Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama FEATURED

Gairah Pemuda Berbahasa Indonesia: Kawan dan Rindu

28 Oktober 2020   06:36 Diperbarui: 28 Oktober 2021   07:12 1341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto bersama para pemuda pencetus Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928 di halaman depan Gedung IC, Jl. Kramat 106, Jakarta (Dok. Kompas)

Tanggal 27-28 Oktober 1928, sekitar 700 pemuda-pemudi berkumpul di Batavia. Bukan sekadar kongkow-kongkow. Mereka bersatu hati dalam Kongres Pemuda Kedua, lanjutan dari Kongres Pemuda Pertama pada 1926.

Panitia Kongres Pemuda Kedua melukiskan keanekaragaman latar belakang pemuda-pemudi kita. Ketuanya Soegondo Djojopuspito (PPPI), dibantu wakil ketua R.M Djoko Marsaid (Jong Java). Sekretaris adalah Muhammad Jamin (Jong Sumateranen Bond). Bendahara dijabat Amir Sjarifuddin (Jong Bataks Bond).

Tim inti ini diperkuat dukungan Djohan Mohammad Tjai (Jong Islamieten Bond), R. Katja Soengkana (Pemoeda Indonesia), Senduk (Jong Celebes), Johanes Leimena (Jong Ambon), dan Rochjani Soe'oed (Pemoeda Kaum Betawi).

Berbahasa Satu

Salah satu pokok ikrar bersama yang disepakati pada tanggal 28 Oktober 1928 adalah "Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia."

Demikianlah yang tertulis pada prasasti di dinding Museum Sumpah Pemuda di Jalan Kramat Raya 106. Penulisan waktu itu masih menggunakan ejaan van Ophuijsen.

Mengapa Bukan Bahasa Jawa?

Sejak dahulu, penduduk Pulau Jawa memang lebih besar jumlahnya dibanding penduduk pulau-pulau lain. Akan tetapi, ketika para pemuda dan pemudi kita membahas bahasa mana yang cocok untuk dijadikan bahasa persatuan, mereka menyepakati bahasa Melayu pasaran.

Sebuah dokumentasi artikel dalam Suara Karya, 28 Oktober 1975 dari koleksi Perpustakaan Nasional memuat ulasan mengenai hal ini.

Berikut saya sajikan bagian-bagian penting artikel tersebut:

"Indonesia pada hakekatnya memiliki banyak suku seperti India, namun bersyukurlah, 17 tahun sebelum mencapai kemerdekaan semua telah bersumpah untuk menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.

Tentang mengapa bahasa Indonesia diterima begitu saja dalam Kongres Pemuda II tahun 1928 tanpa melewati perdebatan-perdebatan seru, bekas Duta Besar Tamzil gelar Sutan Narajau [...]  menyatakan, materi Sumpah Pemuda memang sudah dibicarakan dalam Kongres Pemuda I tahun 1926, tapi belum berhasil. Barulah dalam kongres ke II formula dari materi tersebut diketemukan.

Akan halnya mengapa bahasa Indonesia yang sebenarnya adalah bahasa Melayu yang diterima sebagai bahasa persatuan, ia mengatakan, bahasa Melayu diajarkan di sekolah-sekolah Bumiputera, mudah dipelajari dan telah dimengerti oleh penduduk-penduduk daerah pantai."

Saya menambahkan, bahasa Jawa memang rumit untuk dipelajari dan dimengerti bahkan oleh orang Jawa sendiri. Adanya tingkatan krama inggil dan ngoko membuat bahasa Jawa indah namun juga sangat menantang untuk dikuasai. 

Frasa "Anda makan apa?" dalam krama inggil yang dipercakapkan antara kalangan tua dan atau ketika orang muda berbicara pada orang tua adalah "Panjenengan dhahar menapa/punapa?". Dalam bahasa ngoko yang digunakan antara "kalangan bawah" dan orang muda, "Kowe mangan opo?"

Rumit, bukan?

Dampak Sumpah Pemuda

Sumpah Pemuda adalah hasil rumusan Muhammad Yamin pada selembar kertas yang ia sodorkan kepada Soegondo, yang lantas disetujui seluruh perkumpulan pemuda-pemudi.

Ikrar ini kemudian dijadikan asas bagi setiap "perkumpulan kebangsaan Indonesia" dan "disiarkan dalam berbagai surat kabar dan dibacakan di muka rapat perkumpulan-perkumpulan".

Dalam perjalanan sejarah, tidak mudah menjadikan bahasa Indonesia sebagai (salah satu) bahasa di forum resmi pemerintahan. Umpama, surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad merilis berita tentang perjuangan penggunaan bahasa Indonesia di Dewan Kota Batavia di halaman satu edisi 4 Januari 1939. 

Dikutip dari laman bahasawan.id, tokoh Bumiputra Tabrani pada Kongres Bahasa Indonesia di Solo pada Juni 1938, bahkan mengusulkan agar penguasaan bahasa Indonesia dijadikan syarat pengangkatan pejabat dan pegawai. 

Pada masa penjajahan, memperjuangkan bahasa Indonesia sungguh suatu hal yang tidak mudah. Hal ini menjadi permenungan bagi kita yang hidup di masa kemerdekaan. Sudahkah kita mencintai bahasa Indonesia? Seberapa besar gairah kita mempelajari dan mengutamakan bahasa Indonesia dalam praktik hidup sehari-hari?

Bahasa Indonesia Kini

Majalah Ethnologue pada 2019 melaporkan, bahasa Melayu Indonesia berada pada urutan ke-32 bahasa-bahasa dengan penutur terbanyak. Jumlah penutur bahasa Indonesia menurut majalah rujukan kebahasaan itu adalah 43,4 juta orang atau 0,564 persen dari populasi dunia.

Dalam daftar itu, bahasa Jawa menempati urutan ke-21 dengan 68,3 juta penutur (setara dengan 0,887 % populasi dunia). Bahasa Sunda masuk peringkat ke-41 dengan 32,4 juta penutur (0,421% penduduk dunia).

Kesan sekilas, majalah Enthnologue kiranya tidak secara khusus menyajikan data bahwa sebagian besar warga Indonesia adalah penutur beberapa bahasa sekaligus. Penutur bahasa Jawa, Sunda, dan aneka bahasa daerah lain kiranya juga menguasai (walau tidak sempurna) bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.

Laman Listverse, Minggu (15/9/2019) membuat senarai sepuluh bahasa dengan penutur terbanyak di dunia. Bahasa Indonesia menempati urutan kesembilan dengan sekurang-kurangnya 129 juta penutur. 

Data BPS menunjukkan, jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2015 sebesar 238.518.000 jiwa. Diproyeksikan pada 2020 ini jumlah itu menjadi 271.066.000 jiwa.

Memang benar, tak semua orang Indonesia bisa berbahasa Indonesia. Akan tetapi, bisa kita perkirakan bahwa kini bahasa Melayu Indonesia (demikian nama bahasa kita dalam sejumlah ulasan ilmiah) memiliki sekurang-kurangnya 200 juta penutur.

Gairah (Mantan) Pemuda Berbahasa Indonesia

Apakah (mantan) pemuda masih menunjukkan gairah berbahasa Indonesia? Agak sulit mengukur gairah berbahasa Indonesia kita secara ilmiah. Akan tetapi, kita bisa menilai dari gejala-gejala yang kita temukan dan alami sendiri.

Pertama, gejala keminggris

Banyak pemerhati bahasa Indonesia menilai, kita ini suka mencampuradukkan bahasa persatuan kita dengan bahasa Inggris. Kita keminggris. Ini sebenarnya bukan selalu berarti hal buruk.

Bahasa Inggris memang menjadi bahasa utama pergaulan internasional. Dunia ilmu pengetahuan modern menggunakan bahasa Inggris. Gawai yang kita miliki pun lazimnya disertai petunjuk pemakaian berbahasa Inggris.

Kata-kata semacam download, file, dan share melekat di otak kita karena memang nyatanya itu yang kita lihat di layar gawai kita. Bukan unduh, dokumen, atau berbagi.

Seandainya orang Indonesia mencipta lebih banyak karya unggulan dan menulis lebih banyak jurnal ilmiah berbahasa Indonesia daripada para penutur bahasa Inggris, tentu orang bule yang akan "kemindonesia".

Kedua, gejala bahasa SMS

Kehadiran layanan pesan singkat semakin memperumit penggunaan bahasa Indonesia yang "baik dan benar". Dosen kami yang telah wafat, seorang pastor kelahiran Belanda yang jadi WNI, pernah mengeluh soal ini.

"Saya pusing membaca jawaban ujian kalian. Ada banyak singkatan yang tidak saya mengerti. Kalian menulis jawaban ujian seperti menulis SMS di HP!"

Tidak masalah ketika dua orang bisa memahami singkatan dalam pesan singkat. Menjadi runyam ketika singkatan itu diartikan secara berlainan. Umpama, singkatan "kwn". Singkatan ini bisa merujuk pada "kawan". Namun juga bisa berarti "kawin". 

Sebuah pesan "Kita kwn saja" harus diartikan bagaimana? Kita (ber)kawan saja atau kita kawin saja? Alamak!

Ketiga, gejala rindu belajar bahasa

Dua gejala di awal bernada suram. Akan tetapi, tidak sangat suram sejatinya jika kita memperhatikan gejala ketiga: gejala rindu belajar bahasa di kalangan (mantan) pemuda.

Saya menyimak ulasan rekan penulis Kompasiana, Khrisna Pabichara dalam artikel "Ternyata Saya Masuk 'Top 5 Influencer' Bahasa Indonesia" (sila klik).                        

Adanya KBBI dan Tesaurus daring membuat (mantan) pemuda lebih mudah memeriksa ketepatan ejaan dan makna kosakata bahasa Indonesia. Telaah Drone Emprit yang dirilis di akun Twitter Ismail Fahmi menunjukkan peningkatan minat warganet terhadap KBBI.

Sumber: Twitter/Ismail Fahmi
Sumber: Twitter/Ismail Fahmi
Minat mempelajari bahasa Indonesia sebenarnya terus berkembang. Tengok saja banyaknya pengikut tokoh-tokoh pemengaruh (influencer) di medsos. Berikut nama lima pemengaruh bahasa Indonesia di medsos.

Sumber: Twitter/Ismail Fahmi
Sumber: Twitter/Ismail Fahmi
Sebagian anak muda sangat bersemangat mempelajari dan mencintai bahasa Indonesia dengan menyimak unggahan kebahasaan di media sosial dan media massa. 

Selain Pak Khrisna Pabichara, di Kompasiana yang berulang tahun ke-12 ini ada pula cukup banyak pemerhati dan praktisi kebahasaan. Tanpa bermaksud melupakan dan mengerdilkan banyak penulis ulung lain, saya sebutkan sejumlah nama yang saya kenal.

Ada Pak Nursalam AR, Ibu Dwi Klarasari, tambah lagi, banyak sekali penulis, editor, penerjemah, wartawan, pendidik, narablog profesional, dan warga biasa pemerhati kebahasaan yang jadi warga Kompasiana.

Jurusan bahasa Indonesia pun kiranya masih diminati banyak pemuda-pemudi. Rekan muda Rifan Bilaldi adalah salah seorang penulis muda Kompasiana yang sering menyajikan artikel kebahasaan popular nan bergizi. Sila klik akunnya di sini.

Rekan-rekan Kompasiana pun gemar menganggit karya dengan kosakata unik. Coba tengok kanal Fiksiana. Kata-kata indah bertuah bertebaran di mana-mana, menunggu pembaca yang ingin menimba kosakata bahasa Indonesia nan kaya.

Apakah (mantan) pemuda-pemudi masih bergairah dalam mencintai bahasa Indonesia? Jangan hanya mengutuki kegelapan. Jadilah lilin kecil yang menerangi kegelapan. Mulailah dan teruslah menulis adikarya dalam bahasa Indonesia. 

Mari bersumpah untuk memenuhi situs internet, perpustakaan, koran, dan hati banyak orang dengan tulisan berbahasa Indonesia! Salam literasi dari penulis abal-abal. R.B.

Pojok baca: 1, 2, 3, 4.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun