Mohon tunggu...
Budhi Masthuri
Budhi Masthuri Mohon Tunggu... Seniman - Cucunya Mbah Dollah

Masih Belajar Menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tantangan Multikulturalisme di Sekolah

14 April 2021   14:29 Diperbarui: 14 April 2021   14:34 2082
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber:https://mengeja.id/

Indonesia terbentuk dari keberagaman suku, agama, ras dan golongan yang menyatu sebagai bangsa. The Founding Fathers menggunakan keberagaman ini sebagai modal sosial berbangsa dan bernegara. Ini tergambar dari semboyan Bhineka Tunggal Ika yang tertoreh jelas pada pita putih dalam cengkraman kaki Garuda Pancasila. Karakteristik bangsa plural seperti ini termasuk langka, dan belum tentu ada pada semua bangsa di dunia.

Seiring berjalannya waktu, keberagaman sebagai modal sosial bangsa Indonesia juga harus berhadapan dengan perubahan zaman. Industrialisasi 4,0 dengan berbagai desrupsi yang menyertainya menjadi era penuh tantangan. Masyarakat milenial yang hidup diera ini mengalami transformasi budaya, ditandai dengan tuntutan kecepatan dan pragmatisme, menuntut setiap orang untuk berpikir dan bertindak cepat di tengah terpaan informasi sehingga mau tidak mau ikut dalam perkembangan teknologi (Ahmad W dkk, 2019). Mereka menginginkan segala sesuatu serba cepat dan memberi manfaat (praghmatisme). Semantara itu konsevatisme beragama juga berkembang lebih pesat, karena industrialisasi 4.0 menyediakan konektivitas informasi yang sang cepat cepat dan masif.

Praghmatisme dan konsevatisme ini menyasar generasi milenial,  termasuk mereka yang masih duduk dibangku-bangku sekolah menengah. Lahirnya kebijakan pemerintah daerah dan sekolah yang mengatur tentang pewajiban atau pelarangan penggunaan seragam beratribut agama di sekolah misalnya, ini salah satu contoh praktik konservatisme yang menyasar anak sekolah, dan berujung dengan terbitnya kebijakan SKB Tiga Menteri Nomor 02/KB/2021, Nomor 025-199 Tahun 2021, dan Nomor 219 Tahun 2021 Tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut Bagi Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan Pemerinta Daerah Pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.

Praktik-praktik pewajiban dan larangan pemakaian seragam beratribut agama di sekolah merupakan tantangan serius bagi masa depan multikulturalisme di sekolah. Apakah tantangan ini cukup dijawab dengan menerbitkan kebijakan SKB Tiga Menteri? Perlu dicermati lebih lanjut. Ini menarik untuk ditelaah, menggunakan pendekatan teoritik, untuk melihat prospek dari implementasi kebijakan SKB Tiga Menteri ini. Salah satu yang relevan adalah teori tentang implementasi kebijakan Marielle Grindel dan teori mengenai sistem hukum Lawrence Friedman.

Menurut Grindle, kebijakan diterjemahkan lebih lanjut menjadi program-program yang diimplementasikan untuk pencapaian tujuan kebijakan itu sendiri. Oleh karena itu, implementasi kebijakan pada dasarnya adalah sebuah upaya untuk mewujudkan tujuannya sendiri. Keefektifan proses implementasi sebuah kebijakan ditentukan oleh dua hal, yaitu policy content (isi kebijakan) dan policy context (konteks yang melatari kebijakan). Policy content menentukan apa isue substansi yang seharusnya menjadi muatan dan perlu diusung oleh sebuah kebijakan, perubahan seperti apa yang diharapkan akan terjadi sebagai akibat dari implementasi kebijakan, siapa implementator, dan di mana kebijakan itu dibuat serta dijalankan. Adapun policy context adalah situasi dan kondisi lingkungan dimana proses kebijakan dirumuskan dan diimplementasikan (Grindle 1980)

Sedangkan Friedman menerjemahkan pelaksanaan kebijakan dengan kerangka sebagai sistem hukum. Menurutnya sistem hukum sebagai kebijakan terdiri dari tiga subsistem, yaitu isi dan format hukumnya yang memadai, kesiapan struktur organisasi dan SDM yang melaksanakan (implementator), serta daya dukung budaya hukum masyarakat dimana hukum dilaksanakan. Budaya hukum ini merupakan keseluruhan sikap warga masyarakat yang bersifat umum dan nilai-nilai di dalam masyarakat yang akan menntukan pendapatnya tentang hukum (Ismayawati, 2011).

Tulisan ini secara sederhana dan ringkas akan menggunakan teori implementasi kebijakan dan sistem hukum tersebut sebagai alat untuk melihat secara kritis prospek SKB Tiga Menteri sebagai instrumen pengawal nilai-nilai multikulturalisme di sekolah.

Multikulturalisme  dan Negara Interkultural

Multikulturalisme adalah paham yang mengakui tentang adanya keberagaman kultural sebagai sebuah kenyataan dan harus diterima serta dihormati. Keberagaman kultural bisa berdimensi tradisional;  seperti  keberagaman  suku,  ras,  ataupun  agama,  maupun  keberagaman yang berdimensi bentuk-bentuk kehidupan (subkultur)  yang  muncul dalam kehidupan masyarakat (Irhandayaningsih, 2012).

Indonesia adalah negara dengan keberagaman kultural. Sebagai negara, Ia sekaligus menjadi arena interaksi sosial antar subkultur yang ada di dalamnya. Warga negaranya sering juga disebut sebagai warga negara interkultural, yaitu orang-orang yang memiliki latar belakang budaya berbeda dan ini dapat terjelaskan melalui proses komunikasi yang terjadi antar budaya. Komunikasi antar budaya (intercultural communication) merupakan komunikasi antar orang-orang yang memiliki latar belakang dan membawa bahasa budaya mereka masing-masing yang berbeda-beda (Matsumoto dkk 2008).

Dalam kehidupan warga negara dengan ragam suku, agama, dan budaya senantiasa terjadi interaksi yang bersifat interkultural, baik pada ruang publik maupun ruang privat. Kualitas relasi sosial yang dihasilkan dari proses interaksi ini sangat ditentukan oleh pemahaman, kedalaman, bahkan penjiwaan terhadap berbagai aspek multikulturalisme yang melekat dan dimiliki oleh masing-masing subklutur. Tantangannya adalah bagaimana antar warga negara mampu dan bersedia menerima perbedaan, tidak hanya sekadar sebagai "saya berbeda dengan kamu", tetapi juga bersedia menempatkan karakter kultural yang dimiliki warga lain sebagai sebuah keunikan yang  diterima dan memperoleh ruang aktualisasi yang sama dalam arena sosial yang ada.

Kemampuan komunikasi dan interaksi interkultural ini perlu dibangun sejak usia sekolah. Kemampuan ini diperlukan agar nilai-nilai multikulturalisme tertanam dan terawat dengan baik di antara warga negara sehingga menjadi modal sosial penopang kekuatan bangsa. Oleh karena itu, selain wadah untuk mencerdaskan anak-anak bangsa, sekolah pada dasarnya juga berfungsi sebagai inkubator untuk menyemai dan membesarkan benih-benih multikulturalisme dalam diri bangsa Indonesia.

Seragam Sekolah dan Tantangan Multikulturalisme

Loncatan teknologi di era industraliasi 4.0 membawa perubahan nilai-nilai sosial. Ekses dari loncatan ini membentuk pragmatisme, bahkan apatisme sosial politik warga terhadap hal-hal yang sifatnya subtansial. Penelitian yang dilakukan Rozaby menemukan bahwa masyarakat milenial di era industrialisasi 4.0 memiliki kecenderungan  apatis dalam hal pilihan politik, dan mereka baru akan menentukannya pada menit menit terakhir (Rozaby,2018).  Setiap orang juga dituntut untuk berpikir dan bertindak cepat di tengah terpaan informasi sedemikian rupa, sehingga sebagian generasi milenial ini mau tidak mau ikut dalam perkembangan teknologi (Ahmad W dkk, 2019) daripada perkembangan sosial politik

Industrialisasi 4.0 juga menyebabkan suburnya konservatisme terhadap pemahaman agama, dengan sebaran yang sangat luas dan perkembangan yang cukup pesat, termasuk sampai ke sekolah-sekolah. Berbagai survey mengkonfirmsi hal ini, sebutlah misalnya survey yang dilakukan oleh  PPIM UIN Jakarta bertajuk "Internet, Pemerintah, dan Pembentukan Sikap Keberagamaan Generasi Z", menjelaskan paling tidak ada tiga faktor utama yang memengaruhi sikap keberagamaan seseorang, yakni pengajaran yang diberikan oleh guru atau mentor agamanya, sumber pengetahuan agama yang ada di Internet, dan performa pemerintah selama tiga tahun belakangan (www.ppim.uinjkt.ac.id). Survei ini menyimpulkan pengaruh intoleransi dan radikalisme di kalangan generasi Z Indonesia, yakni mereka yang lahir setelah 1995, dapat dikatakan dalam kondisi seperti "api dalam sekam" (www.tirto.id). Penelitian lain yang dilakukan oleh Balai Litbang Agama Makassar, juga menemukan bahwa layanan pendidikan agama di sekolah-sekolah yayasan atau organisasi keagamaan, hanya memberikan layanan pendidikan agama yang menjadi ciri khas yayasan. Hal in terjadi di sekolah Yayasan Islam maupun Kristen (Hyadin, 2017)

Dua sisi realita sosial tersebut memberikan penjelasan kepada kita mengapa pelarangan dan pewajiban pemkaian sergam beratribut agama di sekolah, bahkan terhadap siswa non muslim bisa terjadi. Di Padang, Sumatera Barat misalnya, pada awal Januari 2021 beredar  sebuah video adu argumen antara orangtua siswa dengan Wakil Kepala SMK Negeri 2 Padang, Sumatera Barat tentang pewajiban bagi siswi untuk mengenakan pakaian jilbab yang juga berlaku bagi siswi non-muslim. Video berdurasi 15 menit 24 detik ini kemudian viral dan menjadi atensi banyak pihak, termasuk pemerintah (www.regional.kompas.com). Sebelumnya, hal yang hampier sama juga terjadi di SMN N 8 Yogyakarta. Orang Tua siswi keberatan anaknya diwajibkan memakai seragam beratribut agama di sekolahnya, yang ini bahkan mengalami perlakuan bulliying terselubung sehingga berujung pada pelaporan kepada lembaga pengawas pelayanan publik, Ombudsman RI (www.detik.com). Meskipun Kepala Sekolah membantah adanya pewajiban tersebut (www.republika.co.id), namun hasil investigasi Ombudsman RI menunjukkan bahwa tata tertib sekolah memberikan peluang bagi terjadinya pewajiban (www.liputan6.com). Kasus inipun akhirnya selesai dengan Kepala Sekolah merevisi tata tertib dan Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta mereview kembali seluruh tata tertib sekolah berkenaan penggunaan seragam beratribut agama (www.radarjogja.jawapos.com).

Sebaliknya, pelarangan pemakaian seragam beratribut agama juga terjadi di propinsi lainnya. Pada akhir tahun 2019 orangtua murid SD Inpres 22 Manokwari, Papua Barat, memprotes aturan sekolah yang melarang siswi mengenakan hijab saat jam belajar di kelas (www.islamidia.com). Permasalaahan ini kemudian dapat diselesaikan dengan dibolehkannya siswa tersebut mengenakan jilbab saat belajar mengajar di dalam kelas. Menurut Kabid Advokasi Perhimpunan dan Pendidikan Guru (P2G), Iman Zanatul Haeri, kasus seperti itu dilakukan secara terstruktur dan bukan merupakan hal yang baru. Selain SD Impres Manokwari, dalam catatan P2G juga pernah terjadi di SMAN 1 Maumere 2017, bahkan jauh sebelumnya pada tahun 2014 juga sempat terjadi pada sekolah-sekolah di Bali (www.fokus.tempo.co).

Prospek Kebijakan SKB Tiga Menteri  

Multikulturalisme adalah sesuatu yang hidup dan dibutuhkan. Ia bisa saja terbentuk dari proses alamiah sebuah interaksi sosial yang sarat dengan nilai-nilai kearifan lokal. Meskipun demikian, pada titik tertentu perkembangan teknologi dan industrialisasi 4.0 menyebabkan terjadinya dinamika sosial yang lebih cepat, serta membentuk nilai baru yang kadang kala bergerser meninggalkan nilai lama yang telah menjadi kearifan lokal. Dalam kondisi seperti ini, diperlukan intervensi negara untuk membentuk dan merawat nilai-nilai multikulturalisme melalui perangkat kebijakan. Inilah yang dilakukan pemerintah dalam mereskponse pewajiban pemakaian seragam beratribut agama di Padang dan (potensi) pelarangan di berbagai daerah lainnya. Pada tanggal 3 Pebruari 2021 Pemerintah melalui tiga menterinya menerbitkan kebijakan berupa Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri (SKB Tiga Menteri) Nomor 02/KB/2021, Nomor 025-199 Tahun 2021, dan Nomor 219 Tahun 2021 Tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut Bagi Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan Pemerinta Daerah Pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Pengecualiannya adalah SKB ini tidak berlaku untuk Pemerintah Daerah dan Sekolah di Propinsi Aceh sesuai kekhususan Aceh berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait pemerintahan Aceh.

SKB Tiga Menteri ini ditandatangani oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Isinya mengatur bahwa Pemerintah Daerah maupun Sekolah tidak diperbolehkan mewajibkan atau melarang siswa mengenakan pakaian seragam beratribut agama. Aturan ini berlaku untuk sekolah negeri yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Berdasarkan SKB ini, baik peserta didik, pendidik, maupun tenaga kependidikan berhak memilih menggunakan seragam dan atribut tanpa kekhususan agama, juga menggunakan seragam dan atribut dengan kekhususan agama. Dengan demikian, hak untuk memakai atribut keagamaan melekat pada individu, bukan menjadi keputusan sekolah maupun pemerintah daerah. Sehingga Pemerintah Daerah dan sekolah tidak boleh mewajibkan ataupun melarang penggunaan seragam dan atribut dengan kekhususan agama oleh peserta didik, pendidik, maupun tenaga kependidikan.

Konsekwensi dari SKB tiga Menteri ini adalah, Pemerintah Daerah dan Kepala Sekolah harus mencabut aturan maupun ketentuan yang mewajibkan atau melarang penggunaan seragam dan atribut dengan kekhususan agama paling lama 30 hari kerja sejak keputusan bersama ini ditetapkan. Pelanggaran terhadap keputusan bersama ini berakibat pada penjatuhan sanksi secara berjenjang ke bawah. Pemerintah Kabupaten/Kota menjatuhkan sanksi kepada Sekolah, Gubernur sebagai wakil Pemerintah pusat menjatuhkan sanksi kepada Bupati dan Walikota, dan Menteri Dalam Negeri menjatuhkan sanksi kepada Gubernur, serta Kemnterian Pendidikan dan Kebudayaan menjatuhkan sanksi kepada Sekolah yang melakukan pelanggaran. Bentuk sanksinya juga beragam, dari mulai sanksi disiplin, teguran tertulis, dan sanksi lainnya seperti kebijakan terkait alokasi dana BOS serta bantuan pemerintah lain yang bersumber dari Kemendikbud. Penghentian sanksi dapat dipertimbangkan setelah Kementerian Agama melakukan pendampingan dan penguatan pemahaman keagamaan dan praktik beragama yang moderat ke pemda dan atau sekolah yang bersangkutan.

Bagaimana prospek efektivitas dari SKB Tiga Menteri ini dalam merawat dan menguatkan nilai-nilai multikulturalisme di sekolah, tentu saja waktu yang akan menjakwabnya. Meskipun demikian, prospek efektivitas kebijakan bisa dianalisa dengan pendekatan pemikiran teoritik Merilee S. Grindle bahwa dua faktor utama yang mempengaruhi efektif atau tidak efektifnya sebuah implementasi kebijakan publik, yaitu seperti apa konten-nya dan bagaimana konteks yang melatar belakangi pembuatan dan implementasi kebijakannya (Grindle 1980). Konten kebijakan dari SKB Tiga Menteri ini menempatkan isue multikultiralisme di sekolah sebagai substansi kebijakan. Melalui pelaksanaan kebijakan SKB ini diharapkan terjadi penguatan nilai-nilai multikulturalisme di sekolah. Meskipun akan menghadapi tantangan yang tidak mudah, mengingat pemerintah daerah dan sekolah sebagai implementator kebijakan pada saat yang sama menjadi bagian dari pelaku pengabaian atas nilai-nilai multikulturalisme di sekolah. Kondisi ini merupakan konteks yang akan mempengaruhi keefektifan dari implementasi kebijakan. Dalam hal ini, organisasi Perhimpunan Guru misalnya, meragukan SKB Tiga Menteri ini karena kendala pengawasan dan rumusan sanksi yang tidak jelas (www.cnnindonesia.com).

Keraguan Perhimpunan Guru ini masuk akal, mengingat bahwa isue sepenting ini hanya diatur dengan Surat Keputusan Bersama. Padahal cakupan area implementasi kebijakan-nya begitu luas, mencakup sekolah-sekolah negeri diseluruh pelosok tanah air. Wajar jika Perhimpunan Guru mempertanyakan nantinya siapa yang akan mengawasi serta memastikan sekolah menjalankan kebijakannya? Ini baru satu aspek teknokratis pengawasan, belum soal isi kebijakannya, bagaimana pula kesiapan perangkat SDM nya, serta dukungan budaya masyarakat.

Selain menggunakan teori implementasi kebijakan Grindle, prosepek keberhasilan SKB Tiga Menteri ini juga bisa dipotret dengan teori sistem hukum yang diperkenalkan oleh Friedman. Jika menggunakan tiga parameter sistem hukum dari teori Lawrence Friedman ini, maka prospek efektifitas kebijakan SKB Tiga Menteri ini dapat dilihat secara lebih kritis apakah pilihan bentuk dan isinya sedemikian rupa telah cukup ideal sebagai instrumen untuk membangun. merawat atau memperkuat nilai-nilai multikulturlalisme di sekolah ? Apakah masalah yang sangat mendasar seperti ini cukup hanya diatur dengan Surat Keputusan bersama? Bagaimana dengan struktur pelaksananya? Seperti apa pula kesiapan perangkat aparatur dalam penegakan SKB Tiga Menteri ini?

Sebelumnya telah disebutkan bahwa tantangan dari implementai kebijakan SKB Tiga Menteri ini adalah ketika pada saat yang sama Pemda dan Sekolah tertentu sebagai implementator kebijakannya adalah sekaligus sebagai pelaku kebijakan yang menjauhkan nilai-nilai mutikulturaisme. Padahal pada saat yang sama terdapat disparitas penyikapan dan pemahaman yang beragam di tengah-tengah masyarakat? Cukupkah internalisasi nilai-nilai multtikulturalisme ini ditanamkan dengan pendekatan sanksi, atau pembinaan yang sesederhana itu oleh Kementerian Agama? Bagaimana dengan masyarakat di luar sekolah? Siapa yang akan menggarap ini? Berbagai pertanyaan kritis ini bisa menuntun kita pada potret efektivitas kebijakan SKB Tiga Menteri ini pada masa yang akan datang, mengingat untuk menilai kebijakan memerlukan waktu yang patut bagi kebijakan dimaksud untuk diimplementasikan terlabih dahulu.

Kesimpulan

Multikulturlisme adalah paham yang mengakui keberagaman kultural sebagai kenyataan. Dimensi multikulturalisme bersifat tradisional  seperti  keberagaman  suku,  ras,  dan  agama,  ataupun berdimensi bentuk-bentuk kehidupan (subkultur)  yang  muncul dalam kehidupan masyarakat. Multikulturwlisme menjadi syarat penting terjadinya hubungan interkultural yang harmoni dalam sebuah negara. Oleh karena itu, sekolah sebagai tempat pendidikan generasi muda menjadi arena sangat penting untuk menanamkan dan menyebarluaskan pemahaman ini.

Praktik-praktik yang menjauh dari nilai multikulturalisme di sekolah menimbulkan pragmentasi sosial yang tidak hanya mengancam harmoni tetaapi sekaligus berpotensi menimbulkan pergesekan dan konflik. Response pemerintah melalui penerbitan kebijakan berupa SKB Tiga Menteri Nomor 02/KB/2021, Nomor 025-199 Tahun 2021, dan Nomor 219 Tahun 2021 Tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut Bagi Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan Pemerinta Daerah Pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, adalah upaya untuk menanamkan dan merawat kembali nilai-nilai multikulutalisme di sekolah, meskipun pilihan format dan isinya masih terbatas. Pada saat yang sama, tantangan yang dihadapi juga tidak mudah, mengingat pemerintah daerah dan sekolah merupakan sebagai implementator juga berkeduduka sebagai pihak yang selama ini terkait dengan praktik-praktik menjauhi multikultualisme itu sendiri. Di sisi lain, masih banyak ditemukan budaya hukum masyarakat yang sebagian masih belum sejalan dengan tujuan kebijakan tersebut menjadikan peluang efektivitas kebijakan SKB Tiga Menteri ini masih harus menghadapi tantangan yang berat dan jalan yang berliku.

Oleh karena itu, kedepan dari sisi format, isi dan subtansi hukum yang terkandung dalam SKB 3 Menteri ini perlu dilakukan penguatan. Demikian juga struktur, SDM dan sarana untuk mendukung implementasi kebijakan ini perlu disuapkan sedemikian rupa. Pemerintah bisa lebih proaktif melakukan penyiapan dan pengembangan struktur dan SDM untuk mendukung impleentasi kebijakan ini. Terakhir, pada bagian paling mendasar, internalisasi niai-nilai multikulturalisme perlu ditanamkan melalui disain program yang lebih strategis dan sistematis, termasuk penggalangan counter discourse di berbagai platform media sosial untuk mengimbangi penyebaran konservatisme dan praghmatisme di masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad W, R Willya dkk (2019), Potret Generasi Milenial Pada Era Revolusi Industri4.0, Jurnal Pekerjaan Sosial, Vo.2 No.2, hal 187-197, Desember 2019.

Grindle, Merilee S 1980, Politics and Policy Implementation in the Third World, Princeton University Press, New Jersey.

Hadi, Usman (2018), Ada Laporan Siswi Muslim Wajib Berjilbab, ORI Datangi SMPN 8 Yogya, https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-4205530/ada-laporan-siswi-muslim-wajib-berjilbab-ori-datangi-smpn-8-yogya, 10 September 2018, diakses 06/04 /2021, Pukul 14.23 WIB

Hayadin (2017), Layanan Pendidikan Agama Sesuai Agama Siswa di Sekolah, Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan, 15 (1), 2017, 13-31

Irhandayaningsih, Ana, Dra, Msi, Ana (2012), Kajian Filosofis Terhadap Multikulturalisme Indonesia, Jurnal Humanika, 1 Januari 2021

Ismayawati, Any (2011), Pengaruh Hukum Terhadap Pembangunan Hukum di Indonesia (Kritik Terhadap Lemahnya Budaya Hukum di Indonesia), Jurnal Pranata Hukum Volume 6 No.1, Januari 2011

Matsumoto, David dan Linda Juang (2008), Culture and Psychology, USA: Wadsworth

Muthahhari, Terry (2017), Survei UIN Jakarta: Intoleransi Tumbuh di Banyak Sekolah dan Kampus, https://tirto.id/survei-uin-jakarta-intoleransi-tumbuh-di-banyak-sekolah-dan-kampus-czQL, 8 Nopember 2017, diakses 06/04/2021, Pukul 14.53 WIB

Baca selengkapnya di artikel "Survei UIN Jakarta: Intoleransi Tumbuh di Banyak Sekolah dan Kampus", https://tirto.id/czQL

PPIM UIN Jakarta, Survey PPIM: Internet, Pemerintah, dan Pembentukan Sikap Keberagamaan Generasi Z, https://ppim.uinjkt.ac.id/2018/11/11/survey-ppim-internet-pemerintah -dan-pembentukan-sikap-keberagamaan-generasi-z/, diakses 06/04/2021, Pukul 14.59 WIB

Putra, Perdana, 2021, Siswi SMK Negeri di Padang Wajib Pakai Jilbab, Orangtua Protes dan Datangi Sekolah, https://regional.kompas.com/read/2021/01/22/20422781/siswi-smk-negeri-di-padang-wajib-pakai-jilbab-orangtua-protes-dan-datangi, diakses 31/03/2021 pukul 11.55 WIB

Rozaby, Uky Dzatalini (2018), Apatisme Generasi Milenial Terhadap Politik (Studi Kasus Kodok Alas Pada Pilgub Jatim 2018, Skripsi UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2018

Setyawan,Silvy Dian (2018),  SMPN 8 Yogya Bantah Wajibkan Siswinya Pakai Jilbab, https://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/18/09/11/pew4id291-smpn-8-yogya-bantah-wajibkan-siswinya-pakai-jilbab, 11 September 2018, diakses 06/04/2021, Pukul 14.29 WIB

__________,  SD Inpres di Manokwari Larang Siswi Berhijab di Kelas   https://islamidia.com/ sd-inpres-di-manokwari-larang-siswi-berhijab-di-kelas/, 8 Desember 2019, diakses 31/03/2021, 12.14 WIB

___________, Menjaring Praktik Intoleransi di Lingkungan Sekolah, https://fokus.tempo.co/ read/1426467/menjaring-praktik-intoleransi-di-lingkungan-sekolah, Senin, 25 Januari 2021, diakses 31/03/2021 Pukul 12/41  

____________, Perhimpunan Guru Ragu Efektivitas SKB Seragam Sekolah, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210204131643-20-602212/ perhimpunan-guru-ragu-efektivitas-skb-seragam-sekolah, Jumat, 05 Februari 2021, diakses 01/04/2021 Pukul 01.10 WIB

___________, Siswi SMPN 8 Yogyakarta Wajib Berjilbab, Ini Kata Ombudsman  https://www.liputan6.com/regional/read/3889546/siswi-smpn-8-yogyakarta-wajib-berjilbab-ini-kata-ombudsman, diakses 06/04/2021 Pukul 14.33 WIB

___________, SMP 8 Revisi Tata Tertib Seragam, https://radarjogja.jawapos.com/jogja-raya/2019/02/14/smp-8-revisi-tata-tertib-seragam/,  14 February 2019, diakses 06/04/2021, Pukul 14.37 WIB

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun