Di tengah hiruk-pikuk pemberantasan korupsi dan kejahatan ekonomi lainnya, satu momok yuridis terus menggelitik nurani keadilan kita: Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Lebih spesifik lagi, perdebatan mengenai statusnya sebagai stand-alone crime---kejahatan yang berdiri sendiri---kerap memicu diskursus panas, baik di ruang-ruang seminar akademis maupun di meja hijau pengadilan. Mari kita bedah dengan pisau analisis yang tajam, namun tetap dalam koridor profesionalisme dan kelugasan jurnalistik yang progresif.
Konsep TPPU sebagai stand-alone crime bukanlah isapan jempol belaka. Ia lahir dari kebutuhan mendesak untuk memutus mata rantai kejahatan yang semakin canggih, di mana para pelaku lihai menyamarkan hasil kejahatannya hingga sulit dilacak ke tindak pidana pokok (predikat). Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) secara implisit maupun eksplisit memberikan landasan bagi penegak hukum untuk "mengejar uangnya" (follow the money) tanpa harus terlebih dahulu membuktikan secara tuntas tindak pidana asalnya.
Pasal krusial yang sering menjadi rujukan adalah Pasal 69 UU TPPU, yang berbunyi: "Untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya." Ayat ini, jika dibaca dengan kacamata progresif, adalah sebuah terobosan revolusioner. Ia memberikan amunisi bagi penyidik untuk tidak terjebak dalam pembuktian tindak pidana asal yang mungkin rumit, memakan waktu, atau bahkan pelakunya telah meninggal dunia atau tidak dapat dijangkau hukum.
Namun, di sinilah seringkali terjadi "turbulensi" pemahaman. Sebagian kalangan, mungkin dengan kekhawatiran akan potensi abuse of power atau penyimpangan dari asas legalitas yang ketat, berpendapat bahwa tanpa kejelasan tindak pidana asal, maka TPPU menjadi "hantu tanpa tubuh"---sebuah tuduhan yang mengawang tanpa dasar kejahatan konkret yang menghasilkan "uang haram" tersebut. Pertanyaannya, apakah benar penyidikan TPPU bisa dilakukan tanpa secuil pun indikasi tindak pidana asal?
Jawabannya adalah "ya, dengan catatan". Penyidikan TPPU memang dapat dimulai berdasarkan adanya transaksi keuangan mencurigakan atau profil kekayaan yang tidak wajar, yang patut diduga berasal dari hasil tindak pidana. PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) kerap menjadi garda terdepan dalam memberikan "umpan lambung" berupa Laporan Hasil Analisis (LHA) kepada penyidik. Dalam tahap awal ini, jenis tindak pidana asalnya mungkin belum teridentifikasi secara spesifik, namun aroma "amis" dari harta tersebut sudah cukup untuk memicu alarm penyidikan TPPU. Penyidik kemudian bertugas untuk menelusuri dan mengumpulkan bukti bahwa harta tersebut memang berasal dari salah satu jenis tindak pidana yang disebut dalam Pasal 2 ayat (1) UU TPPU.
Jadi, bukan berarti penyidik bisa "asal tembak" tanpa dasar. Tetap harus ada dugaan logis dan bukti permulaan yang cukup bahwa harta tersebut merupakan hasil kejahatan. Fleksibilitas Pasal 69 UU TPPU dimaksudkan untuk efektivitas penindakan, bukan untuk kesewenang-wenangan. Bayangkan jika seorang pejabat publik dengan gaji resmi Rp 20 juta per bulan memiliki aset miliaran rupiah yang tidak bisa dipertanggungjawabkan asal-usulnya. Penyidik bisa langsung masuk melalui pintu TPPU, sembari terus mendalami potensi tindak pidana korupsi atau gratifikasi sebagai predikatnya. Di sini, pembuktian terbalik (omkering van het bewijslast) secara terbatas juga memainkan peran vital, di mana terdakwa dibebani untuk membuktikan bahwa hartanya diperoleh secara sah.
Inilah jantung persoalan yang kerap membuat para praktisi hukum, akademisi, bahkan hakim, mengernyitkan dahi. Bagaimana jika dalam sebuah proses hukum yang berjalan paralel atau berurutan, tindak pidana asal yang dituduhkan kepada seseorang ternyata inkracht van gewijsde (berkekuatan hukum tetap) dengan putusan "lepas dari segala tuntutan hukum" (onslag van alle rechtsvervolging) atau bahkan "bebas murni" (vrijspraak)? Sementara itu, dakwaan TPPU terhadap orang yang sama, yang diduga mencuci uang dari tindak pidana asal tersebut, masih bergulir dan akan segera divonis. Apakah ini berarti TPPU-nya otomatis gugur?
Secara logika awam, jika sumber airnya dinyatakan bersih, maka air yang mengalir darinya juga seharusnya bersih. Jika tindak pidana asalnya tidak terbukti atau pelakunya dilepaskan dari jeratan hukum atas tindak pidana asal tersebut, bukankah unsur "hasil tindak pidana" dalam TPPU menjadi kabur atau bahkan lenyap?
Mari kitaurai lebih dalam
Kasus Putusan Bebas Murni (Vrijspraak) untuk Tindak Pidana Asal: Jika terdakwa diputus bebas murni (misalnya, dalam kasus korupsi) karena pengadilan menilai tidak cukup bukti bahwa ia melakukan tindak pidana korupsi yang dituduhkan, maka argumen untuk memvonisnya bersalah atas TPPU yang berasal dari korupsi tersebut menjadi sangat lemah, bahkan nyaris mustahil. Unsur esensial dalam Pasal 3, 4, atau 5 UU TPPU adalah "Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana." Jika tindak pidana (asal) itu sendiri dinyatakan tidak terbukti dilakukan oleh terdakwa, bagaimana mungkin ia bisa mencuci "hasil" dari sesuatu yang tidak dilakukannya atau tidak ada? Dalam skenario ini, kecuali jaksa penuntut umum bisa membuktikan bahwa harta yang menjadi objek TPPU tersebut berasal dari tindak pidana lain yang belum pernah diusut atau dari tindak pidana asal yang pelakunya berbeda (namun terdakwa TPPU turut serta mencucinya), maka peluang vonis bersalah untuk TPPU sangat tipis. Pengadilan harus sangat hati-hati agar tidak terjadi inkonsistensi putusan yang merusak rasa keadilan.
Kasus Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum (Onslag van Alle Rechtsvervolging) untuk Tindak Pidana Asal: Situasi ini sedikit berbeda namun berimplikasi serupa. Putusan onslag berarti perbuatan yang didakwakan terbukti dilakukan oleh terdakwa, namun perbuatan tersebut menurut pengadilan bukanlah merupakan suatu tindak pidana, atau ada alasan pemaaf/pembenar yang menghapus sifat melawan hukum atau kesalahan terdakwa (misalnya, karena terdakwa tidak waras, overmacht, atau perbuatannya ternyata masuk ranah perdata/administrasi). Jika tindak pidana asalnya diputus onslag, maka secara yuridis, perbuatan tersebut bukanlah "pidana". Konsekuensinya, harta yang dihasilkan dari perbuatan tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai "hasil tindak pidana". Maka, sama seperti kasus vrijspraak, dakwaan TPPU yang mengaitkan pencucian uang dengan tindak pidana asal yang telah diputus onslag ini akan kehilangan fondasi utamanya. Sulit bagi hakim untuk menyatakan seseorang bersalah mencuci "hasil tindak pidana" jika perbuatan yang menghasilkan harta tersebut telah dinyatakan bukan merupakan tindak pidana.