Bagi masyarakat urban yang berdomisili di wilayah Jabodetabek, kapan terakhir kali Anda mengamati keberadaan capung? Jika sulit mengingatnya, hal tersebut dapat dimaklumi.
Selama sepuluh tahun menetap di Jakarta, saya hanya dua atau tiga kali menjumpai capung di lokasi berbeda, yaitu di Jembatan Lima, Jakarta Barat, dan di rumah susun Pasar Rumput, Jakarta Selatan.
Serangga dengan mata menonjol menyerupai bola lampu ini, berperan sebagai bioindikator lingkungan yang efektif.
Keindahan capung dengan sayap transparan bak kain krep dan tubuh berwarna-warni, kini semakin jarang ditemui di area perkotaan yang minim dukungan ekosistem perairan yang memadai.
Sebagai predator, capung memegang peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem.
Tulisan ini, akan mengulas penyebab menurunnya populasi capung di wilayah Jabodetabek, peran mereka dalam ekosistem, serta strategi pelestariannya.
Penurunan Keanekaragaman Capung di Jabodetabek
Berdasarkan laporan dari Mongabay.co.id, berbagai penelitian telah dilakukan di beberapa lokasi di Jabodetabek selama dekade terakhir, memberikan indikasi kondisi lingkungan di area tersebut.
Penelitian oleh Narti Fitriana (2016) mengungkap bahwa keanekaragaman capung di Situ Pamulang, Tangerang Selatan, lebih tinggi (15 spesies dengan 279 individu) dibandingkan dengan studi serupa di Buperta Cibubur (9 spesies), Situ Gintung (6 spesies), dan Kebun Raya Bogor (10 spesies).
Sementara itu, penelitian di taman kota Jakarta, seperti Taman Mini Indonesia Indah, mencatat hanya 5 spesies dengan 116 individu, dan Ragunan dengan 4 spesies (58 individu).
Meskipun demikian, indeks keanekaragaman hayati di TMII tergolong stabil dan cukup stabil di Ragunan. Di Situ Pamulang, spesies Brachythemis contaminata paling dominan.