Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Banyak Pejabat Telah Terbiasa Ucapkan Salam Semua Agama

11 November 2019   06:10 Diperbarui: 11 November 2019   17:32 7095
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KOMPAS.COM/GARRY LOTULUNG

Baru-baru ini salam semua agama menjadi bahasan menarik. Pasalnya, Dewan Pimpinan MUI Provinsi Jawa Timur menyerukan kepada umat Islam khususnya dan kepada pemangku kebijakan agar dalam persoalan salam pembuka dilakukan sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Untuk umat Islam cukup mengucapkan kalimat, "Assalaamu'alaikum. Wr. Wb."

Dengan demikian bagi umat Islam akan dapat terhindar dari perbuatan syubhat yang dapat merusak kemurnian dari agama yang dianutnya, demikian bagian pamungkas imbauan yang disampaikan Minggu (10/11/2019).

Jokowi Biasa Ucapkan
Tidak sulit menemukan jejak digital di mana Presiden RI Joko Widodo yang beragama Islam mengucapkan salam semua agama. Salah satu contohnya, saat memperkenalkan Kabinet Indonesia Maju tanggal 25 Oktober 2019, Presiden kita mengucapkan, "Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua. Syaloom, Om Swastiastu, Namo Buddhaya, Salam Kebajikan."

Videonya:


Rupanya, salam semua agama yang diucapkan Jokowi juga cukup populer di kalangan pesohor negeri. Salah satu tokoh politik yang juga mengucapkan salam semua agama adalah Sandiaga Uno, yang juga beragama Islam.

Mengutip kumparan.com, saat mengawali pidatonya saat meninjau pengaduan masyarakat yang dibuka setiap Sabtu di kantor Kecamatan Kebayoran Baru, Sandiaga yang waktu itu masih menjabat Wakil Gubernur DKI Jakarta Sabtu (9/12/2017) mengatakan, "Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua. Syaloom, Om Swastiastu, Namo Buddhaya, Salam Kebajikan."

Dalam kesempatan itu, Sandi bahkan meminta hadirin untuk belajar mengucapkan salam semua agama. "Itu salam baru yang sekarang mulai dipopulerkan oleh Presiden Jokowi," papar Sandi.

Memahami Maksud MUI Jatim
Dalam imbauannya, MUI Jatim menyatakan beberapa pokok gagasan, antara lain:

  1. Jika dicermati, salam adalah ungkapan do'a yang merujuk pada keyakinan dari agama tertentu. Sebagai contoh, salam umat Islam, "Assalaamu'alaikum" yang artinya "Semoga Allah mencurahkan keselamatan kepada kalian". Ungkapan ini adalah doa yang ditujukan kepada Allah Swt, Tuhan yang Maha Esa, yang tidak ada Tuhan selain Dia.

    Salam umat Budha, "Namo Buddaya" artinya terpujilah Sang Budha, satu ungkapan yang tidak terpisahkan dengan keyakinan umat Budha tentang Siddhartha Gautama.

    Ungkapan pembuka dari agama Hindu, "Om Swastiastu". Om, adalah panggilan umat Hindu khususnya di Bali kepada Tuhan yang mereka yakini yaitu "Sang Yang Widhi". "Om" seruan ini untuk memanjatkan doa atau puja dan puji pada Tuhan yang tidak lain dalam keyakinan Hindu adalah Sang Yang Widhi tersebut. Lalu kata swasti, dari kata su yang artinya baik, dan asti artinya bahagia. Sedangkan astu artinya semoga. Dengan demikian ungkapan Om Swasti Astu kurang lebih artinya, "Semoga Sang Yang Widhi mencurahkan kebaikan dan kebahagiaan".

    Bahwa doa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari ibadah. Bahkan di dalam Islam doa adalah inti dari ibadah. Pengucapan salam pembuka menurut Islam bukan sekedar basa basi tetapi do'a.

  2. Mengucapkan salam pembuka dari semua agama yang dilakukan oleh umat Islam adalah perbuatan baru yang merupakan bid'ah yang tidak pernah ada di masa yang lalu, minimal mengandung nilai syubhat yang patut dihindari.

    Dalam keterangannya pada wartawan, Kiai Abdusshomad mengatakan, "Misalnya pejabat, seorang gubernur, seorang presiden, wakil presiden, para menteri, kalau dia agamanya Muslim ya assalamualaikum. Tapi mungkin kalau Gubernur Bali ya dia pakai salam Hindu," katanya.

    "Kaitannya dengan toleransi, kita setuju dalam perbedaan, saling menghormati, menghargai. Bukan berarti kalau orang salam nyebut semua itu wujud kerukunan. Itu perusak kepada ajaran agama tertentu," ujarnya lagi.

Rupanya Buya Syafii Tak Sepakat
Rupanya, sama seperti yang terjadi di masyarakat, ada tanggapan beragam soal imbauan MUI ini. Buya Syafii, Mantan Ketua PP Muhammadiyah mengatakan, "Saya rasa janggal. Jangan terlalu ketat begitu, kita kan sebuah bangsa plural, Bhinneka Tunggal Ika."

Ragam Tanggapan Warganet
Pantauan di media sosial, sebagian warganet menuliskan dukungan mereka:

  • "Saya dukung MUI. Biarlah pejabat yg muslim bersalam dengan assalamualaikum, pejabat nasrani dengan syalom, begitu juga dengan yang Hindu, Budha, maupun penghayat kepercayaan bersalam dengan aturan agamanya masing-masing. Justru di situlah nilai toleransi yang sesungguhnya. menghargai apa yang diyakini penganut agama lain."

Ada pula yang mencoba mengkritisi:

  • "MUI belum mengerti kalau seseorang sudah menduduki posisi pejabat pemerintahan, maka ia mewakili semua masyarakat di dalamnya, terlepas dari agama yg dianutnya. Jadi kalau dia bertemu dengan rakyat yg memilihnya, tentu dia akan lebih sopan kalau mengucapkan salam kepada semua, berdasarkan keyakinan mereka masing-masing".

  • "Kenapa sih baru sekarang dihimbau?"

Ada juga yang lantas mengajukan usulan:

  • Kalau begitu maunya berarti cukup ucapkan selamat pagi /siang /sore /malam karena itu cuma ungkapan dalam (bahasa) yg berlaku umum.

Agama, Selalu Diributkan di Negeri Kita
Seperti biasa, isu soal agama selalu jadi kontroversi di negara kita yang bhinneka ini. Para politisi juga kerap kali menggunakan agama sebagai "bahan jualan" kampanye politiknya.

Pilpres lalu menjadi contoh nyata. Tak kurang, profesor Susanne Schroter, Direktur Pusat Penelitian Islam Global di Frankfurt, FFGI mengomentari demikian, "Peran agama (dalam politik) di Indonesia sekarang sangat  besar. Agama sekarang jadi instrumen utama berpolitik, dan agama diinstrumentalisasi oleh semua pihak".

Profesor ilmu politik itu, yang juga ketua Yayasan Orientalis Jerman Deutsche Orient Stiftung (DOS), menggambarkan jalannya kampanye di Indonesia sebagai perebutan wacana Islam. Tiap kubu mencoba mencari kelemahan lawan dengan mengangkat isu kadar keislaman.

Di Manokwari,  sebuah peraturan daerah dengan nama Manokwari Kota Injil telah disahkan DPRD Manokwari akhir Oktober 2018. Akan tetapi, Perda itu belum diterapkan karena tak kunjung mendapatkan nomor oleh pemerintah.

Permasalahan Izin Mendirikan Bangunan untuk rumah ibadah dengan melampirkan bukti tertulis dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh Lurah dan Camat sesuai Peraturan Bersama Menag dan Mendagri Nomor 9 Tahun 2006 juga selalu mengundang kontroversi karena memicu sindrom mayoritas-minoritas. Banyak terjadi, pemeluk agama minoritas di tempat tertentu kesulitan membangun rumah ibadah karena tak didukung (oknum) pemeluk agama mayoritas. 

Isu sindrom mayoritas-minoritas dalam urusan IMB untuk rumah ibadah ini amatlah ironis dengan falsafah Pancasila yang kita junjung bersama, di mana salah satu silanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini juga ironis dengan UUD 1945 yang menjamin kebebasan tiap pemeluk agama untuk menjalankan agamanya. 

Virtus in Medio
Sesuai undang-undang kita, tiap orang berhak menjalankan agamanya. Tentu MUI  Jatim telah memelajari dengan cermat alasan untuk sampai pada imbauan yang disampaikan pada umat Islam, yang menjadi ranahnya. Ini adalah tugas MUI yang tentu kita hormati.

Tiap organisasi keagamaan di Indonesia pun berhak mengeluarkan imbauan pada umat masing-masing dan menjadi ranah umat yang bersangkutan untuk menanggapi imbauan tersebut.

Kita selalu berada dalam tegangan antara keinginan untuk setia pada ajaran agama masing-masing sekaligus ramah terhadap pemeluk agama lain dalam hidup bernegara. Nah, dalam konteks bernegara, tegangan antara kesetiaan pada agama dan toleransi ini sejatinya bisa sedikit didamaikan dengan "virtus in medio".

Bab kelima dari buku kedua Etika Nicomachean mencoba menjawab pertanyaan: apa itu kebajikan, sifat macam apa yang dimilikinya. Bagi Aristoteles, kebajikan memiliki karakteristik yang unik: kebajikan terletak di antara sifat berlebih-lebihan dan sifat minimalis.

Doktrin ini telah sangat berhasil pada abad-abad berikutnya, sehingga kita mengenal ungkapan terkenal dalam bahasa Latin seperti: "In medio stat virtus" atau "virtus in medio".

Jika diterjemahkan secara luwes, "virtus in medio" berarti bahwa hal yang baik itu ditemukan di tengah-tengah: Jangan terlalu berlebihan, tapi juga jangan terlalu kendor. Intinya adalah menjalankan dua hal secara luwes dan bijaksana.

Setia pada agama itu baik. Ramah pada sesama warga bangsa itu baik juga. Kebaikannya ada di mana? Bukan di satu sisi saja. Jalankan dua-duanya dengan keluwesan dan kebijaksanaan. 

Pahlawan nasional Indonesia, Monsinyur Soegijopranata SJ pernah mengatakan kepada umat Katolik bahwa umat katolik Indonesia adalah seratus persen Katolik, seratus persen Indonesia.

Kiranya, jika tak keberatan, setiap agama dan kepercayaan di Indonesia bisa mengadopsi ungkapan pahlawan nasional kita di atas dengan mengatakan:

  • Seratus persen Islam, seratus persen Indonesia
  • Seratus persen Kristen, seratus persen Indonesia
  • Seratus persen Hindu, seratus persen Indonesia
  • Seratus persen Buddha, seratus persen Indonesia
  • Seratus persen Kong Hu Cu, seratus persen Indonesia
  • Seratus persen penganut kepercayaan, seratus persen Indonesia

Hendaknya kita juga ingat kebijaksanaan Jawa "empan papan". Artinya pandai menerapkan sesuatu sesuai tempat dan konteksnya.

Betapapun inginnya kita setia pada ajaran agama sendiri, amat terpuji bila keinginan mulia itu diterapkan secara "empan papan" dalam konteks bernegara dan bermasyarakat.

Hemat penulis, Presiden Jokowi dan tokoh sekaliber Sandiaga Uno yang mengucapkan salam agama tentu termasuk pribadi-pribadi yang tahu menempatkan diri. Akan menarik seandainya Presiden Jokowi dan Sandiaga membahas soal salam agama ini dalam wawancara dengan wartawan agar kita dapat mengerti, mengapa mereka berdua selama ini mengucapkan salam agama yang baru-baru ini jadi obrolan hangat....

Salam cinta Indonesia. Dari saya yang berasal dari keluarga Bhinneka Tunggal Ika :)

Rujukan: 

  • news.detik.com/berita-jawa-timur/d-4778988/ini-imbauan-mui-jatim-soal-pejabat-tak-gunakan-salam-pembuka-semua-agama
  • bbc.com/indonesia/indonesia-46813787
  • filosofico.net/Antologia_file/AntologiaA/ARISTOTELE_%20IN%20MEDIO%20STAT%20VIRTUS.htm 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun