Mohon tunggu...
Masbom
Masbom Mohon Tunggu... Buruh - Suka cerita horor

Menulis tidaklah mudah tetapi bisa dimulai dengan bahasa yang sederhana

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Saat Kita Menjadi Alat Promosi bagi Mereka

19 Februari 2020   11:45 Diperbarui: 19 Februari 2020   11:45 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Waktu itu hujan gerimis sehabis maghrib. Aku sekeluarga sedang berkumpul di ruang tamu. Tiba-tiba terdengar suara pintu ruang tamu diketuk. Seorang tetangga, agak jauh rumahnya tetapi masih satu RT datang ke rumah. Terlihat topi hitam dan baju kaos sebelah atasnya sedikit basah oleh air hujan. Rupanya dia tidak membawa payung.

Dia sedikit mendongakkan kepala dan memicingkan matanya saat melihatku. Bukan karena kacamata tebalnya yang basah kena rintik hujan atau dia lupa dengan wajahku. Tapi memang kebiasaan dia kalau sedang memandang serius pasti seperti itu. Setelah berbasa-basi sebentar, dia tetap tidak mau masuk ke dalam dan memilih berdiri saja di depan pintu rumah.

"Begini, Mas ... besok Minggu pagi datang ya, di pendopo kelurahan. Acara jalan sehat, ada sponsornya juga," katanya sambil memberikan setumpuk topi dan kaos.

"Wah, banyak sekali ini, Mas ...."

"Iya, sekalian nanti minta tolong tetangga sekitar diajak terus dikasih topi sama kaos ini. Kalau ini kurang, nanti tak tambahi. Di rumah masih banyak," katanya sambil nyengir kuda.

Aku sedikit gamang menerima barang-barang itu sambil memandang heran padanya. Karena Aku teringat pada kata sponsor yang barusan dia ucapkan. Kok jadi Aku yang disuruh membagikannya? Bukankah dia telah menerima imbalan untuk semua ini? Sedangkan Aku tidak! Pikirku ....

"Ee ... nanti dapat sarapan dan souvenir gratis juga," lanjutnya sambil memberikan beberapa lembar  voucer makan dan souvenir.

Aku membawa masuk untuk melihat barang-barang itu. Aku buka dan kuhitung jumlahnya. Sementara itu, dia tetap saja menunggu di depan pintu. Berulang kali aku suruh masuk tapi tidak mau.

"Ini benar gratis atau ada timbal baliknya?" tanyaku saat kulihat kaos di sebelah belakang ada gambar paku menancap pada kotak persegi bertuliskan nomor dan sebuah nama seseorang. Dia diam sebentar, mungkin lagi berpikir atau ngelamun Aku juga tidak tahu.

"Misalnya, yang datang ke sana, besok coblosan harus memilih nomor ini?" tanyaku kemudian.

Tapi dia masih diam, mungkin sebagai orang Jawa budaya ewuh pekewuh masih dipegangnya. Aku sebenarnya paham dengan sasmito itu. Hanya saja Aku butuh kepastian verbal dari kesepakatan ini agar Aku tidak merasa ada beban setelah berlangsungnya acara nanti. Dan bagi sebagian orang, diam adalah jawaban tanda setuju. Seperti sikap diamnya seorang gadis saat ditanya sesuatu.

"Ya ... pokoknya datang sajalah, 'nggo rame-rame'. Sarapan nasi liwet, ambil souvenir ... terus pulang juga nggak apa-apa," jawabnya kemudian.

Selanjutnya apa yang dia omongkan tidak mengajak Aku untuk menentukan pilihan maupun ajakan yang berupa provokasi lainnya. Dan Aku mengambil kesimpulan sendiri dari apa yang telah dia omongkan.

DEAL ...!!!

Aku pun menerima topi dan kaos itu karena kasihan padanya, hujan-hujan sudah datang ke rumah. Dan Aku akan membantu untuk membagikan kepada tetangga sekitar yang mau saja!

Dia kemudian berpamitan pulang setelah terlebih dulu mengucapkan terima kasih karena aku bersedia membantunya. Dan kata-kata dia yang berbunyi 'nggo rame-rame' yang artinya sekedar untuk meramaikan acara itu saja ... akan kupegang dan kukatakan kalau ada tetangga sekitar yang menanyakan apa urgensinya datang di acara tersebut. Walau kata-kata itu tidak mempunyai kekuatan hukum apapun!

Aku memperhatikan topi dan kaos tersebut. Aku tidak tertarik pada kaosnya. Kenapa ...? Biasalah ...! Kaos 'nggo rame-rame' itu mutunya seperti apa. Bahannya semrawang (sedikit tembus pandang) ... tipis sekali, kalau dipakai tanpa dobel kaos pasti dalaman kita kelihatan, hehehe ... Ada juga yang bilang kalau kaos itu seperti saringan untuk memeras tahu. Aku lebih tertarik pada topinya. Tapi topi berwarna hitam itu ada tulisan #01-nya berwarna putih. Sudah bisa ditebak, topi dan kaos itu untuk apa. Untuk kampanye? Tepat sekali!

Topi itu memang untuk mempromosikan tagar #01. Waktu itu semua sudah tahu apa atau siapa di belakang nomor tagar itu. Aku dan orang-orang yang nanti akan memakai topi dan kaos itu, jika ikut dalam acara jalan sehat, dapat dipastikan menjadi alat untuk mempromosikan, menyebarluaskan dan mengajak untuk mendukung tagar #01 dan caleg yang nomor urutnya terpampang di bagian belakang kaos tersebut.

Teringat dulu sekali .... Waktu Aku masih kuliah kakakku memberikan Aku topi. Topinya keren, berwarna biru dengan tulisan inisial CK berwarna putih di bagian depan. Tahukan apa kepanjangan inisial CK itu? Ya ... Calvin Klein! Sebuah merek dagang terkenal. Aku senang dan merasa bangga juga karena yang Aku pakai adalah topi bermerek terkenal. Waktu itu Aku tidak menyadari kalau sedang diperalat juga untuk mempromosikan merek dagang itu meskipun itu adalah hubungan timbal-baliknya.

Tidak Aku ceritakan acara jalan sehat itu karena Aku sedang tidak mau memihak. Singkat cerita acara selesai. Dan setelah acara itu selesai Aku masih suka memakai topi itu. Dan benar kalau topi itu memang 'nggo rame-rame'. Karena saat Aku pakai di jalan sekitaran kampung bersama anak ragilku ... waktu itu Aku nggak pakai helm, beberapa orang yang tidak Aku kenal memperhatikan dan menyapaku.

Bahkan lucunya lagi, ada seorang anak kecil, seumuran anak ragilku berboncengan motor bersama orang tuanya berteriak menyapaku. Ternyata anak kecil itu juga memakai topi yang sama dengan punyaku. Entah dia menyapaku karena terpesona pada anak ragilku atau karena merasa #01. Kalau begitu memang benar juga apa yang pernah dikatakan tetanggaku kemarin kalau topi itu 'nggo rame-rame' di jalan.

Dan saat Aku atau seseorang memakai topi itu, sadar atau tidak, sebenarnya sedang diperalat untuk mempromosikan tulisan #01 seperti saat Aku memakai topi bertuliskan CK dulu. Tapi jawaban singkat 'nggo rame-rame' saat itu siap untuk menjelaskan semuanya.

Bagaimana seandainya topi itu bertuliskan #02, #212, #234, #2019 Ganti Presiden, atau #2019 Tetap Jokowi ...?
Janganlah berandai-andai, karena topi itu ... just for 'nggo rame-rame'! Begitu kata tetanggaku.

Topi #01 sampai sekarang masih ada. Dan kadang-kadang Aku masih memakainya saat bersepeda di sekitaran kampung atau di jalur car free day bersama anak ragilku. Tapi kaos itu, entah sekarang ada di mana. Saat memakai topi itu Aku merasa cuek dan orang-orang juga sudah menganggap biasa saja, tidak ada yang memperhatikan dan menyapaku seperti dulu. Mungkin karena masa kampanye telah lewat. Dan tulisan dengan tagar #01 itu sudah tidak ada artinya lagi.

Berbeda dengan tulisan-tulisan merek dagang terkenal. Sampai kapan pun akan tetap dipakai untuk media promosi. Orang-orang yang memakainya pun merasa gengsinya sedikit naik karena memakai atribut dari merek dagang (brand) terkenal. Ada simbiosis mutualisme di dalamnya. Di mana seseorang mengeluarkan sejumlah uang untuk membeli barang bermerek dan merasa bangga. Sedangkan di pihak lain, brand tersebut akan semakin dikenal luas di masyarakat dan diharapkan dapat menaikkan hasil penjualan barang bermerek tersebut.

Ada dua kasus berbeda dengan tujuan yang sama di sini.

Yang pertama, tagar #01 dan nomor urut caleg. Dipakai untuk tujuan jangka pendek dan keuntungan sesaat. Media yang dipakai pun tidak memperhatikan mutu barang yang akan dipergunakan untuk promosi, seperti contoh kasus kaos di atas.  Meskipun tidak perlu membeli, hanya orang-orang yang sudah memiliki hubungan emosi dan sosial yang kuat dengan pemilik tagar dan caleg yang mau memakai barang-barang tersebut.

Tapi ada juga orang-orang bayaran di kelompok ini. Mereka mau memakai barang-barang tersebut (untuk kampanye) karena mendapatkan imbalan uang lelah. Setelah itu mereka tidak mau merawat barang itu, bahkan mungkin akan dijadikan barang bekas yang setiap saat bisa langsung dibuang.

Yang kedua adalah brand (merk dagang). Dipakai untuk tujuan dan keuntungan jangka panjang. Diperlukan biaya untuk mendapatkan barang-barang dengan mutu bagus dan bermerek terkenal. Mereka yang dulunya belum mengenal merek tersebut pun mau membeli dan memakainya karena kualitas dari barang itu. Selain itu mereka butuh eksis dan mengekspresikan dirinya di lingkungan mereka maupun di akun media sosialnya. Mereka mau merawat barang tersebut, bahkan jika rusak atau hilang mereka pun mau membelinya lagi.

Kini topi CK-ku sudah tidak ada. Ketinggalan di kantor kepala dusun waktu KKN dulu. Kemudian dilain hari Aku melihat topi CK-ku sudah dipakai oleh anak salah seorang perangkat dusun di sana.

Ya sudahlah, biar dia ikut mempromosikan tulisan CK pada masyarakat di dusun sana. Dan sudahkah tulisan CK dikenal luas di sana dan orang-orang dusun mau 'diperalat' untuk mempergunakan barang-barang dengan merek CK tersebut? Mungkin ada faktor budaya dan akses teknologi yang akan mempengaruhi perilaku konsumtif masyarakat di sana. Entahlah ... karena tidak ada survey untuk itu.

Meskipun begitu dapat ditarik kesamaan dari dua kasus di atas bahwa kita hanya sekedar menjadi alat promosi bagi mereka (pemilik tagar, caleg, maupun perusahaan pemilik brand). Secara sadar maupun tidak! Meskipun kita juga butuh itu karena alasan-alasan seperti tersebut di atas. Terjadi simbiosis mutualisme, seperti itulah adanya.

Salam.

~tepi bengawan solo.19.02.20~

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun