Untuk mengatasi persoalan ini, saya mengusulkan tiga pendekatan yang barangkali dapat diterapkan oleh RT06/RW22 Blok Empang Kerang Hijau, Muara Angke.
Pertama, aparatur desa dapat mengkampanyekan bahaya dari membuang cangkang kerang sembarangan. Sediakan titik buang terpadu yang jauh dari pemukiman warga.
Kedua, aparatur desa perlu berkolaborasi dengan PELNI dalam pengelolaan limbah kerang, sebab sependek pengetahuan saya, PELNI punya program pengelolaan limbah kerang jangka panjang.
Program pengelolaan limbah kerang yang diinisiasi oleh PELNI di wilayah pesisir Cilincing, misalnya, tidak cuma sebatas kegiatan bersih-bersih pesisir.
Tapi, program ini, dirancang dengan visi jangka panjang yang mencakup berbagai aspek pembangunan berkelanjutan, mulai dari lingkungan hidup, hingga pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir.
Ketiga, aparatur desa perlu berkolaborasi dengan komunitas-komunitas pengrajin untuk memberi pelatihan pengelolaan limbah cangkang kerang menjadi produk bernilai, seperti: souvenir, dekorasi rumah, media tanam, dan bahan bangunan atau paving block yang ramah lingkungan.
Penataan dan pengelolaan limbah cangkang kerang hijau dengan cara yang strategis dan berkelanjutan, tak cuma akan membersihkan lingkungan dan menjaga kesehatan masyarakat, tapi juga membuka peluang untuk mengembangkan ekonomi lokal dan pariwisata bahari.
Melalui edukasi, titik buang terpadu, dan kolaborasi lintas sektor---seperti bekerja sama dengan PELNI---Blok Empang Kerang Hijau bisa berubah dari kawasan bermasalah menjadi contoh sukses pengelolaan limbah berdaya guna dan destinasi lingkungan lestari.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI