Mohon tunggu...
el lazuardi
el lazuardi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Menulis buku SULUH DAMAR

Tulisan lain ada di www.jurnaljasmin.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Warna-warni Kehidupan dalam Kenangan Bersama Kereta Api Kelas Ekonomi

1 Oktober 2022   20:14 Diperbarui: 2 Oktober 2022   21:46 1348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kereta api| Foto: Kompas.com/Dandy Bayu Bramasta

Perjalanan dengan kereta api itu ibarat warna warni dalam lukisan kehidupan. Ada kisah yang terasa indah untuk dikenang, ada yang rasanya biasa saja, dan ada pula yang ingin dilupakan.

Penulis sendiri tak memiliki banyak kisah yang bisa diceritakan kembali. Maklum tak sering naik kereta api, baru terhitung belasan kali saat KAI belum melakukan reformasi. Meski demikian, belasan perjalanan itu memberi pesan yang patut untuk dikenang dan direnungi.

Apa saja pesan-pesan yang dimaksud?

1. Mahalnya Harga Sebuah Kenyamanan

Apa yang dicari dari sebuah perjalanan dengan kereta api? Sebuah kenyamanan? 

Penulis takkan memberi jawaban seperti itu. Karena selama belasan kali berkereta api, penulis hanya pernah menaiki kereta malam kelas ekonomi untuk perjalanan pulang pergi Yogyakarta - Jakarta.

Kenyamanan selalu identik dengan harga mahal. Dan semua itu tersedia di kereta eksekutif. Tapi harga yang ditawarkan terasa kelewat mahal. Sekitar 200 ribuan lebih waktu itu, sekitar tahun 2008. Jadi penulis memilih tak meliriknya.

Bandingkan dengan harga tiket kelas ekonomi. Cukup 35 ribu saja dengan kereta api Progo sudah bisa bepergian dari Yogya ke Jakarta. Penulis juga pernah mencoba dengan kereta lain dalam rute yang sama. Dan tarifnya tak jauh beda. Dengan kereta api Bengawan tiketnya seharga 37 ribu, sedangkan dengan kereta api Gaya Baru Malam malah lebih murah, hanya 28 ribu saja.

Nah, dengan tarif yang teramat murah tersebut, jangan pernah menanyakan tentang kenyamanan dalam perjalanan. Tak ada kata itu. Yang ada adalah pengorbanan. Apalagi di masa itu, masa sebelum Pak Ignasius Jonan belum menjabat Dirut PT KAI.

Gerbong yang panas tanpa pendingin ruangan, hanya kipas angin. Bangku yang sempit dan saling berhadapan dengan sandaran tegak lurus, sehingga kaki harus ditekuk dalam waktu lama. Serta penumpang berjejal di lantai gerbong karena mereka memang membeli tiket tanpa tempat duduk merupakan gambaran betapa tak nyamannya sebuah gerbong kereta kelas ekonomi.

Belum lagi kehadiran pedagang asongan yang terus berteriak tanpa henti menjajakan dagangan mereka. Mulai dari makanan seperti kue-kue dan mi instan, aneka minuman. Sampai kepada baju, dompet, aksesoris, sabuk, dan sebagainya. 

Mereka datang silih berganti di sepanjang perjalanan sejak dari Stasiun Lempuyangan Yogyakarta hingga Stasiun Cirebon. Suasana gerbong pun terasa seperti sebuah pasar, ramai, dan berisik. Dan sebagai akibatnya, ketika hendak memejamkan mata barang sejenak pun menjadi susah.

Namun yang paling mengkhawatirkan adalah kehadiran para pengemis dan pengamen. Termasuk juga beberapa orang yang ternyata malah mencari kesempatan dengan menjadi pencopet. 

Keberadaan mereka betul-betul meresahkan. Tak jarang mereka marah-marah dan berkata kasar ketika tidak diberi. Alhasil perjalanan pun bukan saja terasa tak nyaman, tapi juga tak aman.

Tapi untunglah sejak tahun 2009 datang Pak Jonan yang memperbaiki segala keruwetan itu. Naik kereta api kelas ekonomi terasa lebih nyaman, seperti yang penulis rasakan empat tahun lalu. Tapi ya itu. Ada harga yang harus ditambah. Dan harga tiket kelas ekonomi pun naik sekitar tiga kali lipatnya.

2. Pentingnya Berbagi untuk Menjalin Keakraban

Ada hal menarik dalam perjalanan berkereta api dulunya. Yakni suasana yang penuh keakraban diantara sesama penumpang. Meskipun mereka sebelumnya tak saling mengenal. Dan semua itu bermula dari semangat berbagi yang mereka lakukan.

Berbagi tempat duduk, hal ini jamak dilakukan dahulunya. Tempat duduk untuk tiga orang disulap untuk empat orang. Maklum, dahulunya tiket yang dijual melebihi kapasitas tempat duduk sehingga banyak yang tak kebagian. Tapi tak usah khawatir, karena banyak orang-orang baik yang nantinya akan berbagi tempat duduk.

Penulis sendiri pernah beberapa kali merasakan hal pengalaman ini. Dalam perjalanan pulang dari Jakarta ke Yogyakarta, penulis sering mendapat tiket tanpa tempat duduk. Maklum, beli tiketnya last minute.

Tapi, ketika berada diatas gerbong, selalu kebagian tempat duduk. Pasti ada saja Bapak-bapak atau Mas-mas yang menggeser posisi duduknya dan mengajak penulis duduk bersama mereka.

Tak hanya berbagi tempat duduk, para penumpang juga sering berbagi makanan dan minuman. Walau hanya sepotong roti atau segelas teh hangat, tapi mereka memberi dengan ikhlas, tanpa ada maksud lain, hanya ingin berbagi.

Semangat saling berbagi ini kemudian menghadirkan keakraban diantara sesama penumpang. Mereka saling sapa, saling bercerita. Suasana jadi hangat dan penuh keceriaan. Dan perjalanan  pun terasa tak melelahkan.

3. Betapa Besarnya Godaan untuk Menyalahi Aturan

Semua orang paham kalau perbuatan menyalahi aturan itu tidak baik. Tapi godaan untuk melakukannya cukup besar. Apalagi kalau yang berbentuk materi. Sering membuat orang lupa diri.

Meskipun harga tiket saat sebelum reformasi KAI dahulu sangat murah meriah, nyatanya masih ada saja penumpang yang keberatan membayar dengan harga segitu. Mereka memilih menjadi penumpang gelap alias penumpang tanpa tiket.

Mereka selalu berusaha menghindar ketika ada pemeriksaan tiket. Atau menyerahkan selembar uang lima ribuan agar tak disuruh turun. Ya, sayang sekali, pengawasan waktu itu kurang ketat sehingga banyak orang memanfaatkan celah itu untuk melanggar aturan.

4. Betapa Berartinya Sebuah Kemudahan yang Diberikan

Memberi kemudahan pada seseorang dalam menyelesaikan urusannya merupakan sebuah kebaikan. Dan pihak KAI telah melakukannya dengan baik untuk penumpang yang ketinggalan kereta.

Ceritanya, waktu itu penulis ketinggalan kereta Bengawan dari Stasiun Tanah Abang ketika hendak balik ke Jogja. Kereta yang biasanya bisa molor 15-20 menit dari jadwal keberangkatan jam 19.00 itu, waktu itu malah sudah jalan saat jam 18.50. Alhasil, penulis yang datang lima menit kemudian ketinggalan kereta.

Seorang petugas kemudian memberi saran pada penulis untuk segera ke stasiun Pasar Senen untuk ikut kereta Progo yang baru berangkat jam 20.40 dan " tak perlu beli tiket lagi," katanya.

Penulis pun mengikuti saran tersebut. Bergegas ke stasiun Pasar Senen dengan naik ojek. Dan benar saja, tak ada kewajiban beli tiket lagi bagi penumpang yang ketinggalan kereta meski beda kereta. Tapi resikonya ya, jatah tempat duduk jadi hilang. Lumayanlah, tak kehilangan duit 35 ribu waktu itu.

Kini, seiring perjalanan waktu, pelayanan perkeretaapian terus mengalami perbaikan. Penumpang mendapat kemudahan dan kenyamanan. Dan semua cerita masa lalu naik kereta api seperti yang diceritakan di atas tinggal kenangan saja.

(EL)

Yogyakarta,01102022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun