Pembangunan sumber daya manusia yang unggul merupakan pilar utama visi Indonesia Emas 2045. Namun, dalam mencapai visi tersebut, tantangan fundamental yang dihadapi Indonesia adalah beban ganda masalah gizi (multiple burden of malnutrition), yaitu stunting (tengkes) dan wasting (gizi kurang) yang masih prevalen pada anak-anak, remaja dan ibu hamil---terutama yang berasal dari kalangan ekonomi lemah, serta meningkatnya obesitas dan penyakit tidak menular terkait gizi pada populasi dewasa.
Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah membuat kebijakan Makan Bergizi Gratis (MBG) sebagai implementasi program perbaikan gizi dengan sasaran: peserta didik pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan pesantren; anak usia di bawah lima tahun; ibu hamil; dan ibu menyusui. Penetapan kelompok sasaran yang spesifik ini menunjukkan fokus intervensi program yang diarahkan pada periode emas pertumbuhan manusia (golden age), sebuah strategi hulu yang bertujuan untuk mencegah masalah gizi seperti stunting dan membangun fondasi sumber daya manusia yang berkualitas untuk jangka panjang.
Terlepas dari berbagai masalah yang ada pada tataran pelaksanaan MBG di lapangan---khususnya fenomena keracunan massal siswa-siswi sekolah di berbagai kabupaten/kota yang mengonsumsi menu MBG, yang itu menunjukkan bahwa sistem dan tata kelola MBG perlu dilakukan banyak perbaikan---tekad dan keberanian pemerintah membuat kebijakan MBG layak diapresiasi. Bagi saya pribadi, MBG bukan hanya tentang program untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045, melainkan lebih prinsipil berupa upaya pemenuhan kebutuhan dasar dan upaya perluasan perwujudan keadilan sosial, serta memperlakukan anak-anak bangsa secara adil dan beradab.
MBG merupakan salah satu upaya mewujudkan hak ekonomi, sosial dan budaya sesuai mandat konstitusi dalam Pasal 28C ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, serta Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights) yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 11 Tahun 2005. Selain itu juga upaya perwujudan perlakuan negara kepada rakyat yang berbasis nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, serta berkeadilan sosial.
Pembentukan negara Republik Indonesia oleh para pendiri bangsa (the founding fathers) didasari cita-cita antara lain terwujudnya kemanusiaan yang adil dan beradab, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pancasila dan UUD 1945. Cita-cita tersebut bukan mimpi-mimpi kosong, akan tetapi janji agung dan janji suci kepada seluruh rakyat Indonesia, baik yang telah berpulang, yang ada saat ini, maupun generasi yang akan datang.
Kita mungkin tidak bisa mendefinisikan secara tuntas tentang bagaimana kondisi yang dapat disebut perwujudan dari "kemanusiaan yang adil dan beradab" dan "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia", karena itu sifatnya dinamis dan dialektis sesuai perkembangan zaman dan peradaban manusia. Terlebih banyak teori dan konsep tentang keadilan yang dibangun dan dikembangkan di berbagai belahan dunia dari waktu ke waktu dalam berbagai corak dan spektrum politik maupun ideologi. Dalam tulisan ini saya mencoba menggunakan Teori Keadilan yang dibangun dan dikembangkan John Rawls---tentu sebatas yang saya ketahui dan pahami secara terbatas---untuk melihat dan memahami nilai keadilan sosial dan ekonomi kebijakan MBG.
John Rawls (1921-2002) merupakan salah satu filsuf politik paling berpengaruh di abad ke-20. Karyanya yang monumental, A Theory of Justice (1971), secara fundamental mengubah lanskap filsafat politik liberal dan menjadi referensi di bidang filsafat, hukum, ekonomi, dan politik di berbagai belahan dunia. Teori yang ia ajukan muncul sebagai sebuah alternatif yang sistematis dan kuat terhadap utilitarianisme, sebuah tradisi pemikiran yang telah lama mendominasi filsafat moral dan politik Anglo-Amerika.
Penerapan teori Rawls dalam konteks Indonesia bukan sebagai buku panduan kebijakan yang detail, melainkan sebagai kerangka kerja filosofis untuk mendefinisikan "esensi konstitusional" (constitutional essentials) dan "masalah-masalah keadilan dasar". Teori Rawls dapat membantu menjawab pertanyaan fundamental: Apakah struktur dasar dan kebijakan pemerintah di bidang sosial dan ekonomi dirancang untuk memberikan manfaat terbesar bagi mereka yang paling tidak beruntung? Dengan demikian, teori Rawls dapat berfungsi sebagai tolok ukur normatif untuk desain dan reformasi kebijakan publik.
Teori Keadilan Rawls
Bagi Rawls, keadilan bukanlah salah satu nilai di antara banyak nilai lainnya; ia adalah kebajikan yang utama dan tak dapat dikompromikan. Ia membuka karyanya dengan pernyataan yang ikonik: "Keadilan adalah kebajikan utama dari institusi sosial, sebagaimana kebenaran bagi sistem pemikiran" (Justice is the first virtue of social institutions, as truth is of systems of thought). Rawls mengemukakan dua prinsip keadilan, yaitu: Prinsip Kebebasan Dasar yang Sama; dan Prinsip Pengaturan Ketimpangan Sosial dan Ekonomi.
Prinsip Kebebasan Dasar yang Sama (Principle of Equal Basic Liberty) berfokus pada setiap orang memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar seluasnya sejauh kebebasan itu kompatibel atau tidak bertentangan dengan kebebasan orang lain. Rawls secara tegas menolak gagasan inti utilitarianisme yang mengizinkan pengorbanan kebebasan sebagian kecil orang demi kebahagiaan yang lebih besar bagi mayoritas.
Sedangkan Prinsip Pengaturan Ketimpangan Sosial dan Ekonomi memuat dua elemen kunci, yaitu pertama, Prinsip Perbedaan (The Difference Principle) yang memuat tesis dan premis bahwa ketimpangan dalam distribusi pendapatan dan kekayaan hanya dapat dibenarkan secara moral jika keberadaan ketimpangan tersebut berfungsi untuk meningkatkan kondisi kelompok yang paling miskin dan rentan di masyarakat (the least-advantaged). Â Ini adalah elemen paling egaliter dan kontroversial dari teori Rawls tentang Keadilan. Dengan kata lain, sistem yang memungkinkan sebagian orang menjadi sangat kaya hanya adil jika sistem tersebut, sebagai hasilnya, juga membuat orang-orang yang paling miskin menjadi lebih baik---daripada yang seharusnya mereka dapatkan---dalam sistem yang lebih setara. Prinsip Perbedaan ini secara fundamental memberikan justifikasi moral yang kuat bagi berbagai kebijakan publik yang bertujuan untuk mengurangi ketimpangan dan membantu kelompok-kelompok yang paling rentan dalam masyarakat. Kebijakan-kebijakan ini tidak lagi dilihat sebagai tindakan amal atau belas kasihan, melainkan sebagai tuntutan keadilan dasar.
Kedua, Prinsip Persamaan Kesempatan yang Adil (Principle of Fair Equality of Opportunity). Prinsip ini menuntut lebih dari sekadar kesetaraan formal, tetapi mensyaratkan bahwa setiap individu dengan bakat dan motivasi yang sama harus memiliki prospek keberhasilan yang sama, terlepas dari latar belakang kelas sosial atau ekonomi mereka. Untuk mencapai ini, negara mempunyai peran untuk mengurangi atau menghilangkan hambatan sosial dan ekonomi yang menghalangi individu untuk mengembangkan potensi mereka.
MBG dalam Perspektif Teori Rawls
Merujuk kepada teori Rawls tersebut di atas, khususnya Prinsip Pengaturan Ketimpangan Sosial dan Ekonomi, dapat dipahami konteks sosial dan ekonomi kebijakan MBG. Walaupun MBG tidak didesain khusus untuk anak-anak dari keluarga miskin, namun MBG jelas berperan melindungi dan meningkatkan kondisi kelompok yang paling miskin dan rentan di masyarakat (the least-advantaged), sekaligus untuk mendukung kesetaraan kesempatan yang adil (fair equality of opportunity).
MBG merupakan perluasan bentuk (re)distribusi kekayaan negara, sekaligus bentuk kehadiran negara, untuk memastikan perlindungan bagi anak-anak dari keluarga miskin mendapatkan asupan gizi yang cukup. Dengan memberikan asupan gizi yang cukup, diharapkan anak-anak dapat bertumbuh dan berkembang secara optimal, sehingga dapat bersaing dan memiliki prospek keberhasilan yang sama dengan anak-anak yang berasal dari keluarga yang mampu. MBG bukan sekadar kebijakan karitatif pemerintah, melainkan lebih dari itu. MBG adalah MBG adalah perwujudan dari realisasi janji agung negara yang tercantum dalam konstitusi.
Mungkin saya terlalu dini membuat penilaian kebijakan MBG berperan melindungi dan meningkatkan kondisi kelompok yang paling miskin dan rentan di masyarakat (the least-advantaged), serta untuk mendukung kesetaraan kesempatan yang adil (fair equality of opportunity) sebagaimnaa teori Rawls. Kebijakan MBG baru berjalan kurang lebih 1 (satu) tahun dan belum terbukti bagaimana pelaksanaannya di wilayah terpencil yang secara geografis sulit dijangkau---berupa pulau-pulau kecil, pegunungan, perbatasan negara, atau wilayah pedalaman yang jauh dari pusat pemerintahan dan ekonomi---dan memiliki keterbatasan akses terhadap berbagai fasilitas dan layanan dasar (pendidikan dan kesehatan), transportasi, dan teknologi.
Kita juga belum melihat bagaimana keseriusan Badan Gizi Nasional memperbaiki sistem dan tata kelola, serta pemantauan dan pengawasan pelaksanaan MBG supaya tidak ada lagi kejadian keracunan massal di berbagai kabupaten/kota. Selain itu, kita juga belum melihat bagaimana kebijakan MBG berperan sebagai penggerak roda ekonomi yang berdampak signifikan kepada petani, peternak, serta pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) di berbagai kabupaten/kota.
Tentu kita berharap kebijakan MBG berhasil seperti yang dicita-citakan, dan tidak sekadar menjadi alat untuk menambah kekayaan bagi mereka yang sudah bergelimang harta dan kekayaan. Apalagi sekadar proyek yang menjadi ladang bancakan para pemburu rente dan mereka yang bermental lapar dan korup.
Pada situasi yang demikian itu teori Rawls memiliki resonansi yang kuat dan relevansi kritis dalam konteks kebijakan MBG di Indonesia. Di satu sisi, prinsip-prinsipnya sejalan dengan cita-cita pendiri bangsa. Terdapat paralel yang jelas antara teori Rawls dengan nilai-nilai dasar negara Indonesia. Sila kelima Pancasila, "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia," mencerminkan komitmen terhadap keadilan distributif sebagaimana Prinsip Perbedaan Rawls. Lebih eksplisit lagi, Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa "Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan," secara langsung mencerminkan logika Prinsip Perbedaan dan justifikasi untuk tindakan afirmatif.
Di sisi lain, teori Rawls dapat berfungsi sebagai alat kritik yang tajam terhadap realitas yang ada. Teori Rawls menyediakan lensa kritis yang kuat untuk menganalisis berbagai masalah di Indonesia, terutama kesenjangan sosial dan ekonomi yang masih lebar di Indonesia yang menunjukkan bahwa tujuan keadilan sosial yang diamanatkan oleh konstitusi dan diartikulasikan oleh Rawls masih jauh dari tercapai.
Salam!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI