Hukum dalam pandangan klasik sering dianggap sebagai instrumen netral yang menjamin kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Namun, dalam praktiknya, hukum tidak pernah lahir dalam ruang kosong; ia merupakan produk budaya, politik, dan ideologi yang mengitarinya. Dalam masyarakat yang bercorak patriarkal seperti Indonesia, hukum kerap kali melanggengkan ketidakadilan gender dengan membungkusnya dalam klaim netralitas.
Kenyataan sosial memperlihatkan bahwa perempuan sering menjadi korban berlapis. Pertama, sebagai korban langsung kekerasan laki-laki dalam bentuk pemerkosaan, pelecehan, atau diskriminasi. Kedua, sebagai korban "pemerkosaan struktural" oleh hukum dan institusi negara yang seharusnya memberi perlindungan, namun justru mereproduksi ketidakadilan. Pandangan kritis ini dapat dirangkum dalam kalimat: saat laki-laki tidak memperkosa perempuan, maka institusi hukumlah yang memperkosanya.
Data memperkuat pandangan ini. Menurut Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2023, terdapat 289.111 kasus kekerasan terhadap perempuan, dengan kekerasan seksual menduduki proporsi yang signifikan. Angka ini hanya mencerminkan laporan resmi; jumlah kasus yang tidak dilaporkan kemungkinan jauh lebih besar akibat stigma sosial. Selain itu, diskriminasi juga tampak dalam dunia kerja: survei ILO (2022) mencatat bahwa perempuan Indonesia masih menghadapi kesenjangan upah sekitar 23% dibanding laki-laki untuk pekerjaan yang sebanding. Sementara itu, representasi perempuan dalam lembaga penegakan hukum masih rendah; hanya sekitar 13% dari total personel kepolisian Indonesia adalah perempuan, padahal kehadiran mereka sangat penting untuk penanganan kasus berbasis gender.
Feminisme hukum (feminist jurisprudence) lahir sebagai kritik terhadap hukum yang mengklaim netral dan universal, namun sebenarnya dibentuk dari pengalaman maskulin. Carol Smart, tokoh feminisme hukum, menegaskan bahwa hukum selalu bersifat "gendered," yakni menyerap nilai-nilai patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai pusat, sementara pengalaman perempuan diabaikan.
Di Indonesia, bias ini tampak jelas. Penelitian Sitanggang dkk. (2024) menyebutkan bahwa meskipun terdapat regulasi seperti UU PKDRT (2004) dan UU TPKS (2022), implementasi hukum masih menghadapi kendala serius: aparat penegak hukum tidak memiliki sensitivitas gender, masyarakat masih menyalahkan korban, dan proses hukum justru sering menimbulkan reviktimisasi. Hukum yang seharusnya melindungi korban justru berubah menjadi instrumen yang mengadili korban.
Dengan demikian, klaim hukum sebagai "blind justice" adalah ilusi. Netralitas hukum hanyalah netralitas semu yang menutup mata terhadap pengalaman perempuan. Jika pemerkosaan secara fisik merampas tubuh perempuan, maka hukum patriarkal merampas martabat, suara, dan hak perempuan dalam ruang publik.
Untuk memahami bagaimana hukum dapat "memperkosa" perempuan, ada baiknya kita melihat fakta konkret dari beberapa ranah:
- CATAHU 2023 mencatat 289.111 kasus kekerasan terhadap perempuan, dengan kekerasan seksual sebagai salah satu bentuk dominan. Namun, hanya sebagian kecil kasus yang berhasil diproses hingga ke pengadilan. Banyak korban memilih untuk tidak melapor karena takut disalahkan atau dianggap mencoreng nama baik keluarga. Dalam ruang sidang, korban sering ditanya tentang pakaian yang dikenakan, perilaku sebelumnya, bahkan riwayat seksualnya---sebuah bentuk victim blaming yang mempermalukan korban dan menormalisasi kekerasan.
- Dalam dunia kerja, perempuan masih menghadapi hambatan struktural. Survei ILO (2022) mencatat kesenjangan upah gender di Indonesia mencapai 23%. Perempuan juga lebih rentan kehilangan pekerjaan setelah melahirkan. Hak cuti melahirkan dan menyusui yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan masih belum diimplementasikan secara konsisten; banyak perusahaan mencari celah untuk menghindari kewajiban ini. Hal ini menunjukkan kegagalan negara dalam menjamin kesetaraan kesempatan kerja.
- Data Mabes Polri (2023) menunjukkan bahwa jumlah polisi perempuan hanya sekitar 13% dari total personel. Dalam lembaga peradilan, jumlah hakim perempuan juga masih jauh di bawah laki-laki. Padahal, representasi perempuan penting untuk membawa perspektif gender dalam memutus perkara, terutama kasus kekerasan berbasis gender. Minimnya keterwakilan ini membuat hukum tetap didominasi oleh logika maskulin.
- Budaya patriarki membuat masyarakat sering menyalahkan perempuan. Dalam kasus perkosaan, perempuan dianggap "mengundang" pelecehan karena pakaian atau sikapnya. Jika hamil di luar nikah akibat perkosaan, korban sering dicap sebagai "perempuan nakal," sementara pelaku seringkali lolos dari stigma. Stigma ini bukan hanya melukai korban secara psikologis, tetapi juga memengaruhi aparat hukum dalam menangani perkara.
- Ketidakadilan hukum tidak hanya menimpa perempuan heteroseksual, tetapi juga kelompok rentan lain yang dianggap menyimpang dari norma dominan, termasuk LGBT. Mereka sering menjadi objek kriminalisasi dan diskriminasi hukum, memperlihatkan bahwa hukum patriarkal tidak hanya maskulin, tetapi juga heteronormatif.
Dimensi Filosofis: Themis dan Kritik Feminis
Themis, dewi keadilan dalam mitologi Yunani, digambarkan membawa timbangan (keseimbangan), pedang (ketegasan), dan penutup mata (objektivitas). Ia dipersonifikasikan sebagai perempuan, seolah keadilan memiliki sifat feminin: lembut, bijaksana, dan seimbang. Namun, ironi muncul: mengapa simbol keadilan digambarkan sebagai perempuan, sementara hukum nyata justru menindas perempuan?
Dalam perspektif feminisme hukum, Themis mencerminkan kontradiksi hukum modern. Penutup mata yang dimaksudkan sebagai simbol netralitas justru menjadi simbol kebutaan terhadap pengalaman perempuan. Keadilan yang seharusnya inklusif berubah menjadi mekanisme eksklusif yang mempertahankan dominasi patriarki.