Mohon tunggu...
Masbom
Masbom Mohon Tunggu... Buruh - Suka cerita horor

Menulis tidaklah mudah tetapi bisa dimulai dengan bahasa yang sederhana

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cerpen Gangsingan] Pesan yang Terlupa

26 Maret 2019   08:57 Diperbarui: 29 Maret 2019   07:41 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Cerita sebelumnya)

Satu bulan telah berlalu ... kenangan itu masih teringat kuat di kepala Sono. Hatinya masih saja galau jika teringat Putri. Berdiri tak enak duduk pun tak nyaman. Dilihatnya sebuah benda yang masih tersimpan dengan baik di lemari kacanya. Angannya kembali saat dia bersama Tono pergi ke Alun-Alun Utara Jogja dulu. Saat dia membeli dua buah gangsingan pada seorang tua di sana. Dan saat dia bertemu dengan Putri serta memberikan salah satu gangsingan yang baru saja dibelinya.

"Gangsingan itu harusnya ada dua. Putri ... masihkah engkau menyimpannya? Suatu saat aku pasti akan menemukanmu ...."

Sono mengambil handuk dan segera menuju kamar mandi. Dinginnya air mengguyur tubuhnya dari kepala hingga kaki. Seolah meluruhkan semua rasa lelah setelah seharian beraktivitas di sekolahnya. Tubuhnya terasa nyaman dan segar kembali.

Hari pun semakin sore. Burung-burung terbang pulang ke kandangnya. Langit merah di ufuk barat terlihat jelas dari jendela kamar. Sono duduk di belakang meja belajarnya dan membuka sebuah buku pelajaran siap untuk dia baca-baca kembali meskipun besok hari libur sekolahnya. Tetapi pikirannya melayang tak menentu. Sore itu Sono tidak bisa konsentrasi belajar. Bayangan wajah Putri seolah-olah berseliweran di otaknya. 

"Putri, kenapa di setiap lembar buku ini selalu ada bayangan wajahmu? Kamu telah mencuri perhatianku. Apakah ini pertanda aku telah jatuh hati padamu?"


Bukannya membaca dan mempelajari buku itu Sono malah melamunkan Putri hingga tak terasa gelap telah datang menggantikan lembayung senja yang tenggelam di bawah cakrawala.

Dan malam itu suasana terasa sunyi jauh dari hiruk pikuknya kehidupan malam Kota Jogja. Suara-suara alam terdengar menghiasi malam yang semakin merayap tinggi. Suara jangkrik di sela-sela rerumputan, kicau burung hantu diantara dahan-dahan pepohonan serta bunyi gemerisiknya dedaunan yang tertiup angin menjadi melodi malam menemani hati Sono yang sedang gundah.

Sono keluar dari kamarnya dan melihat Kakeknya sedang duduk-duduk di pendopo. Di depannya ada sebuah radio transistor menemaninya. Irama musik berlanggam Jawa sayup-sayup terdengar merdu. Mata Kakek terlihat terpejam dan duduk bersila seperti sedang bermeditasi. Di sampingnya ada sebuah gelas berisi air putih dan beberapa potong singkong rebus kegemarannya. Dengan langkah pelan mengendap-endap Sono menghampiri Kakeknya.

"Sepertinya Kakek sedang tidur," pikirnya, "ada singkong rebus, kelihatannya enak, nih ..." kata Sono dalam hati. Dia menjulurkan tangannya pelan-pelan untuk mengambil singkong rebus sambil kembali melirik kearah Kakeknya.

"Hmm ... aman. Kakek tidak mungkin tahu. Beliau pasti  ketiduran," pikir Sono.

Belum sempat Sono menyentuh singkong rebusnya tiba-tiba Kakek menangkap tangannya. Sejurus kemudian mendorong tubuh Sono kebelakang hingga jatuh bergulung di lantai pendopo.

Gubrraaakk ....

"Aduh ... Kek! Bukannya tadi Kakek tertidur? Kok bisa merasakan gerakan dan menangkap tanganku?"

Kakek menarik nafas panjang dan perlahan-lahan menghembuskannya. Pelan-pelan matanya terbuka.

"Cucuku, Sono. Apa yang kau lihat dengan mata belum tentu benar menurutmu. Memang mataku terpejam tapi tidak dengan mata batinku. Dengan mata batin ini seseorang dapat merasakan gerakan-gerakan halus yang ada di sekitarnya."

"Merasakan gerakan halus? Mana mungkin Kek? Jangan-jangan Kakek tadi sedikit membuka mata terus melihatku."

"Cucuku ... coba kau perhatikan, seekor jangkrik akan berhenti mengerik jika ada sesuatu yang datang menghampiri meski dalam keadaan gelap. Juga seekor anjing akan terbangun dan menyalak dengan keras manakala ada seseorang datang dengan mengendap-endap. Itu insting yang dimiliki oleh semua hewan. Manusia juga memilikinya. Hanya sering tertutup oleh egonya, oleh ke'aku'annya, oleh kesombongannya ...."

"Begitu ya, Kek. Aku juga bisa memiliki mata batin?"

"Jika kau sanggup menutup ego kesombonganmu, kau akan mencapai keseimbangan jasmani dan rohani. Saat itulah mata batin terbuka, menuntun manusia menuju kesempurnaan hidupnya."

"Menutup ego kesombongan? Hmm ... sangat susah dilakukan, Kek. Bukankah itu melekat pada jiwa setiap manusia?"

"Benar, cucuku. Kuncinya adalah usaha keras dan kesabaran. Coba kau ingat-ingat tentang gangsingan. Kau akan menemukan jawabannya di sana," kata Kakek menutup pembicaraan.

Beliau pergi meninggalkan Sono setelah menyodorkan sepotong singkong rebusnya.

"Kek ... Kakek! Tunggu dulu!!! Jelaskan semuanya padaku." Sono hanya bisa melongo kebingungan.

Gerakan halus, mata batin, keseimbangan jasmani dan rohani, usaha keras, dan kesabaran, apa maksudnya? Semua berkecamuk dalam pikirannya.

"Apa hubungannya semua ini dengan gangsingan? Ah ... Kakek, selalu begitu. Mungkin besok Tono bisa membantuku," kata Sono dalam hati sambil menyantap singkong rebus pemberian kakeknya.

Malam semakin larut, Sono masih belum dapat menemukan jawaban dari pembicaraan dengan kakeknya. Dia rebahkan tubuhnya di atas tempat tidur matanya menerawang ke arah langit-langit kamar.

"Gangsingan ... apa hubungannya? Gangsingan ... yang kuingat malah Putri," kata Sono dalam hati sambil tersenyum sendiri.

Sono bangun dari tempat tidurnya dan berjalan menuju almari kacanya. Diambilnya gangsingan itu dan diperhatikannya dengan seksama. Gangsingan itu berbentuk tabung tertutup dengan sumbu bilah bambu. Sono mencoba mendirikan gangsingan itu pada sumbunya di lantai kamar. Tidak bisa berdiri! Gangsingan itu selalu terjatuh atau terguling di lantai. Dia mengambil tali gangsingan dan dililitkan pada sumbunya. Kemudian ditariknya kuat-kuat tali itu. Gangsingan terlontar dan berputar dengan cepat. Gangsingan itu dapat berdiri tegak pada sumbunya di atas lantai.

"Gangsingan ini  berputar kencang dan seimbang hingga bisa berdiri tegak dan terlihat tenang. Seimbang ... keseimbangan pada gangsingan itu mungkin yang dimaksud oleh kakek," kata Sono dalam hati.

Dia perhatikan terus gangsingan itu hingga berputar pelan dan lambat laun gangsingan itu bergoyang. Gangsingan itu tidak dapat lagi mempertahankan posisi seimbangnya. Dan jatuh berguling di lantai.

"Tetapi apa hubungan keseimbangan pada gangsingan dengan mata batin? Haruskah seseorang bergerak cepat untuk mencapai keseimbangan lahir dan batin. Aku masih bingung dengan semua ini ...."

Dasar anak muda, kalau masalah cewek cepat sekali ingatnya, hingga pesan-pesan yang pernah disampaikan kakeknya jadi terlupakan.

Solo. 26.03.2019

Bomowica

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun