Mohon tunggu...
Bona Ventura Ventura
Bona Ventura Ventura Mohon Tunggu... Guru - Kontributor buku antologi: Presiden Jokowi: Harapan Baru Indonesia, Elex Media, 2014 - 3 Tahun Pencapaian Jokowi, Bening Pustaka, 2017 | Mengampu mapel Bahasa Indonesia, Menulis Kreatif, dan media digital

#Dear TwitterBook, #LoveJourneyBook @leutikaprio

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kehendak Hidup Vs Bunuh Diri - Percikan Filsafat Schopenhauer

7 April 2020   13:44 Diperbarui: 7 April 2020   13:51 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kuyu. Berbeban berat. Kedua tangan memegang barang perlengkapan sekolah. Ditambah beban dua kali lipat terletak di punggung. Itulah sebagian potret peserta didik di Republik Indonesia. Sejatinya wajah masa depan suatu bangsa tergambar pada anak-anak kini yang bersekolah.

Lalu, lihatlah wajah mereka saat memasuki gerbang sekolah dan kelas. Cukup sukar menemukan wajah-wajah gembira nan ceria pada diri mereka. Penanda pertama dapat dilihat dengan tas sekolah mereka yang berat untuk tataran usianya.

Kini kerap ditemukan tas punggung atau tas seperti koper berisi macam-macam pendukung pembelajaran yang memperlambat gerak anak-anak peserta didik. Penggambaran tentang peserta didik yang dari rumah sudah terbebani dengan ragam barang bawaan yang memberatkan cukup dapat membayangkan wajah-wajah mereka.

Nyaris jarang tersenyum. Berjalan tanpa sempat bertegur sapa dengan teman atau guru yang berpapasan. Barang bawaan sekolah di punggung dan tentengan di tangan sudah menyulitkan awal hari mereka. Penuh beban. Nyaris tiap hari.

Awal yang kurang baik ini terus terbawa hingga mereka masuk belajar di dalam kelas. Keceriaan dan kreativitas mereka semakin menyusut, apabila guru-guru yang mengajar masih menganut pendekatan konvensional. Pendekatan tersebut menganggap bahwa peserta didik sebagai kertas putih yang belum memiliki pengetahuan sebelumnya.

Guru sebagai titik pusat dalam pendekatan pemelajaran tersebut. Guru yang aktif, sedangkan peserta didik pasif semata. Pemelajaran konvensional semacam itu akan semakin membebani peserta didik. Mereka semakin menganggap bahwa sekolah sudah memasung keceriaan dan kreativitas. Waktu pun seolah berjalan lambat yang dirasakan peserta didik dalam suasana pemelajaran konvensional.

Penderitaan Berlipat

            Beban akibat barang bawaan, beban akibat pemelajaran konvensional yang memasung kemerdekaan belajar kadang masih ditambah lagi dengan beban sosial berupa perisakan, atau intimidasi dalam pergaulan di sekolah semakin menambah penderitaan berlipat bagi peserta didik.

            Penulis pernah mendampingi pemelajaran kelas X dan XI di sekolah swasta daerah Tangerang. Selain mengajar di kelas, kadang sebagai guru ada beberapa murid yang sering curhat tentang permasalahan diri. Kadang tentang PDKT ke gebetan, masalah relasi dengan orangtua, kesulitan mengikuti suatu mata pelajaran. Curhat murid kepada guru tidak pernah terencana. Murid memiliki radar siapa saja guru yang layak mendengar curhat mereka. Kebetulan penulis sering bergabung bersama mereka seperti bermain bola basket, futsal, makan/ nonton bareng.

            Kala bersama tersebut para murid yang ingin curhat segera mendekati penulis. Tanpa diminta, mereka akan mulai curhat permasalahannya. Ada satu kasus khusus yang penulis ingat tentang curhat seorang murid. Ia agak terbebani dengan kondisi di rumah. Kedua orangtuanya sering bertengkar hingga mereka saling melontarkan kata bercerai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun