Mohon tunggu...
Ruang Berbagi
Ruang Berbagi Mohon Tunggu... Dosen - 🌱

Menulis untuk berbagi pada yang memerlukan. Bersyukur atas dua juta tayangan di Kompasiana karena sahabat semua :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Monyet di Sungai Kelai

8 Juni 2019   07:56 Diperbarui: 8 Juni 2019   08:02 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Stauss@German www.ibrita.id

Mentari senja mulai tenggelam di ufuk barat. Sinar-sinar terakhirnya memantul di permukaan air Sungai Kelai. Sore itu arus Kelai terbilang tenang. Hanya beberapa perahu ketinting milik orang-orang Kelai yang mengusik ketenangannya.

Dari serambi pastoran yang tak jauh dari tepi sungai, Pastor Deni menikmati pemandangan senja itu. Pandangannya lantas melayang ke ladang-ladang orang Kelai di seberang sungai. Tahun ini ladang tak memberi banyak hasil.

Padi diserang hama. Jagung nyaris habis setelah dijarah kawanan monyet. Tadinya, ketika hutan di belakang ladang orang Kelai masih lestari, monyet tak pernah menyatroni ladang. Setelah perusahaan sawit mulai membabat hutan dari hulu sampai daerah dekat Kelai, monyet kehilangan buah-buahan kesukaannya. Terpaksa mereka serbu jagung yang masih tanggung.

"Selamat sore, Pastor". Pastor Deni sedikit terkejut mendengar suara itu. "Oh...Pak Alung. Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya pada pria renta itu. "Ada undangan rapat untuk Pastor. Jam delapan besok di balai adat. Kami minta pendapat Pastor soal tawaran dari PT sawit,"  jawab sang ketua adat dengan raut wajah muram.

Pastor Deni menghela nafas panjang. Ia tahu segawat apa persoalan yang mengusik hati Pak Alung dan orang-orang Kelai akhir-akhir ini. Sebulan lalu para petinggi perusahaan sawit mendatangi para tetua adat. Orang-orang bermulut manis itu ingin membeli ladang orang-orang Kelai. "Kami beli sehektar 5 juta. Nanti kami angkat kalian jadi karyawan. Sebulan kami gaji 2 juta. Itu lebih baik daripada berladang," bujuk mereka.

Sejak tawaran itu datang, kampung terbelah jadi dua. Sebagian besar ingin segera menjual ladangnya. Hanya segelintir yang masih ingin pertahankan ladang peninggalan leluhur. Tetapi yang segelintir inipun kini mulai goyah setelah Pak Ibung, sang kepala desa, menebar pengaruh. "Untuk apa punya ladang tapi tidak bisa makan?", begitulah pertanyaan Pak Ibung pada sebagian warganya yang menolak sawit.

Sejak datang sebagai pastor muda lima tahun lalu, baru kali ini Pastor Deni melihat orang-orang Kelai berkelahi, meski hanya adu mulut saja. Di dermaga, di ladang, di depan gereja, orang-orang ramai berdebat kusir soal rencana menjual ladang. "Dasar monyet!". Makian itu semakin sering terdengar ketika adu mulut memanas. Pastor Deni tahu, sebagai pastor di desa yang sebagian besar warganya Katolik itu, ia diharapkan turun tangan.

***

Balai adat Kelai yang biasanya lengang mendadak gaduh. Riuh-rendah cakap orang-orang bersitegang. Pak Ibung sibuk menebar janji manis dari petinggi perusahaan. "Kalau besok sawit masuk desa kita, kita akan kaya. Sudahlah, jual saja tanah kita. Toh nanti kita tetap kerja di tanah kita itu. Bedanya, kita makan gaji dari PT. Setuju dukung sawit?" tanya Pak Ibung.

"Setujuuu," seru para pendukungnya.

"Tidak, tidak, saya tidak setuju. Kalau semua tanah warisan nenek-moyang kita jual, lalu apa warisan kita untuk anak-cucu kita?" tukas Pak Alung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun