Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Ini 3 Kiat Menghindari Jebakan "Writing Shaming" yang Sering Tidak Kita Sadari

26 Juli 2021   16:16 Diperbarui: 28 Juli 2021   04:50 940
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kiat hindari writing shaming - Ilustrasi dari pexels/pixabay

"Kok tulisanmu gitu doang, sih?"

Hmm, pernah menulis atau berkata demikian pada seorang yang sudah susah payah menulis karya? Atau, pernah menerima komentar seperti itu? Jika penulisnya sahabat dekat kita dan mengerti bahwa kita bermaksud untuk bercanda, tidak apa-apa bilang "Kok tulisanmu jelek banget, sih."

Lain halnya jika penulis itu bukan siapa-siapa kita. Dia bisa tersinggung. Ups, jangan-jangan kita pernah menjadi korban dan atau pelaku "writing shaming". Bagaimana kiat menghindari jebakan "writing shaming" yang sering tidak kita sadari?

Ada "book shaming", ada pula "writing shaming"

Saya sudah mencoba meramban untuk menemukan istilah "writing shaming". Ternyata belum ada. Setidaknya menurut peramban saya. Yang ada adalah rasa malu yang dialami penulis atau the shame of writing. 

Jika memang demikian, anggap saja "writing shaming" adalah istilah baru yang mirip-mirip book shaming atau body shaming. Intinya adalah upaya mempermalukan seseorang karena alasan tertentu yang sebenarnya tidak tepat. 

Body shaming merujuk pada aksi mempermalukan seseorang karena bentuk tubuh tertentu yang dianggap "tidak ideal". Sementara book shaming melukiskan aksi mempermalukan seseorang karena selera bacaannya yang dianggap "tidak bermutu". 

Silakan baca tulisan menarik rekan Irmina Gultom "Kiat Sikapi Book Shaming". 

Apa itu writing shaming? Writing shaming kiranya dapat diartikan sebagai aksi mempermalukan seseorang (secara publik) karena tulisannya yang dianggap "tidak berkualitas" atau "aneh" atau bahkan "sampah". 

Pelaku writing shaming bisa siapa saja: pembaca, sesama penulis, guru, dosen, redaktur, editor, dan sebagainya. Writing shaming atau "mengejek tulisan" bisa terjadi tanpa disadari oleh pelakunya, namun bisa sangat melukai penulis yang menjadi sasaran writing shaming. 

Kiat menghindari jebakan writing shaming

Di dalam hati, saya pun sejujurnya pernah menanam bibit writing shaming kala membaca tulisan yang "cuma begitu doang".  Akan tetapi, sejauh masih dalam pikiran dan belum saya ungkapkan secara nyata, writing shaming itu belum terjadi.

Inilah tiga kiat menghindari jebakan writing shaming:

Pertama, tahan diri dan hindari reaksi spontan setelah membaca tulisan

Kadang memang kita ingin sekali segera menanggapi tulisan seseorang. Akan tetapi, ada baiknya kita tahan diri dulu. Hindari reaksi spontan setelah membaca tulisan.

Beri jeda waktu sebelum berkomentar jika Anda merasa kesal dengan tulisan seseorang. Jangan membalas secara kasar, bahkan jika tulisan itu menyinggung Anda. Bisa jadi penulisnya juga khilaf. 

Laporkan pada pengelola jika tulisan itu sungguh "fatal". Jika merasa tidak setuju atau marah, jangan malah berulang-ulang membaca tulisan itu atau malah membagikannya pada orang banyak untuk mempermalukan penulisnya.

Kedua, beri masukan secara pribadi pada penulisnya

Jika memungkinkan, berilah masukan secara pribadi kepada penulisnya. Jangan mengumbar "aib" orang dengan kalimat-kalimat yang menyinggung. 

Jika tidak setuju, bisa juga membuat artikel balasan atau artikel tanggapan sebagai proses dialog intelektual. Perbedaan pendapat adalah kekayaan. Balas tulisan dengan tulisan yang berbobot dan "adem". Hindari argumentum ad hominem yang menyerang pribadi penulis alih-alih mengulik argumentasi si penulis. 

Ketiga, tempatkan diri Anda sebagai penulis yang ingin Anda koreksi

Tempatkan diri Anda sebagai penulis yang ingin Anda beri masukan. Sering terjadi, penulis tertentu tidak tahu atau belum tahu kesalahan yang mereka lakukan. Bukan karena mereka sungguh berniat buruk. 

Seperti Anda, penulis lain juga dibentuk oleh pendidikan, pandangan hidup, dan faktor-faktor kultural yang menentukan isi dan cara menulis. Belum lagi, ada perbedaan minat, renjana, dan gaya penulisan yang sangat menentukan mengapa seseorang menulis sesuatu. 

Tentu tidak tepat jika saya mengkritik para penulis kuliner "cara memasak ini dan itu" hanya karena saya bukan penyuka tip memasak (tapi hobi makan). Tidak pas juga jika saya merundung penulis ulasan sinetron "Ikatan Cintrong Episode 3.000" karena saya benci (benar-benar cinta) sinetron. Hehe.

Wasana kata

Setiap tulisan punya pembaca dan pangsa pasarnya. Setiap penulis berhak menulis sesuai minat, asal tidak merugikan masyarakat. 

Pengalaman menulis juga sangat menentukan. Seorang pemula tentu rawan melakukan kesalahan dalam menulis untuk umum. Kita sebagai penulis seharusnya saling membantu dan mengingatkan, bukan saling menjatuhkan.

Sebagai pembaca, kita juga diajak memajukan literasi dengan bijaksana memberikan komentar publik atas tulisan seseorang. Menulis untuk umum itu tidak mudah, kawan. 

Sudah berani menulis untuk ditayangkan di media massa dan blog saja sudah merupakan prestasi tersendiri. Mari kita hargai. Para penulis (pemula) tentu perlu dorongan motivasi agar memperbaiki mutu tulisan.

Catatan akhir: Tulisan ini adalah pengingat diri untuk saya yang sering menyakiti orang. Salam literasi. 

Tulisan berhak cipta. Hanya untuk ditayangkan di Kompasiana. Ruang Berbagi, Juli 2021. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun