Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Perlukah Sertifikasi demi Tangkal Pemuka Agama Palsu, Pembohong, dan Radikal?

4 Juli 2020   06:02 Diperbarui: 5 Juli 2020   10:59 1613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Enam tokoh pemuka agama yang masing-masing mewakili agama Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu memimpin doa bersama dalam pembukaan perayaan Cap Go Meh Bogor Street Festival, Selasa (19/2/2019).(KOMPAS.com / Ramdhan Triyadi Bempah)

Kasus-kasus pemuka agama palsu, pembohong, dan radikal kemungkinan dapat ditekan jika sertifikasi ini diwajibkan (bukan sukarela seperti gagasan Menag Fachrul Razi). 

Tantangannya ada beberapa:

Pertama, sejauh mana negara berhak mengatur urusan internal agama?

Kita tahu, wajah agama di Indonesia amat beragam. Bahkan dalam satu agama yang sama, ada aneka aliran yang tak selalu sepaham. Jika ingin mengadakan sertifikasi pemuka agama, pemerintah memihak aliran yang mana? Meski materi sertifikasi nanti bicara soal kebangsaan, tetapi amat sulit memilih lembaga mana saja yang dipercaya mengurus sertifikasi itu.

Opsi paling mudah bagi pemerintah mungkin adalah memihak lembaga agama aliran arus utama. Akan tetapi, hal ini menimbulkan masalah baru. Bagaimana nasib aliran lain, yang bukan arus utama? Apakah mereka tidak akan mengalami lagi diskriminasi, yang sudah mereka alami saat ini?

Apa hak negara dalam mengatur internal agama? Menjadi rumit saat negara hendak menyusun batasan mana pemuka agama yang diterima negara dan tidak.

Kedua, tidak semua agama dan kepercayaan memiliki lembaga yang "solid dan tunggal"

Jika pemerintah ingin mengatur sertifikasi pemuka agama, tentu harus mengajak lembaga keagamaan. Masalahnya, tidak semua agama dan kepercayaan memiliki lembaga yang "solid dan tunggal" yang menaungi semua pemuka agama. 

Kriteria pemuka agama saja kadang masih kabur. Siapa atau lembaga mana yang berhak menyatakan seseorang itu pemuka agama atau bukan? Apa kriterianya? Tidak ada pula hukum positif (negara) yang mewajibkan pemuka agama di Indonesia bergabung dengan lembaga profesi tertentu yang "solid dan tunggal".

Singkat kata, pada hemat saya, pemerintah belum memiliki instrumen hukum yang jelas dan terukur untuk mengadakan sertifikasi pemuka agama wajib.

Akhirulkalam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun