Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Kisah Nyata, Dahsyatnya Dampak Tulisan Sederhana Kita

24 Agustus 2019   09:05 Diperbarui: 25 Agustus 2019   01:36 1334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
b2bwritingsuccess.com

Belum lama  ini, saya menulis sebuah tulisan sederhana berjudul "7 Cara Hidup Lebih Bahagia tanpa Candu Facebook, Instagram, dan Gawai". 

Tulisan tersebut berangkat dari keprihatinan saya bahwa saat ini media sosial telah berhasil membuat kita jadi generasi menunduk. Kita tunduk pada layar ponsel di dalam bus, di bandara, di stasiun, di kantin kantor, bahkan di meja makan keluarga. 

Salah satu tips yang saya bagikan ialah bahwa kita perlu secara sadar menjadikan diri lebih mudah disapa dan diajak ngobrol di ruang publik. Trik ini harus kita mulai dari diri sendiri. Jangan selalu nunduk.

Saya menulis, "Pasang mata dan telinga untuk lihat sekitar Anda alih-alih sibuk dengan gawai. Tolonglah penumpang lain yang mungkin kerepotan membawa barang berat. Relakan tempat duduk Anda untuk ibu hamil, orang lanjut usia, dan anak-anak serta kaum difabel. Ajak ngobrol penumpang lain atau orang yang ada di dekat Anda.

Tiap orang ingin diperlakukan sebagai manusia, tak justru dicuekin karena kita sibuk dengan gawai. Mengajak ngobrol, menyapa, bertanya, siap menolong adalah cara-cara terbaik untuk memperlakukan orang-orang yang kita jumpai sebagai manusia."

Dampak Tulisan Sederhana Kita Ternyata Dahsyat

Kedahsyatan sebuah tulisan tak sekadar diukur dengan banyaknya views atau tayangan di blog semacam Kompasiana. Bahwa tulisan itu dibaca sekitar 8 ribu kali juga bukan ukuran satu-satunya.

Kedahsyatan tulisan sederhana kita justru terbongkar saat ada satu orang yang mengubah pola pikir dan perilakunya setelah membaca tulisan kita. Seorang Ibu yang saya kirimi artikel saya melalui aplikasi perpesanan pada 23/8/2019 menulis:

"Saya tergelitik dengan tulisan (di Kompasiana) yang dikirimkan pada saya. Benar juga ya. Saya punya pengalaman. Hari Selasa lalu, saat menemani sepupu saya yang suaminya menjalani operasi di RS, saya melihat seorang ibu muda sedang menangis. Ia duduk di bangku ruang tunggu depan kamar bedah. Saya dan adik sepupu saya asyik ngobrol di sudut lain. 

Di dekat ibu muda yang nangis itu ada juga ibu lain yang sedang asyik dengan gawainya. Saya sendiri untuk mengisi waktu membaca buku, tapi karena ruangan kurang terang, saya berhenti membaca.

Saya beranikan diri untuk menyapanya. Saya ke kantin untuk membelikannya tisu. 

Kasihan sekali ibu itu. Sambil menangis, ia bercerita bahwa anaknya yang berusia enam tahun harus operasi karena ada benjolan di bawah lidahnya. Sampai saat ini, perjumpaan dengan ibu muda itu masih melintas di benak saya. Saya berharap semoga adik kecil itu baik-baik saja."

Menyimak pesan Ibu nan baik hati ini, saya tertegun. Sontak rasa bahagia memenuhi hati saya. Ternyata tulisan sederhana yang saya tulis itu 

sedikit banyak mempengaruhi sang ibu untuk tak sibuk dengan diri sendiri, namun lebih peka melihat kehadiran sesama di sekitarnya. Sikap peka ibu ini kontras dengan sikap acuh seorang ibu lain yang sibuk berponsel ria meski ada seorang ibu muda yang menangis di dekatnya.

Tentu kita dapat berpikiran positif, bahwa mungkin saja si ibu yang sedang nunduk ini sedang mengirim pesan penting ke kerabatnya. 

Dimintai Tolong Seorang Penulis Pemula

Peristiwa menarik lain saya alami awal bulan Agustus ini. Saya mendapat surel dari seorang bapak yang belum saya kenal. Ia menulis:

"Saya ini penulis pemula di Kompasiana. Di tengah kesibukan pekerjaan saya, saya memberanikan diri untuk menulis di blog Kompasiana. Saya akui bahwa kebiasaan menulis sudah saya tinggalkan sekitar 13 tahun yang lalu sewaktu saya masih mengenyam pendidikan tinggi. Itupun, tulisan hanya sebatas pada tugas mata kuliah. 

Kemarin saya coba mulai menulis sebuah opini di Kompasiana. Saya mohon masukan atas opini yang sudah saya tulis di Kompasiana. Akhirnya, saya ucapkan terima kasih banyak. Salam Kompasiana."

Saya membalas surel itu dengan mengajak berpindah saluran ke aplikasi perpesanan. Mulai saat itu, saya bagikan sejumlah tips menulis di Kompasiana. Beberapa sudah saya tulis panjang-lebar di Kompasiana.

Contohnya silakan baca di sini

Saat ini, Bapak tersebut sudah menulis beberapa artikel (22 artikel!) sejak artikel yang saya komentari diunggahnya. Sebuah tulisan beliau pada pertengahan Agustus ini bahkan mendapat lebih dari dua ribu tayangan. Wow. Saya sendiri saja lebih sering cuma dapat seratusan tayangan..hehehe.

Sebuah pesan singkat masuk ke ponsel saya. "Mat malam, saya minta maaf. Saya tahu bahwa sms ini sangat mengganggu, namun saya tidak bisa menunggu untuk sampaikan kabar gembira. Salah satu artikel saya masuk kategori populer. Terima kasih," tulis Bapak yang bersemangat menulis ini.

Lagi-lagi saya dikejutkan oleh dampak tulisan sederhana saya. 

Sebuah Ajakan

Tulisan ini saya anggit bukan untuk menyombongkan diri. Saya mafhum, rekan-rekan penulis di Kompasiana jauh lebih dahsyat tulisan dan dampaknya bagi banyak orang selama bertahun-tahun. Sementara saya masih seperti anak kecil yang belajar mengencangkan celana yang suka melorot...eh...

Saya makin yakin, sebuah tulisan ketika "lepas" dari pengarangnya dan dibaca orang lain akan membawa dampak yang tak dapat diduga, bahkan oleh pengarangnya sendiri.

Kita berharap, karunia berupa kemampuan menulis (meski tak seberapa hebat) menjadi ibadah kita yang berkenan di hadapan Tuhan, sesama insan, dan alam. Mari menulis hal-hal positif yang meski tampaknya sederhana, ternyata dahsyat dampaknya bagi orang yang (kebetulan) membacanya. 

Tak usah terlalu fokus pada keuntungan materi. Satu orang yang berubah pola pikir dan perilakunya setelah membaca tulisan kita adalah hadiah istimewa yang tak ternilai harganya bagi seorang penulis. 

Salam literasi. Sila bercerita di kolom komentar tentang dahsyatnya dampak tulisan Anda. 

Sumber

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun