Pengerjaan di satu titik belum rampung, proyek baru muncul di titik yang lain tanpa jeda. Situasi ini membuat warga melihat seolah proyek galian jalan tak kunjung usai.
Sebagian besar proyek menggunakan metode penggalian konvensional yang mengganggu lalu lintas dalam jangka panjang, sementara sebagian proyek bahkan tidak memiliki papan informasi yang jelas tentang durasi dan tujuan pembangunan.
Urgensi masalah ini terletak pada dampak ekonomi dan sosial yang masif. Kemacetan akibat proyek infrastruktur tidak hanya membuang waktu dan bahan bakar, tetapi juga menurunkan produktivitas ekonomi kota.
Warga kehilangan waktu produktif, biaya transportasi meningkat, dan aktivitas ekonomi terhambat. Dari perspektif sosial, stres dan frustasi masyarakat meningkat, kualitas hidup menurun, dan kepercayaan terhadap efektivitas pemerintah dalam mengelola kota semakin terkikis.
Kompleksitas masalah semakin bertambah, karena Jakarta sedang menjalankan beberapa proyek vital secara bersamaan.
Setidaknya, ada tiga proyek penting: pertama, PAM Jaya memasang jaringan pipa air minum baru dengan target 29 dari 43 titik selesai hingga September 2025.
Kedua, proyek Sarana Jaringan Utilitas Terpadu (SJUT) untuk menanam kabel listrik dan telekomunikasi di bawah tanah agar kota lebih modern dan rapi.
Ketiga, Jakarta Sewerage Development Project (JSDP) membangun sistem perpipaan air limbah modern, meskipun menggunakan metode trenchless yang seharusnya meminimalkan gangguan.
Namun, eksekusi simultran tanpa koordinasi efektif, justru menciptakan chaos di jalanan.
Manajemen proyek infrastruktur Jakarta gagal
Melihat latar belakang masalah di atas, saya berpendapat bahwa pendekatan Pemprov DKI Jakarta terhadap pembangunan infrastruktur bersifat reaktif dan tidak berkelanjutan.
Menjalankan banyak proyek infrastruktur secara bersamaan tanpa manajemen proyek terpadu adalah kesalahan mendasar, mencerminkan lemahnya perencanaan strategis dan koordinasi antarinstansi.