Bagian 6: Panggung yang Lebih Besar
Dua bulan setelah gagalnya kudeta Pak Darwis, reputasi Guntur melesat tidak hanya di internal PT Karyatama Abadi,Â
tapi juga di dunia bisnis nasional. Media mulai menyoroti sosoknya: anak sopir yang jadi dirut, melawan sistem bobrokÂ
dengan kepala dingin.
Undangan wawancara, seminar, dan konferensi berdatangan. Tapi Guntur tetap memilih rendah hati. Ia lebih sering berada
di lapangan, mengawasi proyek pengembangan, mendengarkan keluhan karyawan bawah.
Hingga suatu hari, ia menerima undangan dari Kementerian BUMN. Bukan sekadar undangan biasa, melainkan permintaan
resmi untuk bergabung dalam dewan penasihat ekonomi nasional.
"Pak Guntur," kata seorang pejabat tinggi saat pertemuan itu, "kami butuh orang seperti Anda---yang bisa membuktikanÂ
bahwa kepemimpinan tak harus dibangun dari darah biru, tapi dari prinsip kuat dan keberanian menghadapi sistem rusak."
Guntur menatap ruangan mewah itu, memikirkan masa lalunya yang kelam---ibunya yang bekerja sebagai buruh cuci,Â