Mohon tunggu...
Biasdini M
Biasdini M Mohon Tunggu... Part time writer

Hi, my name is Biasdini.

Selanjutnya

Tutup

Music

K-POP dan Masa Depannya: Akankah tetap Bersinar?

26 Agustus 2025   11:14 Diperbarui: 26 Agustus 2025   14:35 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wallpaper BTS (Sumber: Pinterest.com)

Industri Kpop kini sudah melampaui sekadar musik populer; ia menjadi fenomena budaya global yang menghubungkan jutaan orang dari latar belakang berbeda. Keberhasilannya bertumpu pada perpaduan unik antara musik yang catchy, tarian yang seragam dan energik, visual yang menarik, serta pemanfaatan teknologi digital untuk mendekatkan artis dengan penggemar. Dari sinilah lahir gelombang budaya Korea atau Hallyu yang meluas ke berbagai aspek, mulai dari drama dan film, sampai makanan, kecantikan, dan gaya hidup.

Kekuatan K-pop bisa dijelaskan melalui beberapa faktor. Dari sisi produksi, ada sistem pelatihan yang ketat dan panjang, audisi global untuk merekrut talenta dari berbagai negara, serta cara perusahaan mengemas idol group sebagai merek yang punya identitas kuat. Dari sisi pasar, permintaan datang dari berbagai belahan dunia, terutama anak muda yang mengkonsumsi K-pop lewat konser, album, platform digital, dan media sosial. Industri pendukung seperti K-drama, K-beauty, hingga pariwisata ikut merasakan dampak positifnya. Sementara itu, struktur persaingan diwarnai dominasi empat perusahaan besar yaitu HYBE, SM, JYP, dan YG yang tidak hanya saling bersaing ketat, tetapi juga bekerja sama di beberapa bidang seperti distribusi dan platform penggemar.

Keempat agensi besar ini punya ciri khas masing-masing. HYBE, misalnya, menaklukkan pasar global lewat BTS, mengembangkan multi-label, dan meluncurkan platform Weverse. SM sebagai pionir lebih dulu membangun pasar Asia, dengan identitas fandom yang kuat seperti "Pink Blood". JYP menonjol dengan perhatian pada kesejahteraan artis dan kualitas musik, serta lebih awal menggunakan sistem multi-label. Sedangkan YG dikenal dengan warna hip-hop dan R&B, serta reputasi global yang diperkuat oleh PSY dan BlackPink. Meski mereka bersaing, mereka juga kerap berbagi platform dan sumber daya demi memperluas jangkauan global.

Permintaan terhadap K-pop sendiri terus meningkat. Penggemar tidak hanya mendengar musik melalui streaming atau membeli album fisik, tetapi juga aktif di media sosial, membuat karya kreatif, dan membangun komunitas. Fenomena ini disebut sebagai relational labor, di mana fans bekerja secara sukarela untuk mempromosikan artis kesayangan sekaligus memperkuat ikatan dalam komunitas fandom. Selain itu, tren globalisasi budaya, kebijakan luar negeri, hingga keberadaan mahasiswa Korea di luar negeri ikut membantu menyebarkan K-pop ke audiens baru.

K-pop juga tidak berdiri sendiri; K-POP saling menguatkan dengan sektor budaya Korea lain. Keberhasilan drama seperti Winter Sonata hingga Squid Game memperluas rasa penasaran terhadap musik K-pop, dan sebaliknya. Pemerintah Korea pun berperan sebagai pendukung, bukan pengendali, dengan menyediakan infrastruktur, promosi, regulasi hak cipta, serta perlindungan bagi industri kreatif. Pandemi bahkan menjadi bukti ketahanan K-pop: meski sektor seperti fesyen dan kuliner menurun, musik dan konten digital justru semakin populer.

Wallpaper BTS (Sumber: Pinterest.com)
Wallpaper BTS (Sumber: Pinterest.com)

Namun, dibalik semua kesuksesan itu, ada tantangan besar yang harus dihadapi. Masalah tata kelola perusahaan, dominasi pendiri, hingga sistem produksi tunggal yang terlalu bergantung pada figur tertentu membuat industri rawan konflik. Tekanan besar terhadap artis, isu kesehatan mental, serta kontrak yang eksploitatif juga menjadi sorotan. Agar industri tetap bertahan, perlu ada reformasi manajemen, sistem label yang lebih fleksibel, perlindungan bagi artis, dan inovasi yang terus menyesuaikan diri dengan kebutuhan zaman.

Di masa depan, peran teknologi digital akan semakin krusial. Aliansi antara agensi hiburan dan perusahaan IT besar seperti Naver atau Kakao dapat menciptakan sinergi baru, sementara teknologi seperti AI, metaverse, dan blockchain membuka peluang ekspansi bisnis serta pengalaman baru bagi penggemar. Dengan memadukan kreativitas, strategi bisnis, dan teknologi, K-pop berpotensi bertahan bukan hanya sebagai tren sesaat, melainkan sebagai industri hiburan global yang berkelanjutan dan semakin berpengaruh. Ke depan, tantangan terbesar K-pop bukan lagi soal menaklukkan pasar dunia, melainkan bagaimana ia mampu bertahan sebagai industri yang adil, berkelanjutan, dan tetap memikat generasi demi generasi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun