Saya tahu, salah satu pendiri Harian Kompas—tempat Kompasiana bernaung—Bapak Jakob Oetama, sebelumnya juga pernah menjadi seorang guru sebelum terjun ke dunia jurnalistik dan bisnis media. Beliau memulai karernya sebagai pengajar, lalu bertransformasi menjadi tokoh pers nasional yang berpengaruh.
Karenanya, saya memilih menulis tentang Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di Kompasiana, bukan di media lainnya. Bagi saya, Kompasiana bukan sekadar platform berbagi tulisan, tetapi juga ruang refleksi yang menghargai nilai-nilai pendidikan, jurnalisme, dan kebudayaan.Â
Menulis di sini terasa lebih bermakna, seolah menyambung semangat awal pendirinya: mendidik lewat tulisan, menyuarakan harapan lewat kata.
Untuk pertama kalinya, saya mengikuti Konferensi Cabang (Konfercab) XXIII PGRI yang diselenggarakan di SMP Negeri 50 Samarinda. Hampir tiga puluh tahun menjadi guru, baru kali ini saya bisa turut serta dalam konferensi guru yang diadakan oleh PGRI. Bukan tidak mau hadir, tetapi memang tidak pernah diundang atau dikirim oleh sekolah untuk mewakili guru.
Setiap kali bulan November datang, aroma nostalgia pendidikan terasa lebih kuat. Hari Guru Nasional, yang jatuh pada 25 November, bukan sekadar seremoni tahunan. Ia adalah momen refleksi, harapan, dan kadang juga keluhan. Di tengah semua itu, satu nama organisasi selalu muncul: PGRI—Persatuan Guru Republik Indonesia.
Guru Bukan Sekadar Pengajar
Sebagai wadah perjuangan dan suara pendidik, PGRI punya sejarah panjang. Ia lahir dari semangat kemerdekaan, dari tekad para guru untuk tidak hanya mengajar, tapi juga memperjuangkan martabat profesi.Â
Tapi di tengah zaman yang makin kompleks, harapan terhadap PGRI pun ikut bertambah. Kadang terlalu banyak, kadang terlalu berat. Guru hari ini bukan lagi sekadar penyampai materi. Mereka adalah fasilitator, motivator, bahkan kadang menjadi orang tua kedua.
Di kelas, mereka menghadapi anak-anak dengan latar belakang beragam: dari yang lapar karena belum sarapan, sampai yang stres karena tekanan rumah. Di luar kelas, mereka dituntut mengisi laporan, menghadiri pelatihan, dan mengikuti perubahan kurikulum yang kadang datang seperti badai.
Dalam situasi ini, PGRI seharusnya hadir bukan hanya sebagai organisasi formal, tapi sebagai ruang aman. Tempat curhat, tempat belajar, tempat berjuang bersama. Bukan sekadar menggelar seminar atau lomba, tapi juga mendampingi guru yang kesulitan, memperjuangkan hak yang belum terpenuhi, dan menyuarakan kebijakan yang berpihak.
Harapan yang Tumbuh dari Bawah
Sebagai warga biasa yang pernah merasakan bangku sekolah negeri, anggota PGRI biasa yang bukan elit, saya melihat guru sebagai pahlawan yang sering kali kesepian.Â
Mereka berdiri di depan kelas dengan senyum, padahal di baliknya ada gaji yang belum cukup, beban kerja yang menumpuk, dan kadang minim apresiasi. Di sinilah PGRI seharusnya menjadi pelindung, bukan sekadar pelengkap.
Saya berharap PGRI bisa lebih aktif mendengar suara dari bawah. Bukan hanya dari pengurus pusat atau daerah, tapi dari guru-guru di pelosok, yang mengajar di sekolah dengan atap bocor dan sinyal internet yang nyaris tak ada.Â
Mereka yang tetap setia mengajar meski statusnya masih honorer, meski gaji datang telat, meski kadang harus merangkap jadi penjaga sekolah, operator dapodik, bahkan tenaga tata usaha sekolah.
PGRI sebagai Ruang Belajar
Selain menjadi wadah perjuangan, PGRI juga bisa menjadi ruang belajar yang menyenangkan. Bayangkan kalau setiap cabang PGRI punya komunitas baca, diskusi pendidikan, atau bahkan kelas menulis untuk guru. bukan hanya soal kurikulum, tapi juga soal refleksi, soal bagaimana menjadi guru yang utuh—yang tidak hanya pintar, tapi juga sehat secara mental dan emoisional.
Guru juga manusia biasa. Mereka butuh ruang yang berkembang, untuk merasa dihargai, untuk saling menguatkan. PGRI bisa menjadi tempat itu. Tempat di mana guru bisa saling berbagi cerita, saling menyemangati, dan saling belajar tanpa rasa takut dinilai.Â
Jangan Terjebak Seremoni
Saya tahu, PGRI sering kali sibuk dengan agenda-agenda resmi. Tapi semoga tidak terjebak dalam seremoni belaka. Guru tidak butuh panggung megah, mereka butuh perubahan nyata. Butuh kebijakan yang berpihak, pelatihan yang relevan, dan sistem yang menghargai kerja keras mereka.
Kalau boleh jujur, banyak guru yang merasa PGRI hanya aktif saat Hari Guru atau saat ada lomba. Atau saat menarik iuran PGRI ke sekolah-sekolah, yang kemudian disetorkan kepada bendahara pengurus PGRI. Padahal, harapan terhadap PGRI jauh lebih besar daripada itu.
Kita ingin PGRI hadir saat guru kesulitan mengurus sertifikasi, saat ada ketidakadilan dalam penempatan, atau saat ada kebijakan yang membingungkan. PGRI diharapkan dapat berperan aktif dalam menjembatani berbagai persoalan yang dihadapi guru, termasuk memberikan pendampingan dalam advokasi hukum apabila seorang guru tersandung masalah hukum dalam menjalankan tugasnya.
Menjadi Teman, Bukan Sekadar Organisasi
Di masa depan, saya membayangkan PGRI bukan hanya sebagai organisasi profesi, tapi sebagai teman sejati para guru. Teman yang mendengar, yang hadir, yang berjuang bersama. Teman yang tidak hanya bicara di atas, tapi juga turun ke bawah, menyapa, dan memahami.
Karena guru adalah fondasi bangsa. Dan fondasi itu harus kuat, harus dijaga, harus dirawat. PGRI punya peran besar dalam merawat itu semua. Bukan dengan janji, tapi dengan aksi. Bukan dengan seremoni, tapi dengan empati.
Penutup: Harapan yang Tak Pernah Padam
Saya tahu, harapan ini mungkin terdengar berlebihan. Tapi bukankah harapan adalah bahan bakar perubahan? Selama masih ada guru yang mengajar dengan hati, selama masih ada anak-anak yang belajar dengan semangat, maka harapan terhadap PGRI akan tetap menyala.Â
Semoga PGRI bisa menjawab harapan itu. Dengan kerja nyata, dengan keberpihakan, dan semangat yang sama seperti saat pertama kali lahir: memperjuangkan guru, demi masa depan bangsa.Â
PGRI bukan sekadar organisasi, melainkan cerminan harapan para guru yang ingin didengar, dihargai, dan diperjuangkan. Saya percaya, perubahan besar selalu dimulai dari obrolan kecil.Â
Jadi, bagaimana menurut Anda? Apakah PGRI sudah cukup hadir dalam kehidupan para guru, atau masih ada ruang untuk lebih dekat dan lebih peduli? Mari kita diskusikan bersama—karena suara guru layak didengar, dan harapan guru tak boleh dibiarkan sendiri. (*)
Penulis: Riduannor
Samarinda, 12 Oktober 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI