Menurut laporan Neli Triana (Kompas), sore hingga malam pada 24 September 2025 lalu, Jakarta mengalami kelumpuhan total. Kawasan Grogol, Slipi, hingga Semanggi tidak lagi hanya terseok-seok, tetapi benar-benar lumpuh.
Antrean kendaraan meluber jauh sampai ke ruas-ruas kecil di sekitar kawasan tersebut, menciptakan situasi yang menyerupai bencana.
Warga terjebak berjam-jam di jalanan, dengan perasaan sebal, marah, pusing, dan capek tiada tara. Perjalanan menjadi jauh lebih lama, bahkan urusan penting, hingga batal karena kemacetan parah ini.
Dilansir dari Kompas.com, Kepala Dinas Perhubungan DKI Syafrin Liputo, pada 21 Agustus 2025, mengonfirmasi macet parah di Jalan TB Simatupang dipicu oleh banyaknya pekerjaan galian sepanjang ruas jalan tersebut.
Proyek-proyek ini mayoritas milik Pemerintah Provinsi Jakarta, mulai dari simpang Pasar Minggu sampai Ampera untuk pembangunan pipanisasi dan peningkatan kapasitas air minum PAM Jaya.
Sementara itu, pengguna jalan di kawasan Menteng juga dibuat gerah akibat proyek strategis nasional yang tak kunjung rampung, dengan seng galvalum putih menutup sebagian ruas jalan dari Cikini, Raden Saleh, sampai Jalan Sutan Syahrir.
Gubernur Jakarta Pramono Anung, pada 24 Agustus 2025, mengakui proyek galian Jakarta memang tak sudah-sudah, hingga membuat lalu lintas macet.
Dilansir dari Detik.com, Pramono menjelaskan, bahwa Pemprov DKI sedang membangun infrastruktur air bersih, menertibkan kabel-kabel semrawut, sanitasi, dan saluran air yang 'mau tidak mau harus tetap dilakukan.'
Pengakuan ini menandai realitas Jakarta sedang mengalami paradoks pembangunan: membangun infrastruktur masa depan dengan mengorbankan kenyamanan transportasi hari ini.
Tumpang tindih proyek tanpa koordinasi efektif
Proyek galian di Jakarta terkesan abadi, karena tumpang tindih antarproyek dan minimnya koordinasi antarlembaga.