud tertentu. Semenjak ibuku meninggal, kondisinya labil, gampang dipengaruhi. Apalagi kalian hanya berdua saja di rumah ini,” tuduhnya dengan telak. Aku hanya melongo. Kenapa orang-orang jadi berpikir sama seperti ini?

“Asal kau tahu! Dia tak pantas untukmu! Kau juga harus tahu diri kamu itu siapa! Jangan pernah berharap kau bisa memilikinya! Dia adikku yang paling berharga! Kalau ia ingin menikah, kupastikan bukan denganmu! Buang saja keinginanmu itu!”

Emosiku langsung mendidih mendengar perkataannya. Apa yang ia katakan itu sama sekali tidak benar. Aku tahu siapa diriku, aku tahu siapa Pak Adri, dan aku bukanlah si pungguk yang merindukan bulan. Bertahun-tahun aku kerja di sini karena aku memang betah, bukan karena mengharapkan sesuatu yang tak mungkin. Tapi kenapa mereka menganggap lain? Pasti mereka telah diracuni otaknya karena kebanyakan nonton sinetron.

“Itu tidak benar, Bu! Saya tak punya hubungan apa-apa dengan Pak Adri. Tak pernah terlintas di pikiran saya untuk mengincarnya. Apa yang saya lakukan hanyalah menjalankan pekerjaan saya sebagai pembantu di sini,” aku berusaha meyakinkan perempuan itu.

“Aku tidak percaya! Aku juga tak bisa percaya kalau ternyata adikku itu suka sama orang seperti kamu.”

Aku tak bisa berkata apa-apa. Bagaimana cara untuk meyakinkannya kalau aku tak punya perasaan apa-apa dengan Pak Adri, apalagi sampai memanfaatkan kesempatan untuk mengincarnya? Semakin aku berusaha untuk membela diri, semakin kuat saja pikiran yang tak kuhendaki itu mencuat ke permukaan, bagaimana kalau ternyata ia memang suka denganku? Bukankah belakangan ini ia menunjukkan sikap dan perhatian yang tak biasanya? Membelikan aku HP dan bahkan mengajakku pergi liburan? Orang lain saja bisa membaca gelagat itu, kenapa aku malah menepisnya?

‘Kamu harus tahu diri, Mar! Jangan sampai adikku itu melakukan yang sama sekali tak kami harapkan, katakanlah ia akan memperistrimu.”

“Lantas saya harus bagaimana?”

“Gampang saja. Kau tak boleh lagi bekerja di sini.”

“Apa?” aku kaget mendengarnya. Ucapannya itu seperti halilintar di terlingaku. Selanjutnya dengan gamblang ia mengatakan sesuatu yang harus aku laksanakan biar Pak Adri percaya bahwa benar-benar aku yang ingin berhenti bekerja, dan perempuan itu akan memberiku segepok uang sebagai ucapan terima kasih atas pengabdianku selama ini.

Hatiku pedih. Kenapa sampai begini jadinya? Tapi aku tak kuasa menolak. Akhirnya setelah kupikirkan beberapa jenak dan tentu saja di bawah tekanan, akan aku laksanakan apa yang ia minta, sebagai bukti kalau aku tak punya agenda tersembunyi untukmenggaet lelaki mapan yang masih singel itu. Aku rasa sepuluh juta itu cukup untuk modal memulai hidupku yang baru.

***

Aku tak kuasa mengatakannya. Sudah dua hari ia pulang, tapi aku belum juga melaksanakan apa yang disuruh oleh Bu Rani. Berat sekali hatiku bila meninggalkan semua ini. Aku sudah terbiasa dengan suasana rumah ini, dan terbiasa juga dengan penghuninya. Aku akan kehilangan semua itu. Dua belas tahun bukanlah waktu yang singkat, banyak pengalaman yang kudapatkan di sini.

Ketika ia sedang bersantai di ruang tengah sore itu, aku memberanikan diri bicara dengannya.

“Kamu ingin berhenti? Apa aku nggak salah dengar?” ia kaget mendengar penuturanku.

“Ya, Pak, saya mau berhenti bekerja,” aku tak berani menatap wajahnya.

“Siapa yang akan mengurus rumah dan mengurusku nanti?”

“Bapak bisa mencari pengganti saya. Tidak sulit, kok.”

“Tak segampang itu, Mar! Aku nggak mau yang lain. Aku mau hanya kamu.” Ia menolak tegas. Raut wajahnya masih takpercaya.

“Kenapa kamu ingin berhenti? Apa ada sikapku yang salah selama ini?”

“Tidak!Bapak tidak salah...”

“Lantas apa? Kamu tidak betah?”

“Saya betah kerja di sini.”

“Lalu kenapa kamu ingin berhenti?”

Aku diam, mencoba memberanikan diri menatapnya, tapi itu justru membuatku jadi tak kuasa untuk berbohong.

“Semenjak aku pulang, kau tampak tidak seperti biasa. Wajahmu selalu muram. Sekarang kau bilang mau berhenti. Pasti ada sesuatu denganmu, Mar!”

Aku masih diam. Rasanya aku semakin bersalah jika harus membohonginya. Ia begitu baik, bahkan teramat baik belakangan ini.

“Maafkan saya Pak, tapi saya tidak bisa lagi bekerja di sini.”

“Kenapa?”

Aku tak menjawab. Tiba-tiba air mataku jatuh dengan sendirinya.

“Mar, bilang padaku jika kau punya masalah. Aku siap membantu asal kau tidak berhenti bekerja,” ia memegang bahuku dengan lembut. Aku merasa ada getar-getar aneh yang merambat di dada. Aku semakin tertunduk.

“Lihat aku, Mar!” ia mengangkat daguku dengan jemarinya. Dadaku jadi bergemuruh. Tiba-tiba saja aku melihat sorot matanya tidak biasa. Segala yang kupungkiri seakan berbalik ke arahku, membuatku yakin apa yang dikatakan Mira, Bang Jun, bahkan Bu Rani, memang benar. Dengan perasaan yang membuncah akhirnya aku berterus terang padanya.

***

Singapura tampak bermandikan cahaya di seberang lautan, seakan-akan tempat bermukimnya bintang-bintang di kala malam. Sangat indah. Tatapanku tak beralih dari sana, padahal suasana kafe tempat kami berada tak kalah menarik walau pemandangannya lebih alami dan sedikit temaram. Taman yang mengelililing tampak rapi dengan meja kursi taman yang artistik. Tak banyak tamu-tamu yang datang malam itu.

“Sengaja aku mengajakmu ke sini, untuk membicarakan sesuatu denganmu, Mar,” ujar Pak Adri menatapku dengan senyum manisnya. Aku hanya diam menenangkan debaran di dada. Apakah ia ingin membicarakan sesuatu yang amat khusus sehingga mengajakku ke tempat romantis begini?

“Bapak mau membicarakan tentang apa?”

“Tentang sebuah rahasia.”

“Rahasia? Rahasia apa, Pak?”

Yeah, it’s just a little secret. Tapi kamu harus janji untuk tidak memberitahu yang lain, hanya antara kau dan aku.”

“Antara bapak dan saya?”

“Supaya kau paham. Dua belas tahun kau bekerja denganku, selama itu kita tak benar-benar mengenal satu sama lain. Bahkan sampai detik ini kamu belum mengenal siapa aku...”

Ia diam sejenak.

“Pernah menduga kenapa sampai sekarang aku tidak menikah lagi?”

“Luka di hati Bapak belum sembuh,” jawabku.

“Bukan itu,” ia menggeleng. Aku mengerinyitkan kening.

“Aku tidak mau membohongi diriku lagi. Dulu aku berusaha berbohong pada diri sendiri dan juga pada yang lain, tapi apa yang kudapat? Perempuan yang aku nikahi, pergi meninggalkanku. Semenjak itu aku sadar aku tidak mau berbohong lagi. Akan menyakitkan bila itu terjadi.”

“Bapak bicara apa? Saya nggak paham.”

Ia menatapku dengan tajam.

“Aku tidak seperti laki-laki yang lain, Mar. Aku mempunyai orientasi yang berbeda. Aku penyuka jenisku sendiri...” akunya dengan jujur.

Aku tersentak.

“Apa? Maksud Bapak...Bapak ho...”

“Sssttt....!” ia meletakkan telunjukknya di bibirku. Aku terpaksa menelan ucapanku lagi.

“Itu sebabnya kenapa aku tidak menikah sampai sekarang. Tapi jangan pernah kamu berpikir aku terlibat dalam cinta sejenis, itu tak pernah aku lakukan, karena tidak sesuai dengan prinsip moral yang kuanut. Tiap kali rasa itu datang, aku berusaha untuk tidak menghiraukannya. Berat memang, tapi itulah yang mesti aku hadapi. Dalam hidup ini pasti selalu ada cobaan yang mesti kita hadapi,” ujarnya berusaha tetap santai.

Aku menatapnya tak percaya.

“Tak ada orang yang tahu kondisiku yang sebenarnya. Tidak almarhumah ibuku, atau kakakku, atau siapa pun.Aku menyimpan rapat-rapat rahasia ini sampai detik ini.”

“Tak seorang pun?”

“Tidak. Hanya kamu yang kuberi tahu.”

“Kenapa saya?”

“Karena aku mulai menyukaimu, eh, maksudku sebagai teman. Semenjak ibuku pergi, tak ada lagi orang di rumah yang bisa kuajak bicara. Aku hampir saja depresi waktu itu. Kalau bukan kau yang membuka mataku, tentu aku masih berkubang dengan kesedihan.”

“Apa yang saya lakukan? Saya tak melakukan apa-apa!”

“Mungkin kau tak menyadarinya. Cara kamu merawat dan mengurusku waktu aku sakit tempo hari, kau melakukannya dengan tulus.”

Aku merasa tersanjung mendengarnya.

Kupandangi ia lekat-lekat. Sekarang baru bisa kupahami mengapa ia menjadi baik padaku. Bukan itu saja, semua keganjilan-keganjilan yang aku temukan selama ini seperti menemukan jawabannya.Mengapa ia dulu membiarkan istrinya kabur, mengapa ia tidak menikah lagi, mengapa ia tak pernah kulihat jalan dengan perempuan lain, dan mengapa ia memperlakukanku seperti seorang teman, sekarang aku paham. Entah kenapa, pikiran-pikiran yang sempat menggangguku sekarang menguap sudah. Malu juga mengingat punya pikiran seperti itu. Dan sekarang aku melihatnya dengan pandangan yang berbeda.

“Maafkan saya, Pak, kalau saya sempat berpikir yang macam-macam sama Bapak. Salah mengartikan kebaikan yang saya terima.”

“Nggak perlu minta maaf, Mar. Kamu nggak salah, kok.”

“Kalau begitu, bisa kah saya tetap bekerja, Pak? Saya tak jadi berhenti. Saya masih ingin kerja sama Bapak,” ujarku pada akhirnya.

Ia tersenyum lebar.

“Itu yang aku inginkan.”

“Tapi Bu Rani, bagaimana?”

“Biar nanti aku yang menjelaskan padanya.”

Malam semakin merayap. Aku menyesap milkshake yang kupesan tadi. Pak Adri pun menyeruput soft drinknya. Tak lama makanan pun datang. Berdua kami menyantap tenderloin steak di bawah cahaya bulan, dan menatap gemerlap Singapura dari kejauhan.

Tak ada lagi prasangka itu. Aku berterima kasih padanya karena tidak memperlakukanku hanya sebagai pembantu, tapi juga sebagai teman. Dan teman yang baik akan selalu menjaga rahasia kecil temannya.

T A M A T

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun