Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Minuman Berpemanis Akan Kena Cukai, Efektifkah Dorong Warga Beralih ke Minuman Sehat?

14 Juni 2020   05:51 Diperbarui: 14 Juni 2020   14:52 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi minuman berpemanis| Sumber: pexels.com

Menteri Keuangan Sri Mulyani pada bulan Februari lalu kepada DPR sempat memaparkan rencana pengenaan tarif cukai minuman kemasan berpemanis. Tarif cukai berkisar antara Rp.1.500-Rp.2.500, sesuai dengan jenis minuman. 

Produk bakal kena cukai adalah teh botol, minuman berkarbonasi atau soda, dan minuman energi.

Sri Mulyani berpendapat, tarif cukai itu juga bertujuan mendidik masyarakat agar membatasi asupan minuman berpemanis yang memicu obesitas dan diabetes.

Rencana cukai minuman berpemanis ini memicu kontroversi. Triyono, Ketua Asosiasi Industri Minuman Ringan keberatan dengan rencana ini. Alasannya pengenaan cukai bisa menyebabkan kinerja industri minuman ringan kembali negatif. Selain itu, minuman berpemanis diyakini bukan penyebab utama obesitas dan diabetes (DDTC, 21/2).

Bagaimana kita seharusnya menyikapi rencana pengenaan cukai minuman berpemanis di Indonesia? Efektifkah mengubah gaya hidup masyarakat jadi lebih sehat dengan menghindari minuman berpemanis?

Apa saja faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan sebelum menerapkan cukai minuman berpemanis?

Sejarah Cukai Minuman Berpemanis
World Cancer Research Fund International memaparkan, cukai minuman berpemanis pertama kali diterapkan Norwegia pada 1981. Hingga kini, aturan cukai minuman berpemanis atau sugar sweetened beverage (SSB taxes) telah dipraktikkan oleh 35 negara dan yurisdiksi lokal. 

Beberapa di antaranya: Belgia, Inggris, Finlandia, Perancis, Meksiko, Cile, dan Malaysia.

Pajak minuman berpemanis adalah contoh penerapan pajak pigovian. Adalah ahli ekonomi Inggris, Arthur C. Pigou yang pada 1920 mengembangkan metode pajak yang memaksa para produsen membayar pajak untuk membayar kerugian akibat barang produksi mereka.

Akan tetapi, penerapan pajak pigovian ini bisa juga dilakukan dengan memberikan subsidi bagi konsumen yang membeli produk bermanfaat. Misalnya, pemerintah memberikan potongan pajak bagi warga yang membeli kendaraan ramah lingkungan (Brittanica).

Dampak Minuman Berpemanis bagi Kesehatan
Riset Andrea Teng dkk (2010) menyimpulkan bahwa dari 310.819 orang, mereka yang meminum minuman berpemanis lebih dari sekali dalam sehari 26% lebih berisiko mengidap diabetes tipe II dibanding mereka yang minum sekali saja minuman berpemanis tiap bulan.

Tentu saja, minuman berpemanis hanyalah salah satu faktor pencetus diabetes dan obesitas. Tak imbangnya asupan nutrisi dan kurangnya olahraga adalah contoh penyebab lain.

Dampak Pajak Minuman Berpemanis
Cukai minuman berpemanis tentu menambah pundi-pundi pemasukan negara. Pemasukan ini pada gilirannya dapat dimanfaatkan pemerintah untuk mendanai pelayanan kesehatan publik. 

Hal ini telah dilakukan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab yang menerapkan cukai 50% untuk minuman berpemanis dan 100% untuk minuman energi.

Penerapan cukai memang dapat menurunkan konsumsi minuman berpemanis. Menurut Frank Chaloupka, ahli ekonomi University of Illinois, di negara berkembang, kenaikan harga 10% dapat menurunkan 10% penjualan minuman berpemanis. 

Sementara itu di Meksiko, masyarakat beralih membeli air mineral yang lebih sehat setelah diterapkannya cukai minuman berpemanis pada 2014 (knowablemagazines).

Perusahaan minuman berpemanis memang dapat mengalami penurunan penjualan jika cukai diterapkan. Akan tetapi, ini amat tergantung juga pada kelompok usia konsumen. Sebuah studi di Amerika mencatat, anak-anak tetap mengonsumsi minuman berpemanis meski cukai diterapkan.

Selain itu, beberapa produsen minuman berpemanis akhirnya berinovasi memproduksi minuman yang lebih sehat, misalnya dengan mengurangi kadar pemanis. Sebenarnya perusahaan minuman bisa tetap berkembang asal rajin berinovasi.

Mencari Solusi Terbaik
Riset perlu dilakukan untuk menemukan solusi terbaik penerapan cukai minuman berpemanis di Indonesia. Sebaiknya riset ini dilakukan lembaga independen.

Beberapa hal yang perlu diteliti dalam riset:
a. Produk minuman berpemanis mana yang layak dikenai cukai lebih tinggi karena nyata dampak buruknya bagi kesehatan warga?
b. Berapa besar cukai yang sesuai untuk setiap jenis minuman berpemanis, dengan mempertimbangkan dampaknya bagi industri minuman.
c. Bagaimana perbandingan cukai yang akan diterapkan Indonesia dengan negara-negara yang telah menerapkan cukai?
d. Bagaimana mendidik dan membantu masyarakat untuk memilih alternatif minuman yang lebih sehat dan bergaya hidup sehat?

Di banyak negara, terbukti bahwa penerapan cukai minuman berpemanis ini mengubah perilaku konsumen dan produsen minuman. Konsumen beralih mengonsumsi minuman yang lebih sehat. 

Produsen juga akhirnya memproduksi minuman yang lebih aman bagi kesehatan. Tambah lagi, negara mendapat pemasukan yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat.

Tentu saja, pemerintah Indonesia perlu memberikan bantuan berupa insentif agar peralihan positif semacam ini dapat juga dilakukan industri minuman dalam negeri. Pendidikan kesehatan perlu digalakkan agar masyarakat menyadari mana minuman yang baik bagi kesehatan.

Salam sehat. 

Anda setuju dengan rencana cukai minuman berpemanis? Sila komentar dan bagikan artikel ini jika dipandang bermanfaat. Salam sehat. Ruang Berbagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun