Penurunan drastis Transfer Keuangan Daerah (TKD) bukan sekadar angka di neraca APBD. Ia adalah sinyal keras bahwa era "menunggu kucuran pusat" telah usai.Â
Penurunan transfer keuangan daerah di sebabkan oleh relokasi anggaran pusat ke program prioritas nasional, efisiensi belanja, dan evaluasi kinerja daerah.Â
Pemerintah mengalihkan sebagian dana ke menterian teknis dan program strategis seperti Makan bergizi Gratis (MBG), serta menerapkan insentif dan disinsetif berdasarkan penggunaan anggaran daerah.
Pemerintah pusat memfokuskan anggaran pada program strategis seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), yang menyerap hampir setengah anggaran pendidikan 2026 (Rp335 triliun).Â
Akibatnya alokasi untuk TKD dalam RAPBN 2026 turun drastis menjadi Rp650 triliun, terendah sejak 2015. Untuk menjaga defisit anggaran tetap di bawah 3 persen dari PDB, pemerintah melakukan penyesuaian belanja, termasuk memangkas TKD sebesar 24-29 persen dari tahun sebelumnya.
Pemerintah daerah, terutama yang selama ini bergantung pada TKD untuk membiayai layanan dasar, pembangunan infrastruktur, dan program sosial, kini dihadapkan pada tantangan eksistensial: bagaimana bertahan, berinovasi, dan tetap melayani masyarakat dengan anggaran yang jauh lebih ramping?
TKD Menyusut: Gejala atau Gejolak?
Ketika TKD menyusut, banyak pemerintah daerah merasa seperti kehilangan oksigen fiskal.
Padahal, di balik angka yang mengecil, ada peluang untuk memperbesar akal, memperkuat kolaborasi dan memperdalam kepercayaan publik.Â
TKD selama ini menjadi tulung punggung fiskal bagi banyak daerah, terutama yang belum memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang kuat.