Mohon tunggu...
Budhi Masthuri
Budhi Masthuri Mohon Tunggu... Seniman - Cucunya Mbah Dollah

Masih Belajar Menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tantangan Multikulturalisme di Sekolah

14 April 2021   14:29 Diperbarui: 14 April 2021   14:34 2082
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber:https://mengeja.id/

Dalam kehidupan warga negara dengan ragam suku, agama, dan budaya senantiasa terjadi interaksi yang bersifat interkultural, baik pada ruang publik maupun ruang privat. Kualitas relasi sosial yang dihasilkan dari proses interaksi ini sangat ditentukan oleh pemahaman, kedalaman, bahkan penjiwaan terhadap berbagai aspek multikulturalisme yang melekat dan dimiliki oleh masing-masing subklutur. Tantangannya adalah bagaimana antar warga negara mampu dan bersedia menerima perbedaan, tidak hanya sekadar sebagai "saya berbeda dengan kamu", tetapi juga bersedia menempatkan karakter kultural yang dimiliki warga lain sebagai sebuah keunikan yang  diterima dan memperoleh ruang aktualisasi yang sama dalam arena sosial yang ada.

Kemampuan komunikasi dan interaksi interkultural ini perlu dibangun sejak usia sekolah. Kemampuan ini diperlukan agar nilai-nilai multikulturalisme tertanam dan terawat dengan baik di antara warga negara sehingga menjadi modal sosial penopang kekuatan bangsa. Oleh karena itu, selain wadah untuk mencerdaskan anak-anak bangsa, sekolah pada dasarnya juga berfungsi sebagai inkubator untuk menyemai dan membesarkan benih-benih multikulturalisme dalam diri bangsa Indonesia.

Seragam Sekolah dan Tantangan Multikulturalisme

Loncatan teknologi di era industraliasi 4.0 membawa perubahan nilai-nilai sosial. Ekses dari loncatan ini membentuk pragmatisme, bahkan apatisme sosial politik warga terhadap hal-hal yang sifatnya subtansial. Penelitian yang dilakukan Rozaby menemukan bahwa masyarakat milenial di era industrialisasi 4.0 memiliki kecenderungan  apatis dalam hal pilihan politik, dan mereka baru akan menentukannya pada menit menit terakhir (Rozaby,2018).  Setiap orang juga dituntut untuk berpikir dan bertindak cepat di tengah terpaan informasi sedemikian rupa, sehingga sebagian generasi milenial ini mau tidak mau ikut dalam perkembangan teknologi (Ahmad W dkk, 2019) daripada perkembangan sosial politik

Industrialisasi 4.0 juga menyebabkan suburnya konservatisme terhadap pemahaman agama, dengan sebaran yang sangat luas dan perkembangan yang cukup pesat, termasuk sampai ke sekolah-sekolah. Berbagai survey mengkonfirmsi hal ini, sebutlah misalnya survey yang dilakukan oleh  PPIM UIN Jakarta bertajuk "Internet, Pemerintah, dan Pembentukan Sikap Keberagamaan Generasi Z", menjelaskan paling tidak ada tiga faktor utama yang memengaruhi sikap keberagamaan seseorang, yakni pengajaran yang diberikan oleh guru atau mentor agamanya, sumber pengetahuan agama yang ada di Internet, dan performa pemerintah selama tiga tahun belakangan (www.ppim.uinjkt.ac.id). Survei ini menyimpulkan pengaruh intoleransi dan radikalisme di kalangan generasi Z Indonesia, yakni mereka yang lahir setelah 1995, dapat dikatakan dalam kondisi seperti "api dalam sekam" (www.tirto.id). Penelitian lain yang dilakukan oleh Balai Litbang Agama Makassar, juga menemukan bahwa layanan pendidikan agama di sekolah-sekolah yayasan atau organisasi keagamaan, hanya memberikan layanan pendidikan agama yang menjadi ciri khas yayasan. Hal in terjadi di sekolah Yayasan Islam maupun Kristen (Hyadin, 2017)

Dua sisi realita sosial tersebut memberikan penjelasan kepada kita mengapa pelarangan dan pewajiban pemkaian sergam beratribut agama di sekolah, bahkan terhadap siswa non muslim bisa terjadi. Di Padang, Sumatera Barat misalnya, pada awal Januari 2021 beredar  sebuah video adu argumen antara orangtua siswa dengan Wakil Kepala SMK Negeri 2 Padang, Sumatera Barat tentang pewajiban bagi siswi untuk mengenakan pakaian jilbab yang juga berlaku bagi siswi non-muslim. Video berdurasi 15 menit 24 detik ini kemudian viral dan menjadi atensi banyak pihak, termasuk pemerintah (www.regional.kompas.com). Sebelumnya, hal yang hampier sama juga terjadi di SMN N 8 Yogyakarta. Orang Tua siswi keberatan anaknya diwajibkan memakai seragam beratribut agama di sekolahnya, yang ini bahkan mengalami perlakuan bulliying terselubung sehingga berujung pada pelaporan kepada lembaga pengawas pelayanan publik, Ombudsman RI (www.detik.com). Meskipun Kepala Sekolah membantah adanya pewajiban tersebut (www.republika.co.id), namun hasil investigasi Ombudsman RI menunjukkan bahwa tata tertib sekolah memberikan peluang bagi terjadinya pewajiban (www.liputan6.com). Kasus inipun akhirnya selesai dengan Kepala Sekolah merevisi tata tertib dan Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta mereview kembali seluruh tata tertib sekolah berkenaan penggunaan seragam beratribut agama (www.radarjogja.jawapos.com).

Sebaliknya, pelarangan pemakaian seragam beratribut agama juga terjadi di propinsi lainnya. Pada akhir tahun 2019 orangtua murid SD Inpres 22 Manokwari, Papua Barat, memprotes aturan sekolah yang melarang siswi mengenakan hijab saat jam belajar di kelas (www.islamidia.com). Permasalaahan ini kemudian dapat diselesaikan dengan dibolehkannya siswa tersebut mengenakan jilbab saat belajar mengajar di dalam kelas. Menurut Kabid Advokasi Perhimpunan dan Pendidikan Guru (P2G), Iman Zanatul Haeri, kasus seperti itu dilakukan secara terstruktur dan bukan merupakan hal yang baru. Selain SD Impres Manokwari, dalam catatan P2G juga pernah terjadi di SMAN 1 Maumere 2017, bahkan jauh sebelumnya pada tahun 2014 juga sempat terjadi pada sekolah-sekolah di Bali (www.fokus.tempo.co).

Prospek Kebijakan SKB Tiga Menteri  

Multikulturalisme adalah sesuatu yang hidup dan dibutuhkan. Ia bisa saja terbentuk dari proses alamiah sebuah interaksi sosial yang sarat dengan nilai-nilai kearifan lokal. Meskipun demikian, pada titik tertentu perkembangan teknologi dan industrialisasi 4.0 menyebabkan terjadinya dinamika sosial yang lebih cepat, serta membentuk nilai baru yang kadang kala bergerser meninggalkan nilai lama yang telah menjadi kearifan lokal. Dalam kondisi seperti ini, diperlukan intervensi negara untuk membentuk dan merawat nilai-nilai multikulturalisme melalui perangkat kebijakan. Inilah yang dilakukan pemerintah dalam mereskponse pewajiban pemakaian seragam beratribut agama di Padang dan (potensi) pelarangan di berbagai daerah lainnya. Pada tanggal 3 Pebruari 2021 Pemerintah melalui tiga menterinya menerbitkan kebijakan berupa Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri (SKB Tiga Menteri) Nomor 02/KB/2021, Nomor 025-199 Tahun 2021, dan Nomor 219 Tahun 2021 Tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut Bagi Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan Pemerinta Daerah Pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Pengecualiannya adalah SKB ini tidak berlaku untuk Pemerintah Daerah dan Sekolah di Propinsi Aceh sesuai kekhususan Aceh berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait pemerintahan Aceh.

SKB Tiga Menteri ini ditandatangani oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Isinya mengatur bahwa Pemerintah Daerah maupun Sekolah tidak diperbolehkan mewajibkan atau melarang siswa mengenakan pakaian seragam beratribut agama. Aturan ini berlaku untuk sekolah negeri yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Berdasarkan SKB ini, baik peserta didik, pendidik, maupun tenaga kependidikan berhak memilih menggunakan seragam dan atribut tanpa kekhususan agama, juga menggunakan seragam dan atribut dengan kekhususan agama. Dengan demikian, hak untuk memakai atribut keagamaan melekat pada individu, bukan menjadi keputusan sekolah maupun pemerintah daerah. Sehingga Pemerintah Daerah dan sekolah tidak boleh mewajibkan ataupun melarang penggunaan seragam dan atribut dengan kekhususan agama oleh peserta didik, pendidik, maupun tenaga kependidikan.

Konsekwensi dari SKB tiga Menteri ini adalah, Pemerintah Daerah dan Kepala Sekolah harus mencabut aturan maupun ketentuan yang mewajibkan atau melarang penggunaan seragam dan atribut dengan kekhususan agama paling lama 30 hari kerja sejak keputusan bersama ini ditetapkan. Pelanggaran terhadap keputusan bersama ini berakibat pada penjatuhan sanksi secara berjenjang ke bawah. Pemerintah Kabupaten/Kota menjatuhkan sanksi kepada Sekolah, Gubernur sebagai wakil Pemerintah pusat menjatuhkan sanksi kepada Bupati dan Walikota, dan Menteri Dalam Negeri menjatuhkan sanksi kepada Gubernur, serta Kemnterian Pendidikan dan Kebudayaan menjatuhkan sanksi kepada Sekolah yang melakukan pelanggaran. Bentuk sanksinya juga beragam, dari mulai sanksi disiplin, teguran tertulis, dan sanksi lainnya seperti kebijakan terkait alokasi dana BOS serta bantuan pemerintah lain yang bersumber dari Kemendikbud. Penghentian sanksi dapat dipertimbangkan setelah Kementerian Agama melakukan pendampingan dan penguatan pemahaman keagamaan dan praktik beragama yang moderat ke pemda dan atau sekolah yang bersangkutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun