Mohon tunggu...
Budhi Masthuri
Budhi Masthuri Mohon Tunggu... Seniman - Cucunya Mbah Dollah

Masih Belajar Menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Inovasi dan Penguatan Modal Sosial: Belajar dari Kota Yogyakarta

3 Agustus 2021   14:34 Diperbarui: 3 Agustus 2021   14:43 965
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Yogyakarta adalah Ibukota Propinsi DIY, merupakan satu-satunya daerah yang berstatus Kota di samping empat daerah tingkat dua lainnya yang berstatus Kabupaten. Memiliki luas wilayah 32,5 Km, terbagi menjadi 14 Kecamatan, 45 Kelurahan, 617 RW, dan 2.531 RT (www.bpkp.go.id), Berdasarkan data BPS, per tahun 2020 jumlah penduduk Kota Yogyakarta adalah 435.936 jiwa (www.yogyakarta.bps.go.id).

Produk domestik regional bruto (PDRB) Kota Yogyakarta atas dasar harga berlaku   menurut lapangan usaha 2020 adalah sebesar 35.77 Triliun Rupiah. Berasal dari unit-unit produksi yang dikelompokkan menjadi sembilan lapangan usaha (sektor) yaitu; pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan, pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, listrik, gas dan air bersih, konstruksi, perdagangan hotel dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, real estate dan jasa perusahaan, dan Jasa-jasa lain termasuk jasa pelayanan pemerintah (BPS Kota Yogyakarta).  

Mayoritas penduduk Kota Yogyakarta beragama Islam, tetapi kota ini multikultural, dengan potensi budaya yang sangat beragam, baik budaya yang tangible (fisik) maupun intangible (non fisik). Potensi budaya fisik antara lain berupa kawasan cagar budaya dan benda cagar budaya.

Adapun budaya yang non fisik seperti gagasan, sistem nilai atau norma, karya seni, sistem sosial atau perilaku sosial yang ada dan hidup dalam praktik sosial masyarakat sehari-hari (https://petabudaya.belajar.kemdikbud.go.id). Meskipun demikian, globalisasi dan Indusrtri 4.0 menyebabkan terjadinya disrupsi disemua sektor, dan setiap saat dapat mengikis budaya adiluhung yang selama ini menjadi modal sosial masyarakat Kota Yogyakarta.

Salah satu kesimpulan riset Fisipol UGM tahun 2001 sebenarnya memberi early warning terkait dengan ancaman modal sosial tersebut. Meningkatnya heterogenitas etnis pendatang yang disertai penolakan terhadap nilai-nilai etnis mayoritas (Jawa) berpotensi menurunkan modal sosial karena berpeluang menciptakan konflik (Waris,2015). Pada era digital, potensi ini semakin terbuka. Masyarakat perkotaan yang terasa semakin individualis, tidak lagi memiliki waktu yang cukup bertegur sapa dengan tetangga, saling tenggelam dalam kesibukan dan kelelahan akibat ritme kerja, nyaris tidak saling mengenal.

Multikulturalisme di era digital saat ini memang menghadapi tantangan bahkan tekanan lebih kuat. Informasi yang melimpah ruah di internet misalnya, ini dapat mendorong reproduksi perbedeaan bahkan kebencian begitu mudah terjadi, meluas bahkan meruncing menjadi konflik (Masthuri 2021). Tidak hanya itu, nilai-nilai kearifan lokal belakangan juga mulai terkikis karena adanya arus globalisasi yang kuat, sehingga kebudayaan lokal sudah tidak populer di kalangan remaja (http://fis.uny.ac.id). 

Untuk melindungi modal sosial dari potensi keterkikisan tersebut, Gubenur Daerah Istimewa Yogyakarta mengesahkan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Tata Nilai Budaya Yogyakarta. Setahun kemudian Presiden RI juga mengesahkan UU Keistimewaan DIY No. 13 Tahun 2012. Tetapi toch protensi keterkikisan budaya dan modalitas sosial tetap tidak bisa terelakkan.

Sejalan dengan kekhawatiran ini, pada Tahun 2021 Pemerintah Kota Yogyakarta merancang program inovasi pembangunan Temoto, Temonjo, Kroso. Inovasi ini pada dasarnya bersifat paradigmatik, untuk membangun cara pandang baru tentang kebersamaan dan kegotongroyongan dalam proses perencanaan pembangunan berkelanjutan. 

Hal menarik dari program inovasi ini adalah pelaksanaanya dilakukan dengan pendekatan kemitraan bersama komunitas-komunitas warga yang ada dalam setiap desa. Dengan demikian perubahan paradigma yang dicanangkan pada akhirnya akan berdampak pada terjadinya perubahan sikap dan perilaku dan memperkuat modal sosial yang ada dalam masyarakat desa tersebut.

Salah satu implementasi programatik dari Inovasi Temoto, Temojo, Kroso adalah urban farming oleh Kelompok Tani Tanem Tuwuh, di RW 13 Kampung Karangwaru Kidul, Desa Karangwaru, Kecamatan Tegalrejo. Komunitas ini memanfaatkan lorong kampung dan lahan tidur milik warga untuk penghijauan serta pertanian, dengan melibatkan warga melalui proses-proses kolaborasi, gotong royong, dan komunalitas.

Kelompok Tani Tanem Tuwuh menjadi objek penelitian dalam tulisan ini, untuk menjelskan bagaimana Inovasi Temoto, Temonjo, Kroso Pemerintah Kota Yogyakarta memberikan dampak pada penguatan modal sosial dalam komunitas, dan seperti apa bentuk distribusi kesejahteraan dilakukan.

Teori Tentang Modal Sosial

  • Konsep Modal Sosial  

Konsep modal sosial berkaitan erat dengan kebijakan kesejahteraan. Ini bukanlah konsep yang baru, karena sejak lama sudah digunakan para pemikir sosial. Lj Hanifan (1916) adalah yang pertama kali mencetuskan istilah modal sosial dalam bukunya berjudul The  Rural  School  Community  Centre. 

Buku ini menjelaskan tentang peningkatan kondisi hidup masyarakat melalui keterlibatan masyarakat, niat baiknya, serta atribut-atribut sosial lain dalam bertetangga, yang membawa manfaat internal dan eksternal. Modal sosial menurut  Hanifan, bukan dalam arti kekayaan atau uang, tetapi termasuk seperti kemauan baik, rasa  bersahabat,  saling simpati,  hubungan  sosial  serta kerjasama  yang  erat  antara  individu  dan  keluarga  yang  membentuk  suatu  kelompok sosial (Syahra, 2003). 

Konsep modal sosial Lj Hanifan sempat terabaikan, dan ketika tujuh puluh tahun kemudian Pierre Bourdieu (1986) menulis buku tentang modal sosial, berjudul The Forms of Capital, barulah kembali diperbincangkan. Buku ini menguraikan bahwa struktur dan fungsi sosial hanya dapat dipahami dari konsep modal sosial, di samping juga modal ekonomi, karena dalam setiap transaksi ekonomi selalu disertai transaksi non ekonomi yang bersifat immaterial berupa modal sosial yang terbentuk dari hubungan interpersonal antara pelaku transaksi. 

Pemikiran Bourdeau dalam bukunya tersebut kemudian memantik pembahasan yang hangat mengenai konsepsi modal sosial di kalangan ilmuwan. Dua tahun kemudian James Coleman (1988) juga menulis buku dengan tema yang sama berjudul Social Capital  in  The  Creation  of  Human  Capital, menympulkan bahwa modal sosial berperan  menciptakan  modal  manusia, sifatnya produktif sehingga memberikan keuntungan material (Santoso 2020).

Di antara para ilmuan sosial yang membahas tentang konsep modal sosial, Robert D.Putnam (1993) adalah yang termasuk lebih detil dan mudah dipahami. Penjelasannya tentang modal sosial dituangkan dalam buku berjudul Making  Democracy  Work:  Civic  Traditions  in  Modern  Italy. Ia mendefinisikan  modal sosial sebagai 'features of social organization, such as trust, norms, and networks that can improve the efficiency of society by facilitating coordinated actions'. Modal sosial adalah fitur organisasi sosial, seperti kepercayaan, norma, dan jaringan yang dapat meningkatkan efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan terkoordinasi. 

Definisi ini paling mudah dipahami dibandingkan dengan definisi-definisi sebelumnya, mengandung dua asumsi  dasar  yakni  adanya  jaringan  hubungan  dengan  norma-norma   yang   terkait,   dan   keduanya   saling   mendukung   guna   mencapai keberhasilan di bidang ekonomi bagi orang-orang yang termasuk dalam jaringan tersebut (Syahra 2003).

Jika pemikiran tentang konsep modal sosial menurut Bourdeau dan Coleman bersifat individual, tidak demikian dengan Putnam yang menawarkan pendekatan komunitas. Oleh karena itu, teori tentang modal sosial yang dikemukakan Putnam ini lebih mampu menjelaskan modal sosial dalam praktik-praktik collective action (gotong royong) yang selama ini terjadi di Indonesia.  

  • Komponen Modal Sosial

Komponen modal sosial adalah unsur yang membentuk modal sosial. Putnam membaginya menjadi tiga komponen pembentuk modal sosial yaitu;  jaringan  sosial (social network) yang di dalamnya berbentuk komunikasi dan kordinasi, kepercayaan (trust) sebagai perekat interaksi yang hidup dalam jaringan sosial, dan norma-norma (norms) sebagai instrumen untuk mengendalikan komunitas agar sikap, perilaku dan tindakannya tetap sesuai dengan nilai-nilai yang telah disepakati. 

Ini berbeda dengan pemikiran Bordeau, menritnya hanya ada satu komponen pembentuk modal sosial, yaitu jaringan sosial. Sedangkan Coleman berpandangan bahwa komponen pembentuk modal sosial terdiri dari jaringan sosial, norma, kepercayaan (trust), informasi, organisasi.

Komponen modal sosial pertama adalah jaringan sosial (social network). Baik Bourdeau, Coleman maupun Putnam menempatkan jaringan sosial dalam posisi sangat penting dalam konsep modal sosial. 

Pandangan Bourdeau tentang hubungan jaringan sosial dalam modal sosial dijelaskannya sebagai; "social capital depends on the size of one's connections and on the volume or amount of capital in these connections' possession' Social capital is seen as a networks' effective possession which can be mobilized and manifested. Kekuatan modal sosial sangat ditentukan oleh modalitas yang dimiliki anggota dalam jaringan sosial. Semakin baik modalitas dalam jaringan sosial, semakin efektif jaringan sosial tersebut memobiliasasi dan memanifestasikan modal sosial yang mereka miliki.

Adapun Coleman menggunakan konsep intergenerational network untuk menjelaskan peran modal sosial dalam perkembangan human capital seperti yang menjadi penentu keberhasilan siswa dalam sekolah yang diteliti sebelumnya. Kedekatan dan kohesivitas jaringan diukur dari jumlah orang tua teman sekelas anak yang mengetahui dan menjalin kontak dengan seorang wali murid (Sumarto, 2021).

 Sedangkan Putnam menjelaskan jaringan sosial dengan pendekatan konseptual "network of civic engagement" seperti halnya yang tergambar dalam asosiasi lingkungan, perkumpulan paduan suara, koperasi, klub olahraga, partai berbasis massa. Kordinasi dan komunikasi yang terjadi dalam network of civic engagement itu pada dasarnya menunjukkan adanya interaksi horizontal yang intens dan memberi kemungkinan lebih besar terjadinya kerja sama yang efektif untuk saling menguntungkan.

Komponen modal sosial kedua adalah kepercayaan (trust), posisinya tidak kalah penting dengan jaringan sosial (social network). Menurut Sztomka (1999) kepercayaan (trust) bisa didefinisikan sebagai suatu "taruhan"  mengenai tindakan yang yang akan dilakukan oleh orang lain (Sztompka dalam Sumarto 2021). Sedangkan Putnam meyakini bahwa kepercayaan (trust) terjadi ketika seseorang warga bermaksud baik dan memliki kapasitas untuk melakukan suatu tindakan yang dipercayakan. 

Dengan adanya kepercayaan (trust), seorang warga dalam sebuah komunitas akan melakukan, mempercayakan, merelakan, bahkan memberikan sesuatu kepada warga lainnya. Ini dilakukan karena ada komponen modal sosial ketiga berupa norma-norma (norms) yang disepakati dan keyakinan bahwa orang tersebut juga akan melakukan hal yang  sama. 

Putnam menyebutnya sebagai norma timbal balik (norms of reciprocity) yang apabila diabaikan dapat dikenai sanksi. Sanksi terhadap pengabaian norma dalam konsep modal sosial dalam pandangan Putnam diperlukan untuk meningkatkan kepercayaan sosial dan meminimalisasi tindakan oportunis dalam aktivitas bersama sebuah komunitas (Sumarto 2021). Karena menurut Sztompka konsep kepercayaan juga memiliki risiko terjadinya pengkhianatan (betrayal) oleh pihak yang dipercayai, yang dapat menimbulkan kekecewaan pihak yang mempercayai (Sztompka 1999 dalam Sumarto 2021).

Ketiga komponen modal sosial tersebut saling terkait antara satu sama lainnya. Jaringan sosial (social network) menjadi sarana untuk membangun kordinasi dan komunikasi. Agar proses komunikasi dan kordiasi ini berjalan efektif, maka dibutuhkan kepercayaan (trust) antar sesama anggota komunitas. 

Selain itu, kordinasi dan komunikasi yang baik akan membentuk rasa saling percaya (mutual trust) antar sesama anggota komunitas dan dari sini akan terbentuk atau akan terjadi penguatan norma-norma yang disepakati sebagai  "aturan main".

Keberadaan tiga komponen modal sosial ini sekaligus akan menjelaskan mengapa ada  suatu kelompok masyarakat (komunitas)  dapat  berhasil  dan mengalami kemajuan dengan  mengandalkan kemampuannya sendiri, sementara kelompok (komunitas) lain tetap  terbelakang. Di negara berkembang, komunitas yang kuat juga menjadi aktor distribusi kesejahteraan. 

Dalam hal ini, modal sosial menjadi bagian yang ikut memainkan peranan penting komunitas sebagai aktor distribusi kesejahteraan tersebut. Dengan demikian, masyarakat yang memiliki modal sosial kuat akan membentuk komunitas sosial  yang  mandiri dan mampu menjalankan peran-peran partisipatory yang labih baik dalam tata kelola pemerintahan.

Inovasi Temoto, Temonjo, Kroso

Yogyakarta adalah kota dengan penduduk majemuk dan multikultural. Kemampuan mengelola keberagaman suku dan budaya warga menjadi modal penting bagi pemerintahan ini dalam menjaga keberlanjutan program-program pembangunan. Meskipun demikian, terpaan disrupsi industri 4.0 sedikit banyak membawa potensi ancaman pergeseran nilai-nilai budaya adiluhung yang selama ini menjadi faktor penting pembentuk modal sosial masyarakat.

Sejalan dengan kekhawatiran tersebut, Pemerintah Kota Yogyakarta menggagas berbagai program inovasi pembangunan. Program-program ini tidak hanya diarahkan untuk memuncukan inovasi baru dibidang inpra struktur sosial dan ekonomi, tetapi juga membentuk dan menguatkan paradigma warga. Pendekatan paradigmatik ini dapat mendorong terbentuknya perilaku warga Kota Yogyakarta yang lebih baik.

Sejak Tahun 2018, Pemerintah Kota Yogyakarta telah melahirkan berbagai Inovasi paradigmatik. Diawali dengan inovasi Gandeng Gendong (2018), inovasi Nglarisi (2019), dan Inovasi Temoto, Temonjo, Kroso (2020). Peluncuran inovasi ditandai dengan pilot project penyusunan masterplan Gandeng Gendong di tiga kelurahan. Pada Tahun 2021 penyusunan masterplan Gandeng Gendong di empat puluh dua kelurahan dan implementasi masterplan Gandeng Gendong bagi tiga kelurahan pilot project (2020), dan pada Tahun 2022 direncanakan implementasi masterplan Gandeng Gendong di seluruh kelurahan.

Gandeng Gendong adalah inovasi program pemberdayaan warga untuk mendorong semua elemen masyarakat agar saling bergandengan tangan dengan niat saling membantu agar semua pihak dapat maju bersama. 

Pencanangannya didasarkan pada Peraturan Walikota No.23 Tahun 2018 Tentang Program Gandeng Gendong Kota Yogyakarta. Ini menjadi semacam Inovasi Induk, yang kemudian dikembangkan setiap tahunnya menjadi inovasi-inovasi baru yang masih senada, antara lain Temoto, Temonjo, Kroso di Tahun 2020. Pengembangan inovasi ini terletak pada kedalaman, keluasan, dan kejelasan peran stakeholder.

Inovasi Temoto, Temonjo, Kroso ini juga dimaksudkan untuk mengubah paradigma dan membangkitkan semangat kolaboratif buttom-up dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pembangunan secara berkelanjutan dan berbasis wilayah. Inovasi ini menempatkan masyarakat sebagai sasaran utama, dan kesejahteraan serta penataan wilayah sebagai sasaran berikutnya. 

Temoto berarti tertata, yaitu penyusunan perencanaan pembangunan wilayah yang ditata sedemikian rupa, apa yang akan dibangun, kapan dimulai dan berakhir, tahapannya bagaimana, anggarannya, cara pencapaiannya, dan seperti apa penataan wilayahnya, sehingga menjadi kawasan yang memiliki branding atau citra unik dan berkarakter. 

Temoto juga berarti menata peran serta seluruh stakeholder agar dapat berpartisipasi, saling bergandengan menjadi suatu kekuatan yang fokus mewujudkan satu cita-cita. Adapun Temonjo berarti membuahkan hasil, termasuk jika dilihat dari sisi pengalokasian anggaran dan penggunaan dana. Jadi pelaksanaan perencaan kegiatan yang disusun tidak hanya selesai pada output, tetapi membuahkan hasil yang bisa dimanfaatkan tepat sasaran dan dalam jangka waktu lama. Dengan demikian hasilnya akan Kroso, karena bisa dirasakan dan berkelanjutan.

Tujuan Inovasi Temoto, Temonjo, Kroso yang bersifat tangible adalah untuk mewujudkan pembangunan kota dengan perencanaan yang terarah, dan perencanaan pembangunan wilayah yang terintegrasi serta fokus pada basis potensi dan karakteristik wilayah. 

Melalui tujuan ini diharapkan terjadi percepatan pewujudan hasil pembangunan dengan partisipasi seluruh stakeholder. Sedangkan tujuan yang bersifat non tangible adalah terbentuknya perubahan perilaku warga yang lebih peduli, sensitif dan aktif berbartisipasi melalui pembentukan paradigma baru dalam melihat potensi pembangunan dan keterlibatan mereka pada proses-proses perencanaan serta pelaksanaannya. 

Misi kolaborsi dalam inovasi ini dijalankan dengan melibatkan 5 komponen (5K) yang saling bersinergi, yaitu Kampung, Kampus, Komunitas, Korporasi, dan Pemerintah Kota Yogyakarta. Pelibatan kolaboratifnya tidak hanya sampai di tingkat kota, tetapi lebih membumi langsung berinteraksi dengan warga masyarakat di tingkat kelurahan bahkan kampung. Isue keterlibatannya juga meluas ke seluruh sektor, tidak hanya sektor usaha, tetapi masuk ke sektor pariwisata dan pendukungnya, serta sektor lain yang strategis di wilayah.

Kelompok Tani Tanem Tuwuh

Hal yang menarik dari pelaksanaan Inovasi Temoto, Temonjo, Kroso ini adalah proses pelibatan komunitas dengan pola kemitraan. Salah satu komunitas yang menjadi bagian dari pelaksanaan inovasi ini adalah Kelompok Tani Perkotaan Tanam Tuwuh. Awalnya kelompok tani ini terbentuk pada tahun 2018 sebagai Kelompok Tani Wanita. Namun seiring dengan pelaksanaan program inovasi Temoto, Temonjo, Kroso, berubah menjadi komunitas warga yang melibatkan setidaknya 330 KK yang ikut berpartisipasi menghijaukan RW 13 Kampung Karang Waru Kidul.

Bermula dari rasa risih melihat kampung yang gersang, dan beberapa lahan tidur yang dipenuhi semak belukar, Kelompok Tani Tanem Tuwuh mangembil inisiatif untuk membersihkan. Meskipun penuh dengan bongkahan batu dan puing bangunan, kondisinya tandus, dan hanya rumput serta semak belukar yang mampu tumbuh dengan baik. 

Atas ijin dari pemiliknya, Kelompok Tani ini bekerjasama dengan warga membersihkan, menggali puing-puing yang tertimbun tanah dan mengubahnya menjadi sentra pertanian perkotaan (urban farming) Tanem Tuwuh, ditanami dengan beranekaragam tanaman. Tidak hanya itu, lorong-lorong perkampungan juga dihijaukan dengan aneka tanaman sayuran, buah anggur, dan tanaman perindang penghias lingkungan.

Pengelolaan lahan Tanem Tuwuh yang kemudian melibatkan para laki-laki (para suami anggota kelompok tani) dan warga, dalam suasana kebersamaan dan gotong-royong, suami-suami mereka menyediakan media tanam dan melakukan penataan ruang. 

Tidak ada pemaksaan dalam berpartisipasi, semuanya didasarikan pada kesadaran pribadi masing-masing dan rasa memiliki. Warga yang awalnya kurang saling mengenal karena kesibukan dan kelelahan dari tempat kerja, kini memperoleh ruang interaksi sosial. Mereka menjadi sering bertemu. Ketika ada warga yang mengalami musibah/kesulitan maka warga lainnya saling membantu.

 Lahan kosong yang awalnya kurang sedap dipandang matapun berubah menjadi area sentra pertanian perkotaan (urban farming) yang menghijau dengan warna-warni buah dan sayuran di dalamnya. Kemudian orang-orang di luar desa, bahkan di luar Kota Yogyakarta mulai berkunjung untuk eco tourism. Tidak hanya itu, Kelompok Tani Tanem Tuwuh juga ikutserta dalam berbagai lomba yang diadakan pemerintah desa, LSM, maupun kecamatan,  dan kerap memperoleh penghargaan.

Aktivitas Kelompok Tani Tanem Tuwuh akhirnya menjadikan RW 13 Kampung Karangwaru Kidul menghijau dan hidup, di sentra urban farming, maupun di rumah-rumah warga. Kerjasama dan gotong-royong warga diiringi komitmen menanam dan merawat, terus dilakukan sampai akhirnya pemerintah Kota Yogyakarta menjadikan mereka sebagai bagian dari program inovasi Temoto, Temonjo, Kroso pada tahun 2020, dan menempatkannya ke dalam daftar program unggulan pembangunan desa. 

Kelompok Tani Tanem Tuwuh-pun mendapatkan pembinaan dari Dinas Pertanian Ketahanan Pangan. Mereka memperoleh bimtek pengembangan kampung sayur, diberikan pelatihan mengenai pengembangan budi daya sayur, pengemasan produk pasca panen dan pengelolaan manajemen kelompok (dokumen LKP Kota Yogyakarta 2020).

Untuk membiayai aktivitas pertanian Tanem Tuwuh ini, beberapa warga sukarela memberikan donasi. Mereka percaya menyalurkan donasi karena merasa ikut menikmati hasilnya, sehingga menjadi kepuasan batin tersediri. Penggunaan dana hasil donasi juga transparan, laporan disampaikan dalam pertemuan sebulan sekali. 

Donasi yang awalnya hanya dilakukan oleh 5 orang yang status sosial ekonominya bagus,  lama-kelamaan menular, sehingga saat ini separuh lebih dari anggota Tanem Tuwuh juga rutin berdonasi dengan jumlah yang beragam, ada yang Rp.500.000, Rp.300.000, dan Rp.50.000. Ada juga yang berdonasi dalam bentuk bibit tanaman, bambu, dan menyumbangkan tenagannya. Semua itu dilakukan karena rasa saling percaya dan ikut memiliki, sehingga sejauh inipun tidak pernah ada pencurian hasil tanaman.

Pemerintah Kota Yogyakarta juga mengalokasikan anggaran yang distribusikan dalam bentuk fasilitasi kegiatan pertanian, seperti alat pendukung, bibit, media tanam dan  pupuk. Selain itu juga ada pelatihan, bimtek dll. Sedangkan sektor swasta, yaitu peruahaan/pertokoan di sekitar RW 13 Kampung Karangwaru Kidul membantu sarana-prasarana pendukung seperti bergola, seragam, dll. 

Dana-dana tersebut sebagian juga dialokasikan untuk membantu warga dan anggota Kelompok Tani Tanem Tuwuh yang mengalami kesulitan, kemalangan, musibah dll. Mereka tidak keberatan, karena meyakini suatu saat jika mengalami hal sama juga akan mendapatkan bantuan. Untuk mewarat kepercayaan itu, pendapatan maupun pengeluaran dicatat oleh Bendahara dalam pembukuan, dan dilaporkan dalam pertemuan setiap pertemuan sebulan sekali.

 Berbagai macam sayur mayur, termasuk cabai keriting, dan tanaman herbal obat-obatan ditanam dalam sentra urban farming Kelompok Tani Tanem Tuwuh. Perawatan dilakukan bersama warga secara bergilir. Belakangan bahkan anak-anak muda usia remaja juga mulai melibatkan diri. Mereka memiliki jadual rutin menyiram dan merawat tanaman setiap harinya. 

Selain sayur mayur dan tanaman obat, Tanem Tuwuh juga sempat membudidayakan ikan Lele dan Nila. Setiap masa panen, informasi dibagikan melalui WAG warga. Pemesanan dapat dilakukan sesuai kebutuhan agar yang lain tetap memperoleh bagian, misal pembelian kangkung dibatasi hanya 5 ikat. Semua hasil pertanian dan budi daya ikan yang dihasilkan dijual lebih murah 25% dari harga pasar.

Menanam, merawat, dan memanen tanaman hanyalah satu hal positif yang didapatkan dari kegiatan Kelompok Tani Tanem Tuwuh. Selain itu, yang paling mendasar adalah warga memiliki arena untuk berkumpul, bersosialisasi, saling berkomunikasi dan kordinasi. Sesuai dengan tujuan awalnya, Tanam Tuwuh ingin menggugah kesadaran masyarakat untuk berinteraksi dengan masyarakat yang lain. 

Dengan adanya komunitas Tanem Tuwuh ini, warga yang awalnya sangat jarang bertemu untuk berkumpul, menjadi lebih sering berkumpul untuk sekadar berbincang-bincang, saling sapa, guyup rukun, senam bersama sebulan sekali, jalan santai keliling kampung seminggu sekali, dan memasak dilanjutkan makan bersama dari hasil tanaman yang dipanen. Lokasi lahan urban farming Tanem Tuwuh yang memang ditata secara apik, menjadi arena berkumpul untuk membangun kebersamaan dan guyub rukun warga.

Untuk mengkomunikasikan informasi tertentu kepada warga anggota Tanem Tuwuh, dilakukan melalui Pengurus RT/RW setempat. Misalkan jika akan ada event yang harus diikuti, akan kedatangan tamu, atau ada rencana besar lainnya, maka pengurus kelompok tani mengundang Perangka Desa dan RT/RW untuk menyampaikanya kepada warga Tanem Tuwuh di RW 13 Kampung Karangwaru Kidul.

 Inovasi, Modal Sosial dan Distribusi Keejahteraan

  •  Komponen Modal Sosial

 Kelompok Tani Tanem Tuwuh, dalam konsep modal sosial menurut Putnam adalah termasuk komunitas warga. Bisa bertahan dan memberikan manfaat bagi lingkungannya karena memiliki modal sosial yang cukup kuat. Hal ini dapat dijelaskan melalui tiga komponen modal sosial, Jaringan Sosial (social network), Kepercayaan (trust), dan Norma-Norma (norms) yang menjadi aturan main.

  • Jaringan Sosial (Social Network)

 Terdapat kohesivitas jaringan yang baik dalam Kelompok Tani Tanem Tuwuh. Kohesivitas dihasilkan dari hubungan interpersonal yang terjadi cukup inetensif antara sesama anggota Tanem Tuwuh. Ini dapat dilihat dari aktivitas bersama untuk pengelolaan pertanian sekaligus kebersamaan melalui kegiatan senam bersama, jalan sehat susur kampung, sampai memasak  bersama hasil panen lalu makan bersama. Di dalam kebersamaan tersebut terjadi obrolan terbuka, dari soal-soal yang sederhana sehari-hari, sampai yang serius mengenai pengelolaan komunitas mereka.

Komunikasi dan kordinasi menjadi bagian penting pembentuk jaringan sosial warga Tanem Tuwuh. Hal ini dapat dilihat dari adanya pembagian tugas perawatan tanaman, ada yang mendapat tugas menyiapkan bibit, pembibitan dan media tanam, menyiram, dan melakukan perawatan lainnya. Penjualan hasil panen juga terinformasi dengan baik melalui WAG, sehingga semua warga memperoleh kesempatan untuk membelinya.

Situasi jaringan sosial dalam Kelompok Tani Tanem Tuwuh terbentuk seperti apa yang dijelaskan Putnam dalam konsep "network of civic engagement". Warga membangun relasi satu sama lain dalam sebuah interaksi horizontal dan menghasilkan sesuatu (hasil panen) yang menguntungkan karena dapat dibeli dengan harga lebih murah dari harga pasar. Selain itu mereka terkadang menyempatkan diri menikmati bersama dalam sebuah event gathering masak dan makan bersama hasil panennya.

  • Kepercayaan (Trust)

Kepercayaan (trust) dalam ditemukan pada aktivitas donasi rutin dan sukarela beberapa anggotanya. Mereka percaya menyalurkan donasi karena merasa ikut menikmati hasilnya, sehingga menjadi kepuasan batin tersediri. Penggunaan dana hasil donasi juga transparan, laporan disampaikan dalam pertemuan sebulan sekali. 

Donasi yang awalnya hanya dilakukan oleh 5 orang yang status sosial ekonominya bagus,  lama-kelamaan menular, sehingga saat ini separuh lebih dari anggota Tanem Tuwuh juga rutin berdonasi dengan jumlah yang beragam, ada yang Rp.500.000, Rp.300.000, dan Rp.50.000. Ada juga yang berdonasi dalam bentuk bibit tanaman, bambu, dan menyumbangkan tenagannya. Semua itu dilakukan karena rasa saling percaya dan ikut memiliki, sehingga sejauh inipun tidak pernah ada pencurian hasil tanaman.

Selain itu, dana hasil donasi, penjualan hasil panen, pendapatan eco tourism dll sebagian juga dialokasikan untuk membantu warga dan anggota Kelompok Tani Tanem Tuwuh yang mengalami kesulitan, kemalangan, musibah dll. Mereka tidak keberatan, karena meyakini suatu saat jika mengalami hal sama juga akan mendapatkan bantuan.

Dua hal tersebut memberi gambaran bahwa warga dan anggota Tanem Tuwuh memiliki kepercayaan (trust) terhadap komunitasnya, karena yakin yang lainnya juga akan memperoleh dan melakukan hal yang sama. Ini yang disebut Putnam sebagai norma timbal banglik (norms of reciprocity) yang apabila dijalankan secara konsekwen akan menguatkan bangunan kepercayan (trust).

  • Norma-Norma (Norms)

Secara eksplisit memang tidak ditemukan adanya ketentuan norma tertulis. Tetapi adanya pengaturan dan keteraturan jadual piket untuk perawatan tanaman menunjukkan adanya aturan main yang mereka sepakati. Sehingga terjadi keteraturan dalam perawatan tanaman, termasuk berapa kali sehari tanaman harus disiram, siapa yang seharusnya menyiram, pelibatan para laki-laki (suami-suami) untuk spesifikasi pekerjaan tertentu seperti menyemediakan media tanam dan melakukan penataan ruang. Meskipun semuanya itu tidak tertulis, tetapi merupakan norma yang disepakati memberi manfaat untuk mereka.  

 Kesimpulan

Terjadi penguatan modal sosial dalam Kelompok Tani Tanem Tuwuh melalui berbagai fasilitasi yang diberikan Pemerintah Kota Yogyakarta dalam program Inovasi Temoto, Temonjo, Kroso. Penguatan ini bisa dilihat dengan membandingkkan bagaimana praktik sosial warga yang sebelumnya, tidak cukup saling mengenal dan berinteraksi sehingga kurang terbentuk jaringan sosial (social network), rasa saling percaya (trust) dan norma-norma (norms) sosial yang ada. 

Setelah Pemerintah Kota Yogyakarta melakukan penguatan melalui inovasi tersebut, jaringan sosial yang terbangun diantara anggota Tanem Tuwuh mampu membentuk kohesivitas antar mereka melalui intensitasitas kontak yang lebih meningkat dan berkualitas. 

Ini dapat dilihat dari aktivitas bersama yang dilakukan tidak hanya untuk tujuan praksis pengelolaan lahan pertanian, tetapi juga pengelolaan kebersamaan, misalnya melalui kegiatan ngobrol bareng, juga dalam moment senam bersama, jalan santai susur kampung dan masak serta makan bersama dari hasil pertanian.  

Komunikasi dan kordinasi juga terjadi sangat baik. Ini terlihat dari adanya pembagian tugas perawatan tanaman dan mekanisme penjualan hasil panen yang mengutamakan dengan harga yang jauh di bawah standar pasar. Jaringan sosial (social network) yang ada di Kelompok Tani Tanem Tuwuh ini sesuai dengan konsep "network of civic engagement" yang dikemukakan Putnam, dimana relasi satu sama lain terjalin dalam sebuah interaksi horizontal dan menghasilkan sesuatu (hasil panen) yang menguntungkan.

Adapun Kepercayaan (trust) dalam Kelompok Tani Tanem Tuwuh ditemukan dari aktivitas donasi rutin yang dilakukan oleh separuh lebih anggotanya, dan distribusi dana hasil penjualan hasil panen dll untuk membantu anggota yang sedang kesulitan dan/atau tertimpa musibah. Norma timbal balik (norms of reciprocity) yang disebutkan Putnam juga terjadi dengan terus bertambahnya anggota yang beronasi. Melalui sumber daya yang dimiliki berupa pendapatan hasil panen, donasi anggota, dll, Kelompok Tani Tanem Tuwuh mampu menjadi aktor distribusi kesejahteraan untuk anggotanya.

 

*) tulisan ini adalah versi ringkas dari Peper penulis berjudul; PENGUATAN MODAL SOSIAL DAN DISTRIBUSI KESEJAHTERAAN MELALUI INOVASI TEMOTO, TEMONJO, KROSO DI KOTA YOGYAKARTA. Studi Kasus; Kelompok Tani Tanem Tuwuh, RW 13 Karangwaru Kidul

 

DAFTAR PUSTAKA

  • Esping-Andersen, Gosta (2013), The Three Worlds of Welfare Capitalism, John Wiley & Sons, 2013.
  • Juru, Ignasius Jaques, (2012), Dislokasi Wacana Kewarganegaraan Melampaui Liberalisme Menuju Wacana Agonistik, Research Center for Polotics and Governance, Jurusan Politik dan Pemerintahan, Universitas Gajah Mada
  • Masthuri, Budhi (2021), Multikulturalisme dan Tantangan Kepemimpinan Diera Digital, Manuskrip, Paper Kuliah.
  • Moleong,  Lexy,  J.,  (2010).  Metode  Penelitian  Kualitatif, Edisi Revisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
  • Rizkia, Septia Annur, Kelompok Tani Tanem Tuwuh, Warga Berharap Jadi Kampung Wisata Lorong Anggur, Majalah Online Wiradesa,   https://www.wiradesa.co/kelompok-tani-tanem-tuwuh-warga-berharap-jadi-kampung-wisata-lorong-anggur/, diakses 04/07/2021 pukul 23.35 WIB
  • Santoso, Prof.DR. Thomas, MSI (2020), Memahami Modal Sosial, Penerbit CV Saga Jawadwipa PUSTAKA SAGA
  • Sugiyono (2010),  Metode  Penelitian  Bisnis:  Pendekatan Kuantitatif,  Kualitatif,  dan  R&D.  Bandung:  CV. Alfabeta
  • Sumarto, PhD, Mulyadi (2021), Kebijakan, Kesejahteraan dan Modal Sosial,Manuskrip Materi Kuliah MKIK UGM 2021
  • Waris,Tasha Nastiti (2015), Bangkitnya Modal Sosial di Yogyakarta Studi Tentang Proses Aktifasi Modal Sosial oleh Warga Berdaya sebagai Respon atas Permasalahan Tata Ruang di Yogyakarta, Skripsi S1 Ilmu Pemerintahan (Politik dan Pemerintahan), Fisipol UGM.
  • ____________,Profil Kota Yogyakarta, http://www.bpkp.go.id/diy/konten/824/profil-kota-yogyakarta, diakses 02/07/2021 pukul 00.50 WIB
  • ____________, Jumlah Penduduk menurut Kabupaten/Kota di D.I. Yogyakarta (Jiwa), 2018-2020, https://yogyakarta.bps.go.id/indicator/12/133/1/jumlah-penduduk-menurut-kabupaten-kota-di-d-i-yogyakarta-.html, diakses 02/07/2021 pukul 00.52 WIB
  • ____________, Produk Domestik Regional Bruto,  https://jogjakota.bps.go.id/subject/52/ produk-domestik-regional-bruto.html#subjekViewTab2 , diakses 02/07/2021 pukul 01.05 WIB
  • ____________, Sekilas Budaya Yogyakarta, https://petabudaya.belajar.kemdikbud.go.id /Konten/ PetaBudaya/2, diakses 03/07/2021, pukul 00.00 WIB
  • ____________, Nilai-Nilai Kearifan Lokal Mulai Terkikis,  http://fis.uny.ac.id/berita/nilai-nilai-kearifan-lokal-mulai-terkikis.html, diakses 04/07/2021 pukul 00.12 WIB
  • ____________, Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial
  • ____________, Peraturan Walikota No.23 Tahun 2018 Tentang Program Gandeng Gendong Kota Yogyakarta
  • ____________, Prodik Domestik Regional Bruto Kota Yogyakarta Menurut Lapangan Usaha (Gross Regional Domestic Product ofYogyakarta Municipality by Industry) 2016-2020, BPS Kota Yogyakarta 2021.
  • ____________, Laporan Kerja Pemerintah (LKP) Kota Yogyakarta, 2020
  • ____________, Inovasi Temoto, Temonjo, Kroso, Dokumen Inovasi Pemerintah Kota Yogyakarta, 2020
  • ____

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun