Mohon tunggu...
Blasius P. Purwa Atmaja
Blasius P. Purwa Atmaja Mohon Tunggu... Guru - Praktisi Pendidikan dan Pembelajar

Staf Pengajar di Yayasan TNH Kota Mojokerto. Kepala Sekolah SMP Taruna Nusa Harapan Kota Mojokerto. Kontributor Penulis Buku: Belajar Tanpa Jeda. Sedang membentuk Ritual Menulis. Email: blasius.tnh@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Jalan Licin menuju Cita-cita (1)

13 Mei 2015   07:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:06 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika melihat anak-anak SD di Garut yang didatangi Komunitas 1000Guru dalam acara 360 di MetroTV, saya jadi teringat masa kecil saya. Dalam acara TV tersebut anak-anak SD itu digambarkan mempunyai latar belakang keluarga yang kurang mampu. Berdasarkan penurutan sang Kepala Sekolah, rata-rata pekerjaan orang tua mereka adalah buruh tani. Ada juga yang berprofesi sebagai buruh pikul, mengangkut hasil pertanian dari daerah pedalaman ke tepi jalan yang bisa dilalui kendaraan.

Saya dan teman-teman SD saya dulu juga berasal dari daerah pedesaan seperti anak-anak itu. Bedanya, saya masih lebih beruntung karena rata-rata para orang tua di kampung saya mempunyai lahan pertanian sendiri. Mereka pemilik lahan bukan hanya buruh. Sayangnya, pengetahuan tentang manajemen penggarapan lahan tidak mereka miliki, sehingga sama saja miskinnya.

Kalau di Garut itu banyak anak yang ke sekolah dengan berjalan kaki, hal yang sama juga saya rasakanketika di SD. Bedanya, mereka ada yang berjalan sejauh 8km, kalau saya hanya 2km. Kalau dihitung pulang pergi, mereka bisa menempuh 16 km, saya hanya 4 km. Meskipun hanya berjalan 4 km, kadang-kadang saya juga merasa sangat lelah. Terutama saat musim penghujan. Perjalanan menempuh jarak 2 km itu saya rasakan sangat berat. Jangan membayangkan bahwa saya melewati jalan aspal yang mulus. Jalan-jalan yang saya lewati masih berupa jalan tanah dan di beberapa ruas jalan, jenis tanahnya adalah tanah liat.

Yang memiliki pengalaman berjalan di atas tanah liat tentu bisa membayangkan betapa licinnya jalan itu. Untuk menghindari jalan yang licin itu, saya biasanya memilih berjalan di tepi, melewati bagian jalan yang ada rumput-rumputnya. Tetapi, kalau saya berangkat agak kesiangan, jalan di bagian tepi yang ada rumputnya ini pun sudah berubah menjadi licin. Semua orang punya pikiran yang sama untuk melewati tepi jalan yang ada rumputnya itu.

Tak jarang dalam perjuangan menempuh 2 km itu saya terpeleset dan terjatuh. Karena melewati jalan yang licin dan agak menurun, rata-rata saya terjatuh dalam posisi terduduk. Sudah pasti celana yang saya kenakan menjadi kotor terkena lumpur yang becek. Untuk mengatasi hal ini saya biasanya mencari parit di sisi jalan yang ada airnya. Saya lap celana yang kotor tadi dengan air sampai bersih. Risikonya, celana menjadi basah, tapi hal itu tidak masalah. Sekitar pukul 10.00 biasanya celana sudah kering dengan sendirinya terkena panasnya suhu tubuh. Mengapa tidak pulang ganti celana? Daerah licin yang saya lalui itu berada di dua pertiga jarak perjalanan yang saya tempuh. Sudah terlalu jauh. Lagi pula, kalau saya pulang, di rumah juga tidak ada celana pengganti karena celana seragam merah itu adalah satu-satunya yang saya miliki. Tidak ada yang lain.

Minim Cita-cita

Berbicara tentang cita-cita, saya juga sama dengan anak-anak SD yang diceritakan di TV itu. Ketika ditanya mengenai cita-cita, rata-rata jawaban mereka hanya ada dua kemungkinan, yaitu antara guru dan dokter. Saya juga tidak memiliki gambaran pilihan cita-cita yang beragam. Profesi yang ada di benak saya ketika itu hanya ada beberapa. Misalnya, guru, polisi, tentara, dan dokter.

Saya tidak memiliki acuan atau referensi tentang berbagai profesi yang mungkin saya idolakan. Maklum, saat itu belum banyak keluarga yang memiliki televisi. Di kampung saya yang terdiri dari kurang lebih 50 kepala keluarga, hanya ada 2 atau 3 keluarga yang memiliki televisi. Dan tentu itu bukan keluarga saya. Itu pun masih dioperasikan dengan aki. Belum ada listrik. Jadi kalau kami akan menonton TV, biasanya hanya bisa dilakukan pada hari Sabtu atau Minggu saat di TV ada tayangan kethoprak, tinju, si Unyil, atau Album Minggu Kita. Itu pun kalau si empunya TV sedang berada di rumah sehingga saya bisa ikut nonton. Minimnya wawasan itulah yang membuat saya tidak mempunyai banyak kemungkinan jawaban kalau ditanya tentang cita-cita atau profesi yang saya idamkan.

Guru adalah cita-cita maksimal yang saya ketahui saat itu. Terlebih lagi ayah saya selalu berbicara tentang enaknya jadi guru di kampung. Hal itu menyebabkan profesi gurulah yang mendominasi pikiran dan saya jadikan cita-cita. Di kampung saya, ada lima orang guru yang bagi ayah saya selalu menjadi patokan dan referensi bagaimana seharusnya masa depan saya. Para guru itu pergi ke sekolah dengan berjalan kaki sejauh 7 – 8 km. Mereka berjalan di antara tegalan yang menjadi lahan garapan pertanian penduduk kampung saya. Otomatis, mereka juga melewati lahan pertanian milik mereka. Sepulang mengajar, para guru ini biasanya mampir di ladang dan berganti profesi menjadi petani. Jadi, pagi mengajar, sore bertani. Inilah profesi paling top yang diidam-idamkan ayah saya. Sayadiharapkan juga berprofesi seperti itu nantinya.

Saya pernah bercita-cita menjadi seorang tentara. Ketika itu, Mbah Karto, seorang dukun bayi yang biasa berkeliling kampung di desa saya,mempunyai seorang anak yang menjadi tentara. Cerita itu tersebar luas di kampung karena sambil memijat Mbah Karto sering bercerita tentang profesi anaknya tersebut. Saya dan beberapa teman sempat terobsesi ingin menjadi tentara karena terpengaruh cerita tersebut. Namun ketika mendengar beratnya latihan fisik yang harus dijalani seorang tentara, keinginan menjadi tentara tersebut hilang dengan sendirinya.

Dari pengalaman itu saya bisa menyimpulkan bahwa peran orang tua dan lingkungan sangat berpengaruh pada cita-cita yang diingikan seorang anak. Orang tua harus bisa mengenali potensi anak dan memberikan gambaran berbagai alternatif pilihan profesi kepada anak-anaknya. Selain orang tua, lingkungan juga berperan. Makna lingkungan ini sekarang cakupannya lebih luas. Bukan hanya orang-orang di sekitar kehidupan anak melainkan juga tokoh-tokoh yang sering muncul di media massa, seperti radio, koran, televisi. Semuanya bisa menjadi bahan acuan atau pertimbangan tentang cita-cita yang diangankan seorang anak. (bersambung)

Jalan Licin Menuju Cita-cita (2)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun