Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tiga Kesalahpahaman Sebagian Orang Indonesia tentang Konflik Palestina-Israel

12 Mei 2021   06:31 Diperbarui: 15 Mei 2021   14:12 8265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kota Yerusalem dilihat dari luar tembok - dokpri

Belakangan ini viral video dan foto mengenai konflik yang kembali terjadi di Tanah Suci atau Holyland. Kawasan yang sejak berpuluh tahun ditandai perseteruan aneka bangsa. Saya dan Anda sebagai manusia cinta damai tentu ikut prihatin. 

Konflik berkepanjangan ini memang sangat rumit. Tiada seorang pun dan suatu lembaga pun yang bisa memberikan solusi yang bisa disepakati para pihak yang bertikai.

Sayang sekali, sebagian orang Indonesia salah paham mengenai konflik Palestina dan Israel. Sebagian menganggap konflik ini murni konflik agama. Sebagian berpendapat, mustahil orang Israel dan Palestina bisa hidup berdamai dan saling membantu. 

Benarkah demikian? Mari kita ulik. Saya akan juga membagikan hikmah pengalaman saya sebulan di Tanah Suci.

Tulisan ini bukan untuk membenarkan atau mempersalahkan pihak tertentu. Yang namanya konflik selalu pelik. Mari membuka hati dan pikiran sembari membaca tulisan bersahaja ini.

Ibu Fatima

Ibu Fatima adalah muslimah Palestina yang bekerja di sebuah tempat tinggal para padri Katolik di Yerusalem. Saya bersua dengannya kala mengikuti kursus sebulan penuh di Yerusalem dan Tanah Suci beberapa tahun silam.

Suasana pasar di Yerusalem, ada pula warga muslim - dokpri
Suasana pasar di Yerusalem, ada pula warga muslim - dokpri
Wanita paruh baya yang mengenakan hijab itu setiap hari melintasi perbatasan Palestina dan Israel untuk bekerja di Yerusalem. Fatima hanyalah satu dari pekerja Palestina yang sehari-hari bekerja di wilayah yang diklaim Israel.

Potret para pekerja Palestina di Israel di tengah pandemi.

Jumlah pekerja Palestina di Israel dan permukiman Israel diperkirakan 130.000 pada tahun 2019, menurut Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD). Kemungkinan angka ini lebih tinggi karena ada banyak pekerja Palestina yang menyeberang ke Israel tanpa izin. 

Sebagian besar orang Palestina bekerja di sektor konstruksi Israel, yang diperkirakan mencapai 65-70 persen dari angkatan kerja. 

Proyek konstruksi dan infrastruktur di Israel, dan di permukiman Israel di Tepi Barat, sangat bergantung pada tenaga kerja Palestina. 

Di tengah pandemi, para pekerja Palestina seperti Ibu Fatima menghadapi risiko kesehatan yang serius.

Penghasilan para pekerja Palestina di Israel menyumbang lebih dari 13 persen dari PDB Palestina. Laporan terbaru Otoritas Moneter Palestina memperkirakan pendapatan dari seluruh pekerja Palestina rata-rata 271 juta dolar AS per bulan (71 dolar AS per pekerja per hari). 

Upah minimum di Tepi Barat adalah sekitar 400 dolar AS per bulan, kurang dari 19 persen dari rata-rata penghasilan seorang pekerja di Israel. Pendapatan para pekerja ini sangat penting bagi berfungsinya ekonomi Palestina saat ini. Demikian rilis merip.org.

Simbiosis yang tidak mutalisme

Sayangnya, hubungan antara majikan Israel dan pekerja Palestina jauh dari kesan simbiosis mutualisme. Gaji lebih tinggi di Israel menarik minat kaum muda Palestina untuk mencari pekerjaan di seberang perbatasan. Ada juga lebih sedikit investasi di Palestina sehingga ekonomi lokal tidak menciptakan lapangan kerja yang baik.

Bagi sebagian besar warga Palestina di Tepi Barat, melintasi perbatasan untuk bekerja membutuhkan izin dari pemerintah Israel. Izin ini juga sulit didapat, sehingga banyak yang mengambil rute ilegal. Para pekerja Palestina ini mencari pekerjaan informal dengan bayaran lebih rendah.

Jika tertangkap, mereka menghadapi hukuman penjara. Tetapi bagi banyak orang, risiko ini mau tak mau harus dihadapi. 

PBB mengatakan, pendudukan Israel adalah "pemicu utama" kebutuhan kemanusiaan di Tepi Barat dan Gaza. Demikian tulis Andreas Hackl, jurnalis spesialis isu Israel-Palestina. 

Jika konflik Palestina-Israel memanas hingga pertumpahan darah berkelanjutan atau pecah perang dengan keterlibatan negara lain, tentu hal ini memperburuk nasib para pekerja Palestina di Israel.

Latar belakang konflik Israel-Palestina

Dalam buku Sejarah Timur Tengah Jilid 2 (2013) karya Isawati, kawasan Palestina pada masa lalu dikenal sebagai Kanaan, Yudea dan Tanah Suci

Pada tahun 1000-586 Masehi, kawasan Palestina adalah negara Yahudi yang menjadi jajahan Babilonia, Persia, Macedonia dan beberapa kerajaan Yunani. Baru pada tahun 636 Masehi, wilayah ini mulai berada di bawah kekuasaan Islam. 

Awal konflik Palestina dan Israel terjadi pasca Perang Dunia I. Inggris si pemenang Perang Dunia I memberikan wilayah kepada bangsa Yahudi melalui Deklarasi Balfour (1917). 

Pembagian historis Israel-Palestina - tangyar dokpri
Pembagian historis Israel-Palestina - tangyar dokpri
Dari peristiwa ini, bangsa Yahudi menganggap, kawasan Palestina adalah tanah air mereka. Di lain pihak, masyarakat Islam Palestina tidak sepakat.

Dalam buku Timur Tengah dalam Pergolakan (1982) karya Kirdi Dipoyudo, masyarakat Islam Palestina menganggap bahwa Inggris memaksakan pendirian negara Yahudi di kawasan Palestina yang bertentangan dengan keinginan mayoritas masyarakat Palestina.

Baca selengkapnya: Sejarah Konflik Palestina-Israel

Salah paham sebagian orang Indonesia tentang konflik Palestina-Israel

Setelah memahami latar belakang konflik Palestina-Israel, mari kita ulik kesalahpahaman sebagian orang Indonesia mengenai konflik dua bangsa ini. 

Setidaknya ada tiga kesalahpahaman: 1) konflik itu murni "konflik agama"; 2) semua tentara dan orang Israel itu Yahudi; dan 3) semua orang Palestina dan Israel selalu bermusuhan dan mustahil hidup damai.

Berikut ini sejumlah fakta untuk meluruskan kesalahpahaman kita:

Pertama, bukan murni "konflik agama" 

Sebagian orang Indonesia mengira, konflik Palestina-Israel murni "konflik agama" atau bahkan "perang agama" antara Islam dan Yahudi (sebagai agama). 

Benar bahwa sentimen perbedaan agama menjadi salah satu unsur yang kuat mempengaruhi konflik Israel-Palestina. Akan tetapi, tidak benar bahwa konflik ini murni soal agama. 

Israel bukanlah negara berlandaskan agama resmi tertentu. Undang-undang tahun 1992 mendefinisikan Israel sebagai Yahudi & demokratis. Akan tetapi, istilah Yahudi ini digunakan secara luas sebagai istilah agama, ras, etnis dan budaya.

Infografik agama-agama di Israel - PEW Research Center (tangyar dokpri)
Infografik agama-agama di Israel - PEW Research Center (tangyar dokpri)
Sensus penduduk Israel 2019 mencatat, 74,2% orang Israel beragama Yahudi, 17,8% orang Israel beragama Islam, dan 2,0% Kristen. 

Sistem pengadilan di Israel mencakup juga pengadilan agama. "Yurisdiksi dalam masalah pernikahan, perceraian, perwalian, dan adopsi berada di lembaga peradilan dari komunitas agama masing-masing: pengadilan rabbi Yahudi, pengadilan syariah Muslim, pengadilan agama Druze, pengadilan gerejawi oleh sepuluh komunitas Kristen." Sila baca di sini. 

Di sisi lain, warga Palestina juga bukan seluruhnya muslim. Sekitar 93% orang Palestina adalah Muslim dan sekitar 6% beragama Kristen dan Katolik. Ada juga penganut Samaria (bentuk awal Yudaisme) di  Tepi Barat.

Orang-orang Kristen Palestina, yang melarikan diri dari kesulitan pendudukan Israel, telah beremigrasi terutama ke AS, Amerika Tengah, dan Eropa. Jadi, meski kebanyakan orang Palestina adalah Muslim, banyak orang Palestina yang hidup di "Barat" adalah Kristen.

Di Wilayah Pendudukan (Occupied Terittory), umat Kristen dan Katolik Palestina saat ini sekitar 3% dari populasi.

Ada pula orang Yahudi yang menentang Zionisme atas dasar agama. Sebagian bergabung dalam gerakan Neturei Karta. Mereka menyebut diri mereka sebagai "orang Palestina". Demikian rilis imeu.org.

Konflik Palestina-Israel pada awalnya didominasi oleh gerakan nasionalis sekuler. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, para pemimpin Israel dan Tepi Barat-Gaza (Palestina) menggunakan retorika agama untuk membenarkan aspirasi politik mereka. 

Akibatnya, beberapa kelompok agama yang pada dasarnya konservatif membingkai konflik Palestina-Israel sebagai perseteruan antara Muslim dan Yahudi. Mereka percaya bahwa agenda nasional mereka "didukung oleh Tuhan".
Apa yang terjadi ini mirip dengan politik Indonesia zaman sekarang. Ada (saja) politikus dan partai politik yang mengeklaim bahwa mereka "didukung Tuhan". Politisasi agama terjadi. Celakanya, warga yang kurang berpikir kritis termakan politisasi agama ini.

Kedua, tentara Israel tidak seluruhnya orang Yahudi, bahkan ada yang muslim

Tidak banyak orang Indonesia yang tahu bahwa ada pula tentara Israel yang bukan orang Yahudi. Sebagian kecil tentara Israel adalah pemeluk agama Islam. 

Israel menerapkan wajib militer selama tiga tahun untuk pria dan dua tahun untuk wanita. Aturan ini juga berlaku untuk komunitas Druze dan Sirkasia, dua komunitas non-Yahudi di Israel.

Muslim Badui Israel, yang cenderung mengidentifikasi lebih sebagai orang Israel daripada orang Arab lainnya, dan orang Arab Kristen secara sukarela mendaftar ke militer. Setiap kelompok minoritas diwakili oleh beberapa ratus anggota angkatan bersenjata Israel.

Namun, Muslim Arab Israel secara tradisional melihat militer sebagai alat untuk menindas sesama Arab Palestina di Tepi Barat, yang direbut Israel pada tahun 1967 dan masih diduduki Israel. Karena itu, umumnya Muslim Arab Israel tidak mau masuk militer Israel.

Meski demikian, ada juga Muslim Arab Israel yang memilih untuk bergabung dengan tentara Israel (IDF). Salah satunya adalah Sersan Yossef Saluta. Sila baca kisahnya di sini. Jika penasaran, cari saja kata kunci "Israeli muslim soldiers" di internet. 

Hal seperti ini bukan suatu keanehan dalam sejarah militer dunia. Kita tahu, sejumlah (mantan) tentara Belanda dan Jepang juga memilih untuk membela Indonesia. Sebaliknya, sebagian orang Indonesia juga memilih jadi serdadu Belanda atau kaki-tangan Jepang kala perang dulu.

Ketiga, orang Israel dan Palestina tidak selalu bermusuhan dan saling membenci

Banyak orang Palestina tidak melihat konflik Palestina-Israel sebagai konflik agama Islam dan Yudaisme. Banyak yang mengatakan,  mereka menghormati Yudaisme, tetapi menentang Zionisme.

Oleh karena itu, ketegangan lebih sering diungkapkan dalam menanggapi kampanye Zionis untuk mendirikan, negara-bangsa Yahudi di wilayah bersejarah Palestina.  Beberapa orang Palestina tidak rela tanah air mereka disebut sebagai Negara Yahudi "Israel". Demikian rilis culturalatlas.org. 

Ketika saya sebulan di Yerusalem, saya melihat orang Israel dan Palestina berbaur di pasar. Mereka bisa berkomunikasi dengan mudah karena bahasa Ibrani dan Arab itu serumpun. 

Fatimah, pekerja asal Palestina di Yerusalem yang saya kisahkan di awal juga tentu punya hubungan baik dengan orang-orang Israel yang ia kenal.

Di akar rumput, warga Israel dan Palestina sama-sama menginginkan damai. 

Para dokter dan perawat di rumah-rumah sakit di Israel juga merawat para pasien dari kawasan Palestina. Bahkan ada juga dokter muslim Palestina yang bekerja di rumah sakit Israel.

Rumah sakit Hadassah adalah salah satu dari sedikit tempat di mana tenaga kesehatan Israel dan Palestina merawat korban konflik berdarah.

Kadang perawat Muslim Palestina merawat tentara Israel yang terluka dalam konflik dengan orang Palestina. Sementara perawat Yahudi juga merawat orang Palestina yang terluka saat menyerang orang Yahudi. 

"Ini adalah proses pembelajaran bagi kita semua," kata dokter Ashgan, seorang muslim Palestina. "Kami merawat pasiennya dulu, dan kemudian mungkin nanti kami dengar bagaimana ceritanya." Kisahnya di sini.

Para politikus dan para ekstrimis dari kedua belah pihaklah kiranya yang terlibat dalam konflik politik dan fisik bertensi tinggi. Di Palestina, kelompok Hamas dikenal memilih jalan angkat senjata. Sementara kelompok lain memilih dialog diplomasi. 

Di kalangan politikus Israel dan Palestina pun, ada perbedaan pendapat soal pendudukan Israel atas Palestina. Persoalannya terlalu rumit untuk saya bahas di sini. Intinya, jangan menilai semua politikus Israel dan Palestina itu seragam sikapnya. Ada yang frontal. Ada yang diplomatis. 

Jangan lupa, konflik Palestina-Israel telah menimbulkan juga korban sipil di kedua belah pihak. Hal ini kadang secara tidak seimbang ditampilkan media massa. 

Di Indonesia, sayangnya sejumlah pemuka agama dan media massa partisan menggunakan isu Palestina untuk mendukung agenda tertentu. Paling sering, konflik ini ditampilkan dalam framing atau bingkai konflik agama, padahal faktanya tidak murni demikian. 

Kita tidak menyangkal, sejumlah tindak kekerasan tentara Israel terjadi ketika saudara-saudari Muslim Palestina beribadah.

Akan tetapi, peristiwa ini harus ditempatkan dalam konteks yang lebih luas, yakni perseteruan Israel dan Palestina, dua bangsa yang sama-sama beragam dan sebenarnya bukan dua negara berdasarkan agama-agama tertentu. 

Derita warga sipil Israel dan Palestina

Saya ingat betul, ketika saya tiba di Kota Kana di Galilea, saya mendengar bunyi sirene meraung-raung. Saya panik. Ternyata itu sirene latihan rutin bagi anak-anak sekolah. Mereka dipersiapkan untuk menghadapi serangan roket yang tiba-tiba datang. 

Bisa kita bayangkan, betapa cemasnya menjadi warga sipil Israel dan Palestina. Mempersalahkan mereka sebagai "orang jahat" tentu salah alamat. 

Ingat, tentara Israel dan pejuang Palestina juga manusia biasa yang punya nurani. Kadang mereka dipaksa keadaan dan perintah atasan untuk melakukan tindak kekerasan. 

Sebagian tentara Israel  adalah anak-anak muda peserta wajib militer. Saya tidak begitu yakin bahwa semua peserta wajib militer ini sungguh menginginkan terlibat dalam konflik berdarah. Sebagai pemuda-pemudi, tentu mereka punya idealisme tersendiri tentang hidup normal tanpa harus berperang. 

Saya sangat yakin, di dalam hati kecil pejuang Palestina dan tentara Israel, ada kerinduan untuk berdamai. "Kapan konflik ini akan berakhir sehingga kami bisa hidup bersaudara seperti wajarnya sesama manusia?"

Mari kita memahami konflik Israel-Palestina secara utuh. Baca sumber tepercaya. Buka mata dan hati. Jangan cuma percaya kata orang. Jangan cuma baca berita berat sebelah. Baca dari sisi Israel dan juga Palestina. 

Akhir kata, menjelang Idul Fitri ini, kita berdoa dan berharap agar kekerasan tak berlanjut di Tanah Suci. Semoga Ibu Fatima dan rekan-rekan pekerja Palestina di Israel pun bisa merayakan Idul Fitri dengan khidmat dan aman. 

Sila baca juga: Gereja Golgota Kuncinya Dipegang Muslim, Kok Bisa?

Saya sadar, tidak semua orang sepakat dengan apa yang saya tulis. Tidak apa-apa. Niat tulus saya adalah memberikan gambaran tentang apa yang saya pahami dan lihat sendiri di Tanah Suci. 

Salam persaudaraan. Mari perkuat silaturahmi sebagai bangsa yang berbeda namun tetap satu jua. Doa kita untuk perdamaian dunia. Semoga tidak jatuh semakin banyak korban tak bersalah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun