Bahasa Inggris memang menjadi bahasa utama pergaulan internasional. Dunia ilmu pengetahuan modern menggunakan bahasa Inggris. Gawai yang kita miliki pun lazimnya disertai petunjuk pemakaian berbahasa Inggris.
Kata-kata semacam download, file, dan share melekat di otak kita karena memang nyatanya itu yang kita lihat di layar gawai kita. Bukan unduh, dokumen, atau berbagi.
Seandainya orang Indonesia mencipta lebih banyak karya unggulan dan menulis lebih banyak jurnal ilmiah berbahasa Indonesia daripada para penutur bahasa Inggris, tentu orang bule yang akan "kemindonesia".
Kedua, gejala bahasa SMS
Kehadiran layanan pesan singkat semakin memperumit penggunaan bahasa Indonesia yang "baik dan benar". Dosen kami yang telah wafat, seorang pastor kelahiran Belanda yang jadi WNI, pernah mengeluh soal ini.
"Saya pusing membaca jawaban ujian kalian. Ada banyak singkatan yang tidak saya mengerti. Kalian menulis jawaban ujian seperti menulis SMS di HP!"
Tidak masalah ketika dua orang bisa memahami singkatan dalam pesan singkat. Menjadi runyam ketika singkatan itu diartikan secara berlainan. Umpama, singkatan "kwn". Singkatan ini bisa merujuk pada "kawan". Namun juga bisa berarti "kawin".Â
Sebuah pesan "Kita kwn saja" harus diartikan bagaimana? Kita (ber)kawan saja atau kita kawin saja? Alamak!
Ketiga, gejala rindu belajar bahasa
Dua gejala di awal bernada suram. Akan tetapi, tidak sangat suram sejatinya jika kita memperhatikan gejala ketiga: gejala rindu belajar bahasa di kalangan (mantan) pemuda.
Saya menyimak ulasan rekan penulis Kompasiana, Khrisna Pabichara dalam artikel "Ternyata Saya Masuk 'Top 5 Influencer' Bahasa Indonesia" (sila klik). Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â