Selain kekayaan hayati, hewani dan budaya, Nusantara juga memiliki keyaan lain yang bagi negara-negara di Asia Tenggara bahkan Eropa merupakan emas yang sangat berharga. Kekayaan itu adalah kekayaan rempah-rempah, yang bahkan sebelum bangsa Eropa datang ke Nusantara, rempah-rempah sudah menjadi komoditas dagang populer pada masa itu. Buah-buahan yang bermacam-macam juga menjadi daya tarik tersendiri. Seorang pedagang Eropa, Bontius, mengatakan bahwa ornag-orang Eropa dan Cina terkesan dengan keeragaman dan kegemaran berlebihan orang Asia Tenggara dalam menikmati buah-buahan (Reid, 2011). Iklim tropis yang dimiliki negara-negara Asia Tenggara dan Nusantara memberikan pengaruh yang sangat besar bagi kelangsungan hidup tanaman buah dengan memberikan curah hujan yang cukup dan panas yang cukup pula.
Perkembangan makanan Nusantara sudah lama dimulai, jauh sebelum era kolonial terjadi di abad ke-17. Pada awal abad pertama masehi hingga abad ke-16 masehi, makanan Nusantara banyak dipengaruhi oleh kebudayaan India, Cina, dan Timur Tengah akibat adanya interaksi dagang yang terjadi. Kedatangan bangsa Eropa kemudian juga turut memberi pengaruh terhadap berkembangkan kuliner di Nusantara. Adanya pengaruh baru yakni pengaruh barat ini sangat Nampak terlihat dalam mulai munculnya makanan-makanan baru dengan pengaruh kolonial (Belanda) antara lain, semur, perkedel, kroket, lapis legit, kastengel, nastar, dan klappertaart yang kini sudah menjadi bagian dari kuliner Nusantara (Utami, 2018).
Kedatangan bangsa Eropa ke Nusantara diawali oleh negara Spanyol dan Portugis yang tiba secara bersamaan pada abad ke-16. Tanaman-tanaman yang umum bagi kita sekarang seperti jagung (Zea mays), ubi kayu (Manihot esculenta), cabai (Capsicum anuum), buncis (Phaseolos vulgaris), terong (Solanum melongena), nanas (Ananas comosus), sawo (Achras zapaota), dan srikaya (Annona squamosa) merupakan tanaman-tanaman yang dibawa Portugis dan Spanyol ke Nusantara. Kedatangan Spanyol dan Portugis juga memengaruhi Teknik pengolahan dan konsumsi masyarakat, Â khususnya daging. Bangsa Portugis mengenalkan beberapa teknik mengolah daging seperti, memanggang (assado), mencampur daging dengan bahan bumbu (recheado), merebus (buisado), dan mengukus (bafado), sehingga daging tidak lagi selalu berhubungan dengan ritual adat dan bermakna sakral seperti pada abad-abad sebelumnya.
 Setelah kedatangan Spanyol dan Portugis ke Nusantara, bangsa Eropa terakhir yang masuk ke Nusantara adalah bangsa Belanda. Pada awalanya Belanda datang ke Nusantara dengan misi yang berbeda dengan Spanyol dan Portugis. Dengan kongsi dagangnya, Belanda bersama VOC, hanya ingin fokus pada pencarian rempah-rempah yang nantinya ingin dijual kembali ke Eropa. Kisah sejarah tentang kolonialisasi Belanda atas Indonesia yang selama ini kita dengar dan baca, ternyata bukanlah fokus utama Belanda pada awal bangsa ini datang. Setidaknya sampau abad ke-18 barulah Belanda mulai memiliki keinginan untuk menguasai Nusantara dengan kolonialisasi. Dituliskan dalam buku Jakarta: Sejarah 400 Tahun, Susan Blackburn (2011), bahwa Jan Pieterszoon Coen sudah berkali-kali meminta Heren 17 untuk mengajak masyarakat elit Belanda untuk datang ke Batavia, tapi permintaan itu selalu saja ditolak. Coen mengakatan bahwa orang-orang Belanda yang tinggal di Batavia merupakan orang-orang rendahan yang tidak berperadaban.
Sepanjang periode awal kolonialisasi yang terjadi di abad ke-16 hingga ke-19, pengaruh bangsa Eropa khususnya Belanda justru tidak terlalu signifikan. Dibandingkan dengan Spanyol dan Portugis yang sudah memperkenalkan beberapa tanaman baru dan teknik pengolahan daging, Belanda Nampak tidak terlalu signifikan dalam perkembangan kuliner di Nusantara. Seorang ahli botani VOC berkebangsaan Jerman yang bernama Rumphius, memulai penelitiannya di Ambon dan dari penelitiannya ini ia telah berhasil mendokumentasikan 1.200 spesies tanaman yang kemudian data itu dicatat dalam berbagai bahasa antara lain, Belanda, Latin, Melayu, dan jika memungkinkan akan diterjemahkan juga ke dalam bahasa Ternate, Portugis, dan Hindustan (Fadly Rahman, 2016). Salah satu tanaman yang didokumentasikan oleh Rumphius adalah buah sukun (Soccuncapas) yang ditemukannya di Ambon. Buah yang umum bagi masyarakat lokal ini disebut oleh masyarkaat kolonial sebagai "buah ajaib" atau "buah roti" (bread fruit) atau broodvroucht (Fadly Rahman, 2016).Â
Pada awal kedatangan Belanda di akhir abad ke-16, peran Belanda dalam perkembangan kuliner Nusantara malah tidak berkontribusi apa-apa. Bangsa Belanda terkenal angkuh dan lebih memilih untuk fokus dalam pencarian rempah-rempah Nusantara untuk nantinya dijual kembali ke Eropa. Baru pada pertengahan abad ke-19 hingga abad ke-20, saat Belanda menjalankan politik kolonialisme di Nusantara, pengaruh Belanda terhadap kuliner Nusantara mulai terlihat. Lewat kebijakan politik kolonialisme ini, terjadilah persilangan antar kebudayaan Belanda dengan kebudayaan lokal yang akhirnya melahirkan kebudayaan baru yang bernama kebudayaan Indis (Djoko Soekiman, 2000). Melalui kebudayaan baru ini, mulai lah berkembangnya berbagai jenis makanan baru hasil akulturasi yang muncul di masa itu. Beberapa masih bertahan hingga saat ini dan beberapa telah hilang dalam masa pendudukan Jepang. Â Â Â Â
Kebudayaan Indis dan Pengaruhnya Dalam Perkembangan Kuliner Nusantara (Abad ke-19) Hingga Masa Pendudukan Jepang
Pada awal masuknya Belanda ke Nusantara, memang benar jika Belanda sama sekali tidak tertarik untuk membuat koloni di Nusantara. Hal ini didasari oleh pola pikir masyarakat Belanda pada masa awal itu yang menganggap diri mereka adalah yang paling superior, berpendidikan, dan berkebudayaan dibanding dengan bangsa lain apalagi dengan pribumi. Mereka akan menutup diri dan akan menjauhi segala apapun yang berhubungan dengan pribumi dan hanya fokus dalam kegiatan perdagangan rempah-rempah dengan para penguasa lokal saja. Hingga pada abad ke-18, ambisi Belanda dalam membentuk koloni di Nusantara mulai muncul untuk menggantikan perdagangan sebagai tujuan utama, yang secara perlahan interaksi ini menimbulkan akulturasi kebudayaan antara Belanda dengan pribumi.
Hasil pencampuran kedua kebudayaan ini kemudian dinamai "kebudayaan Indis" (Djoko Soekiman, 2000). Kebudayaan campuran ini terjadi pada sekitar periode abad ke-18 hingga pertengahan abad ke-20 yang ditandai dengan semakin intensifnya interaksi antara Belanda dengan pribumi. Proses pencampuran budaya ii melibatkan kaum intelektual Belanda diantaranya seperti seniman, cendikiwan, arsitek, dan rohaniawan, serta kaum terpelajat pribumi sebagai para agen kebudayaan. Adanya andil kaum terpelajar pribumi dalam proses pencampuran kebudayaan ini adalah untuk memastikan bahwa kebudayaan asli Nusantara tidak akan hilang (Djoko Soekiman, 2000). Kebudayaan baru hasil campuran dari kebudayaan Belanda dan Nusantara ini telah memberikan pengaruh yang signifikan dalam segmentasi kehidupan, termasuk pada pengolahan makanan, pola makan, dan kemunculan berbagai varian makanan baru.
Pencampuran budaya ini ternyata bukan dilakukan tanpa alasan. Makanan ternyata bisa dijadikan sebagai salah satu cara untuk menyebarkan agama Kristen yang cukup strategis dengan mengubah seleranya mengikuti kebudayaan dominan kemudian membuat yang ditaklukan bergantung pada "mulut dan perut" alias selera si dominan (Fadly Rahman, 2016). Seperti yang terjadi di Maluku dan Sulawesi Utara dengan munculnya kue onbijkoek, kue dengan bahan baku rempah seperti cengkih, kayumanis, jahe, dan pala, yang merupakan hasil perpaduan kue bolu dan taart khas Eropa. Ada juga klapertaart, kue taart berbahan tepung, gula, susu, mentega, daging, kelapa, dan santan. Begitu pun spekkoek, kue lapis legit hasil modifikasi lapis legit Belanda-Hongaria (dobostorte) yang dimodifikasi dengan ditambahkannya rempah-rempah (Moertono, 1985). Kue-kue tersebut merupakan contoh makanan hasil persilangan budaya. Dalam hal ini, kita dapat melihat bahwa makanan dapat memegang peranan penting dalam persebaran agama Kristen ( zending) yang dilakukan oleh misionaris pada abad ke-19.
Abad ke-19 merupakan masa dimana perkembangan makanan terjadi secara besar-besaran. Sistem Cultuurstelsel yang diterapkan Belanda ternyata memberi dampak besar bagi perkembangan variasi makanan yang terjadi di Nusantara. Bahan-bahan makanan yang populeritas meningkat antara lain, jagung, kelapa, aren, wuluh, dan padi. Pertumbuhan penduduk yang semakin padat membuat permintaan atas padi semakin menigkat. Peningkatan produksi bahan makanan membuat variasi bahan makanan menjadi lebih banyak, variasi bahan makanan membuat jenis makanan yang dapat dihasilkan juga semakin beragam, ditambah dengan pertumbuhan penduduk yang meningkat membuat produksi dan permintaan untuk bahan makanan dan pola makanan yang semakin berkembang pula.