Siang-siang nongkrong di kafe sambil nunggu kelas jam 2 siang bawa laptop, buka Spotify, pesen cappucino latte 30 ribuan. "Cuma segelas kok," pikir gue. Tapi coba dihitung, kalau "cuma segelas" itu tiap hari, sebulan bisa jadi 900 ribu. Lumayan banget kan buat nambah saldo tabungan?
Nah, tulisan ini bukan buat nge-judge pecinta kopi ya. Gue juga suka kopi, apalagi yang ada foam-nya tebal dan wangi banget itu. Tapi kadang kita perlu berhenti sebentar dan mikir "sebenarnya yang bikin kita boros itu kebutuhan, kebiasaan, atau gengsi?"
Gaya Hidup "Ngopi Dulu" yang Jadi Default
Ngopi bukan cuma soal minum kafein, tapi udah jadi gaya hidup. Kafe sekarang bukan cuma tempat minum kopi, tapi juga "ruang sosial" untuk tempat nugas, rapat, bahkan healing dari tugas kampus yang nggak kelar-kelar. Masalahnya, gaya hidup ini gampang banget bikin dompet kita "kering tapi berkelas".
Misalnya giniÂ
- Kopi susu kekinian: Rp25.000 -- Rp40.000
- Camilan biar nggak canggung nongkrong: Rp20.000
- Ongkos ojek buat ke kafe: Rp10.000 -- Rp15.000
Total pengeluaran sekitar Rp50.000 -- Rp100.000 per nongkrong.
Kalau dilakukan 3 kali seminggu, udah Rp600.000--Rp1.200.000 per bulan. Padahal tabungan di rekening masih stagnan di angka "seratus ribu aman sampai tanggal tua".
Masalahnya Bukan di Kopinya, Tapi di Polanya
Sebenarnya, gak ada yang salah sama menikmati kopi. Semua orang butuh waktu santai, butuh recharge energy. Tapi yang sering bikin dompet tipis itu bukan kopinya, melainkan pola konsumsi impulsif. Kita sering terjebak dalam mindsetÂ
"Aku udah capek nugas, pantaslah reward dikit."
"Lagi bete, kopi bisa bantu fokus."
"Temen ngajak nongkrong, masa nggak ikut?"
Lama-lama, tanpa sadar, kopi berubah dari kebutuhan jadi pelarian dari stres dan tekanan. Padahal, stres bisa diobati dengan hal lain yang lebih hemat (dan bahkan lebih sehat), kayak olahraga, journaling, atau jalan sore di taman kampus.
Harga Kopi = Tabungan Masa Depan
Mari main hitung-hitungan dikit (jangan kabur dulu, ini gampang kok ).