Kasihan sekali ibu itu. Sambil menangis, ia bercerita bahwa anaknya yang berusia enam tahun harus operasi karena ada benjolan di bawah lidahnya. Sampai saat ini, perjumpaan dengan ibu muda itu masih melintas di benak saya. Saya berharap semoga adik kecil itu baik-baik saja."
Menyimak pesan Ibu nan baik hati ini, saya tertegun. Sontak rasa bahagia memenuhi hati saya. Ternyata tulisan sederhana yang saya tulis ituÂ
sedikit banyak mempengaruhi sang ibu untuk tak sibuk dengan diri sendiri, namun lebih peka melihat kehadiran sesama di sekitarnya. Sikap peka ibu ini kontras dengan sikap acuh seorang ibu lain yang sibuk berponsel ria meski ada seorang ibu muda yang menangis di dekatnya.
Tentu kita dapat berpikiran positif, bahwa mungkin saja si ibu yang sedang nunduk ini sedang mengirim pesan penting ke kerabatnya.Â
Dimintai Tolong Seorang Penulis Pemula
Peristiwa menarik lain saya alami awal bulan Agustus ini. Saya mendapat surel dari seorang bapak yang belum saya kenal. Ia menulis:
"Saya ini penulis pemula di Kompasiana. Di tengah kesibukan pekerjaan saya, saya memberanikan diri untuk menulis di blog Kompasiana. Saya akui bahwa kebiasaan menulis sudah saya tinggalkan sekitar 13 tahun yang lalu sewaktu saya masih mengenyam pendidikan tinggi. Itupun, tulisan hanya sebatas pada tugas mata kuliah.Â
Kemarin saya coba mulai menulis sebuah opini di Kompasiana. Saya mohon masukan atas opini yang sudah saya tulis di Kompasiana. Akhirnya, saya ucapkan terima kasih banyak. Salam Kompasiana."
Saya membalas surel itu dengan mengajak berpindah saluran ke aplikasi perpesanan. Mulai saat itu, saya bagikan sejumlah tips menulis di Kompasiana. Beberapa sudah saya tulis panjang-lebar di Kompasiana.
Contohnya silakan baca di sini
Saat ini, Bapak tersebut sudah menulis beberapa artikel (22 artikel!) sejak artikel yang saya komentari diunggahnya. Sebuah tulisan beliau pada pertengahan Agustus ini bahkan mendapat lebih dari dua ribu tayangan. Wow. Saya sendiri saja lebih sering cuma dapat seratusan tayangan..hehehe.