Mohon tunggu...
Riduannor
Riduannor Mohon Tunggu... Guru - Penulis

Citizen Journalism

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Suka Duka Mengajar di SD Inpres Daerah Transmigrasi

1 Oktober 2022   07:46 Diperbarui: 1 Oktober 2022   08:55 1226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kondisi SD Inpres (KOMPAS/BONY ARIYANTO NUGROHO)

SD Inpres merupakan warisan peninggalan presiden Soeharto di bidang pendidikan. Dari program Sekolah Dasar Intruksi Presiden No.6/1974, 14 Mei 1974 maka di bangunlah ribuan SD inpres di seluruh Indonesia.

Di bangunnya berbagai sekolah dasar di pelosok daerah yang baru dibuka, seperti daerah transmigrasi menjadikan peluang bagi setiap orang mengikuti tes CPNS guru mengisi formasi daerah transmigrasi.

Berdasarkan pengalaman penulis mengajar di daerah transmigrasi, setiap Unit pemukiman Transmigrasi (UPT) didirikan sebuah sekolah SD Inpres. 

Di zaman Pak harto, kalau mau jadi guru PNS memang harus bersedia tugas di daerah-daerah transmigrasi yang disediakan formasi sampai dengan 3-6 orang guru CPNS sesuai kebutuhan.

Rata-rata, memang guru yang mengajar di SD Inpres daerah Transmigrasi kebanyakan masih honor, dan pendidikannya masih SMA. Sehingga untuk diangkat jadi CPNS Guru pun belum memenuhi syarat. 

Memang tidak semua orang mau menjadi guru di SD Inpres, karena lokasinya yang jauh dari perkotaan. Bahkan harus merantau ke daerah lainnya. Sementara peluang menjadi guru berstatus CPNS di daerah perkotaan sudah hampir tidak ada. 

Penulis mengikuti tes CPNS mengisi formasi daerah kabupaten Berau di tahun 1997. Jarak tempuh perjalanan melalui laut sekitar 15-16 jam. Dulu, hanya ada perjalanan melalui laut menggunakan KM Teratai prima, KM teratai 1 dan 2, sekitar tahun 1997-2000.

Seiring waktu, jalur darat dibuka, melalui jalur perusahaan kayu. Dengan jalan yang masih pengerasahan, sehingga bila musim hujan jalan berlumpur. Dan banyak kendaraan yang terjebak, bahkan bermalam di dalam hutan.

Tahun 1998, penulis menerima nota dinas untuk di tempatkan di daerah transmigrasi. Sebuah perkampungan yang baru dibuka kurang lebih 2-4 tahun. 

Kampung tersebut di keliling oleh hutan belantara. Di sana terdapat rumah kopel yang berfungsi sebagai mess bagi para karyawan ataupun pegawai transmigrasi. 

Saat penulis masuk di sana, terdapat petugas transmigrasi dan ka.UPT, Penyuluh lapangan keluarga berencana (PLKB), babinsa, mantri dan seorang bidan desa. 

Penulis datang bersama beberapa guru lainnya, yang terdiri dari 3 orang guru kelas dan 1 orang guru agama islam.

Ruang kelas SD Inpres hanya terdiri atas 3 ruang kelas, dan satu ruang kantor juga di skat untuk membuat sebuah kelas.

SD Inpres terlihat satu-satunya bangunan beton yang berdiri megah. Bangunan tersebut masih terlihat baru. Murid yang bersekolah di SD Inpres ini tidak banyak. Hanya mencapai sekitar 25 orang. Dan per kelasnya hanya mencapai 5-6 orang saja dari kelas 1-6.

Yang namanya daerah transmigrasi, tidak hanya terdiri atas satu suku. Tapi terdiri dari multi etnis. Di daerah transmigrasi penulis bertugas ada suku sunda, lombok, timor, dan dari suku jawa.

Dengan berbagai latar belakang budaya ini, memang terkadang terjadi gesekan, namun bisa di selesaikan oleh para tetua atau tokoh adat dan kepala suku di masing-masing suku.

Mengajar di daerah transmigrasi, yang penulis hadapi adalah dari segi komunikasi. Karena kebanyakan anak, masih membawa bahasa daerahnya masing-masing. 

Selain itu masih minimnya seragam sekolah, sehingga anak-anak bersekolah kebanyakan memakai baju seragam merah putih yang sudah kumal. dan mengenakan sendal jepit. Memang anak-anak di daerah transmigrasi tidak dituntut macam-macam, yang penting ada kemauan bersekolah.

Alam yang gersang dan berbatu

Kebetulan daerah transmigrasi tempat saya bertugas, selain dikeliling hutan, daerah berbatu. Ada satu anak sungai satu-satunya yang berada di daerah tersebut, yang menjadi sumber kebutuhan warga masyarakat untuk mandi, cuci dan kakus. 

Tinggal di daerah transmigrasi, jangan berharap semua kebutuhan terpenuhi, ada fasilitas air bersih, lampu penerangan dan listrik yang tersedia 24 jam. 

Bila musim kemarau datang, anak sungai tersebut airnya kering. Sehingga semua warga kalang kabut disibukkan untuk mencari air ke desa terdekat yang mempunyai anak sungai yang tidak pernah kering. Perlu waktu sekitar 1-2 Km berjalan kaki untuk mengangkut air. 

Sebagai guru yang masih baru dan bertugas di daerah transmigrasi, lambat laun mulai bisa menyesuaikan diri, dengan keadaan dan lingkungan sekitar. 

Menjadi guru di daerah transmigrasi, memang mempunyai kenangan yang berkesan. Suka dan duka mengajar di sebuah SD Inpres yang dicanangkan di zaman orde baru, di tengah serba keterbatasan (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun