Argumentasi sejarah yang dikemukakan Tiongkok bahwa nama ini tercantum dalam catatan kronik sejak Dinasti Han (206 Sebelum Masehi sampai tahun 220), untuk mendukung klaim mereka di wilayah tersebut. Tetapi bukankah itu hanya nama yang berlaku dalam khazanah historis lokal di Tiongkok belaka bukan menurut sebuah konvensi internasional?
Jadi klaim itu sebenarnya mudah ditepis dengan alasan bahwa pemakaian nama itu dalam skala yang luas ternyata sangat meragukan. Nama "Laut China Selatan" sebenarnya hanya mengacu pada sebuah fakta bahwa mayoritas laut berada di bawah kendali Angkatan Laut Jepang selama Perang Dunia II menyusul pendudukan militer di sekitar wilayah Asia Tenggara pada tahun 1941.Â
Jepang menyebutnya "Minami Shina Kai" yang bermakna "Laut China Selatan". Ini tertulis sampai tahun 2004, ketika Kementerian Luar Negeri Jepang dan kementerian lainnya mengukuhkannya dengan menyilih ejaannya, yang telah menjadi standar pemakaian nama laut ini di Jepang. Maka Pemerintah Jepang pun bisa diminta pertanggungjawaban supaya mengubah pemakaian nama tersebut di atas meja perundingan.
Di Asia Tenggara pada zaman dahulu kala disebut Laut Champa atau Laut Cham, merujuk kerajaan maritim Champa yang berjaya di sekitar perairan ini sejak abad ke-6 hingga ke-15.Â
Jadi merunut pada sejarah itu, Komunitas Keamanan Politik ASEAN dapat menunjukkan wujudnya melalui sebuah cara: berkuasa mengembalikan nama Laut China Selatan menjadi Laut Champa atau Laut Cham sebagai konvensi regional antarnegara di Asia Tenggara yang mayoritas mengelilingi laut ini. Terakhir kemudian pada gilirannya ASEAN c/q APSC lewat cara yang takzim dapat mengajukan pengabsahan nama geografi baru kepada IHO.
Di sisi lain, APSC juga perlu menunjukkan taji dengan menawarkan mekanisme penanganan konflik Rohingya. Sebagai masalah dalam negerinya sendiri, Myanmar sejauh ini hanya melibatkan pihak-pihak di luar ASEAN.Â
Tetapi apa salahnya Komunitas Keamanan Politik ASEAN menyisihkan sejenak campur-tangan Koffi Annan dalam gugus tugas yang dibentuk atas perintah konselor negara Aung San Suu Kyi dan Tim Pencari Fakta buatan Perserikatan Bangsa-bangsa?
Pandangan yang mestinya sulit disanggah bisa diutarakan dengan gamblang ke mata dunia internasional: bahwa Asia Tenggara memiliki sebuah institusi kawasan yang berwibawa, yakni ASEAN yang di dalamnya sudah terbentuk APSC.Â
Di sinilah, di atas panggung diplomatik dari mata-rantai kukuh yang terjalin dalam hubungan regional demi membuka mata dunia internasional, Indonesia boleh tampil dengan ketangguhan yang gagah perkasa sebagai pemimpinnya, sebagai negara terbesar Asia Tenggara.