ayahnya yang wafat di bengkel tua, dan dirinya yang dulu sering kelaparan diam-diam saat belajar di kampus luar negeri.
Ia mengangguk. "Saya bersedia. Tapi saya akan tetap pegang kendali di Karyatama. Karena perjuangan saya belum selesai."
Di sisi lain, perubahan besar di PT Karyatama Abadi menarik perhatian investor asing. Perusahaan-perusahaan dari Jepang,Â
Jerman, hingga Timur Tengah mulai melirik peluang kerja sama. Beberapa mantan komisaris lama yang dulu meremehkanÂ
Guntur kini diam-diam mencoba "menyambung koneksi kembali."
Tapi Guntur tidak gampang dibeli. Ia menyeleksi mitra bisnis bukan dari uangnya, melainkan dari nilai yang mereka bawa.
Sementara itu, Ronald, yang kini menjadi salah satu staf kepercayaan Guntur, tumbuh menjadi pribadi baru. Ia tak lagi sombong.
Bahkan ia menjadi mentor bagi karyawan magang---seringkali mengulang satu kalimat yang dulu membuatnya berubah:
"Kamu gak tahu siapa yang kamu hina hari ini. Bisa jadi, besok dia yang menentukan masa depanmu."
Suatu malam, Guntur berdiri sendirian di balkon lantai tertinggi gedung kantor. Ia mengenakan jas mahal, tapi di tangannya---ia masih menggenggam sepatu butut lamanya.
Sepatu itu tidak ia buang. Ia simpan sebagai pengingat. Bahwa di balik setiap kemenangan, ada luka. Dan bahwa harga diri tidak dibangun dari label pakaian---melainkan dari cara kita memperlakukan orang lain.