Mohon tunggu...
Boydo Saragih
Boydo Saragih Mohon Tunggu... Pemerhati Hukum

Mahasiswa S1 Ilmu Hukum UNSRAT Manado, konsentrasi di bidang Hukum Pidana dan Hak Asasi Manusia.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Menelusuri Akar Sistemik dari Pusaran Korupsi di Sumatera Utara

6 Juli 2025   08:29 Diperbarui: 5 Juli 2025   12:34 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Konferensi Pers KPK (Sumber Antara)

Pada akhir Juni 2025, publik kembali dikejutkan oleh operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap pejabat Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Dalam operasi ini, KPK menetapkan lima tersangka, termasuk Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Sumatera Utara, serta beberapa pejabat pembuat komitmen (PPK) dan rekanan swasta. Kasus ini berkaitan dengan dugaan korupsi dalam pengadaan proyek pembangunan jalan di Mandailing Natal yang bernilai Rp157,8 miliar, dengan total uang suap yang diduga mencapai Rp231 juta. Proyek tersebut dilakukan melalui dua skema pengadaan: penunjukan langsung yang melanggar prinsip persaingan usaha, dan skema e-katalog yang direkayasa. Fakta ini menunjukkan bahwa praktik korupsi di sektor infrastruktur tidak hanya masih terjadi, tetapi juga semakin sistemik dan terstruktur secara vertikal.

Fenomena korupsi di Sumatera Utara bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Dalam laporan KPK tahun 2023--2024, terungkap bahwa terdapat 170 kasus korupsi yang sedang diusut di wilayah Sumut, dengan 44% di antaranya menyangkut penyalahgunaan anggaran (Detik.com, 2024). Ini mengukuhkan status Sumatera Utara sebagai salah satu provinsi dengan angka korupsi tertinggi di Indonesia, sebagaimana juga dikritisi dalam Catatan Akhir Tahun oleh Sahdar (Sumut.IDNTimes.com, 2024). Korupsi bukan lagi sekadar tindakan individu, tetapi telah menjelma menjadi budaya birokrasi yang diwariskan secara turun-temurun. Dalam pendekatan historis, warisan sentralisasi kekuasaan sejak era Orde Baru hingga era otonomi daerah telah menciptakan celah kekuasaan yang rentan disalahgunakan, terlebih ketika kekuasaan tersebut tidak dibarengi dengan akuntabilitas yang kuat.

Secara normatif, tindakan korupsi dalam kasus ini jelas melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penunjukan langsung dalam proyek pengadaan, tanpa melalui lelang terbuka sebagaimana diatur dalam Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, merupakan pelanggaran terhadap asas transparansi dan akuntabilitas publik. Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah bagaimana sistem pengawasan internal seperti APIP (Aparat Pengawasan Intern Pemerintah), hingga sistem evaluasi oleh Inspektorat Daerah, gagal mendeteksi pola rekayasa sejak tahap perencanaan.

Masalah mendasar dari kasus ini bukan hanya lemahnya penegakan hukum, tetapi juga disfungsi struktural dari sistem birokrasi daerah yang gagal menerapkan prinsip good governance. Dalam banyak kasus, pengadaan proyek infrastruktur di daerah sering kali hanya menjadi alat transaksi politik antara kepala daerah, DPRD, dan pengusaha rekanan. Dalam kerangka teori korupsi birokratik menurut Klitgaard (1991), korupsi tumbuh subur ketika terdapat monopoli kekuasaan (monopoly), adanya diskresi (discretion), dan minimnya akuntabilitas (accountability). Ketiganya sangat terlihat dalam kasus ini.

Dari sisi sosial, kerugian terbesar dari praktik korupsi seperti ini tidak hanya terhitung dari nilai proyek yang bocor, tetapi juga dari terhambatnya pembangunan dan pelayanan publik yang bermutu. Sumatera Utara masih memiliki angka kemiskinan yang tinggi: sekitar 1,228 juta jiwa atau 7,9% dari total populasi (BPS, 2024). Infrastruktur jalan adalah salah satu tulang punggung pembangunan ekonomi lokal, terutama di daerah seperti Mandailing Natal yang topografinya sulit dijangkau. Ketika proyek-proyek pembangunan dikorupsi, yang terdampak langsung adalah masyarakat paling rentan. Hal ini jelas menghambat pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG), khususnya SDG 9 (Infrastruktur, Industri, dan Inovasi), SDG 1 (Tanpa Kemiskinan), dan SDG 10 (Mengurangi Ketimpangan).

Dalam dimensi politik, kita harus mengakui bahwa korupsi pengadaan sering kali memiliki keterkaitan erat dengan kebutuhan politik praktis. Proyek pembangunan yang seharusnya menjadi wahana pelayanan publik, kerap kali dijadikan ladang pencarian dana untuk kepentingan elektoral atau loyalitas politik. Hal ini bukan semata-mata persoalan moral individu, tetapi soal desain kekuasaan yang mempertemukan kepentingan ekonomi-politik dalam satu meja transaksional. Dalam kondisi seperti ini, hukum hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan, bukan instrumen keadilan.

Penanganan korupsi tidak bisa lagi bersifat parsial dan reaktif. OTT oleh KPK hanyalah pintu masuk kecil dalam upaya besar reformasi struktural. Kita memerlukan pendekatan yang menyeluruh: mulai dari perbaikan sistem perencanaan dan pengadaan yang terintegrasi secara digital dan transparan; penguatan fungsi pengawasan independen yang tidak tunduk pada kepala daerah; perlindungan terhadap pelapor (whistleblower); hingga penerapan sanksi sosial yang memberi efek jera. Selain itu, harus ada edukasi politik bagi masyarakat agar mereka tidak memilih pemimpin berdasarkan kekuatan patronase, tetapi pada rekam jejak integritas dan kapasitasnya.

Pembenahan budaya anti korupsi di daerah seperti Sumatera Utara menuntut kerja kolektif lintas sektor. Media massa, lembaga swadaya masyarakat, kampus, dan organisasi keagamaan perlu diberdayakan sebagai bagian dari ekosistem kontrol sosial. Kita juga harus meninjau ulang efektivitas otonomi daerah. Apakah benar otonomi telah menciptakan ruang partisipasi dan pemerintahan yang lebih baik? Ataukah justru memperluas lahan korupsi di luar jangkauan pusat?

Kasus di Sumatera Utara hanyalah puncak gunung es dari penyakit korupsi yang struktural. Untuk membongkar akar persoalan ini, kita perlu pendekatan yang lebih dari sekadar pidana, melainkan pendekatan sosial-politik yang berani menyentuh jantung persoalan. Kita tidak hanya memerlukan jaksa dan hakim yang adil, tetapi juga rakyat yang sadar dan pemimpin yang benar-benar takut pada suara nuraninya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun