Mereka berdiri di depan kelas dengan senyum, padahal di baliknya ada gaji yang belum cukup, beban kerja yang menumpuk, dan kadang minim apresiasi. Di sinilah PGRI seharusnya menjadi pelindung, bukan sekadar pelengkap.
Saya berharap PGRI bisa lebih aktif mendengar suara dari bawah. Bukan hanya dari pengurus pusat atau daerah, tapi dari guru-guru di pelosok, yang mengajar di sekolah dengan atap bocor dan sinyal internet yang nyaris tak ada.Â
Mereka yang tetap setia mengajar meski statusnya masih honorer, meski gaji datang telat, meski kadang harus merangkap jadi penjaga sekolah, operator dapodik, bahkan tenaga tata usaha sekolah.
PGRI sebagai Ruang Belajar
Selain menjadi wadah perjuangan, PGRI juga bisa menjadi ruang belajar yang menyenangkan. Bayangkan kalau setiap cabang PGRI punya komunitas baca, diskusi pendidikan, atau bahkan kelas menulis untuk guru. bukan hanya soal kurikulum, tapi juga soal refleksi, soal bagaimana menjadi guru yang utuh—yang tidak hanya pintar, tapi juga sehat secara mental dan emoisional.
Guru juga manusia biasa. Mereka butuh ruang yang berkembang, untuk merasa dihargai, untuk saling menguatkan. PGRI bisa menjadi tempat itu. Tempat di mana guru bisa saling berbagi cerita, saling menyemangati, dan saling belajar tanpa rasa takut dinilai.Â
Jangan Terjebak Seremoni
Saya tahu, PGRI sering kali sibuk dengan agenda-agenda resmi. Tapi semoga tidak terjebak dalam seremoni belaka. Guru tidak butuh panggung megah, mereka butuh perubahan nyata. Butuh kebijakan yang berpihak, pelatihan yang relevan, dan sistem yang menghargai kerja keras mereka.
Kalau boleh jujur, banyak guru yang merasa PGRI hanya aktif saat Hari Guru atau saat ada lomba. Atau saat menarik iuran PGRI ke sekolah-sekolah, yang kemudian disetorkan kepada bendahara pengurus PGRI. Padahal, harapan terhadap PGRI jauh lebih besar daripada itu.
Kita ingin PGRI hadir saat guru kesulitan mengurus sertifikasi, saat ada ketidakadilan dalam penempatan, atau saat ada kebijakan yang membingungkan. PGRI diharapkan dapat berperan aktif dalam menjembatani berbagai persoalan yang dihadapi guru, termasuk memberikan pendampingan dalam advokasi hukum apabila seorang guru tersandung masalah hukum dalam menjalankan tugasnya.
Menjadi Teman, Bukan Sekadar Organisasi
Di masa depan, saya membayangkan PGRI bukan hanya sebagai organisasi profesi, tapi sebagai teman sejati para guru. Teman yang mendengar, yang hadir, yang berjuang bersama. Teman yang tidak hanya bicara di atas, tapi juga turun ke bawah, menyapa, dan memahami.
Karena guru adalah fondasi bangsa. Dan fondasi itu harus kuat, harus dijaga, harus dirawat. PGRI punya peran besar dalam merawat itu semua. Bukan dengan janji, tapi dengan aksi. Bukan dengan seremoni, tapi dengan empati.
Penutup: Harapan yang Tak Pernah Padam
Saya tahu, harapan ini mungkin terdengar berlebihan. Tapi bukankah harapan adalah bahan bakar perubahan? Selama masih ada guru yang mengajar dengan hati, selama masih ada anak-anak yang belajar dengan semangat, maka harapan terhadap PGRI akan tetap menyala.Â