Mohon tunggu...
Bhayu MH
Bhayu MH Mohon Tunggu... WIrausaha - Pelatih/Pengajar (Trainer) - Konsultan MSDM/ Media/Branding/Marketing - Penulis - Aktivis

Rakyat biasa pecinta Indonesia. \r\n\r\nUsahawan (Entrepreneur), LifeCoach, Trainer & Consultant. \r\n\r\nWebsite: http://bhayumahendra.com\r\n\r\nFanPage: http://facebook.com/BhayuMahendraH

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Menikmati Hidup

11 Januari 2015   05:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:23 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1420903527926585857

[caption id="attachment_389915" align="aligncenter" width="475" caption="Ilustrasi: Menikmati Hidup (Sumber: enjoylifeitisthejustone.blogspot.com)"][/caption]

Seorang sahabat di account Facebook-nya berkali-kali mengunggah fotonya sedang melakukan berbagai aktivitas. Tentu, semua terlihat ceria. Dan di salah satu fotonya yang sedang berada di restoran mahal, ia menuliskan caption “Menikmati Hidup”. Andaikata saya tidak kenal dia secara mendalam, tentu saya akan percaya.

Masalahnya, dia mantan saya, dan saya tahu problematika rumah tangganya karena ia pernah sepintas menceritakannya beberapa waktu lalu. Satu indikasi sederhana, di semua fotonya di account FB itu, sama sekali tak pernah terlihat fotonya bersama sang suami. Hanya dengan anak-anaknya saja. Kalau misalnya berkilah suaminya yang memotret, mungkin bisa saja. Tetapi “sama sekali tidak ada”? Rasanya aneh bukan?

Tapi saya tidak hendak membicarakan mengenai beliau. Saya hanya hendak sedikit mengulas mengenai kalimat “menikmati hidup” yang dipakainya itu.

Sebenarnya, apa sih “menikmati hidup” itu? Di media sosial, saat artis Syahrini berpose norak dalam foto dan video, ada yang mengomentari, “Senorak apa pun dia, dia menikmati hidup. Tasnya Hermes, makannya steak mahal. Daripada lu, tas kresek makan mie instan.”

All right. Benarkah itu? Benarkah “menikmati hidup” selalu terkait dengan materi?

Kalau saja Anda hanya ‘nguplek’ di rumah dan di tempat kerja, mungkin akan merasakan benar hal itu. Teman apalagi atasan yang lebih kaya terlihat lebih menikmati hidup.

Tetapi cobalah sekali-sekali Anda pergi dan menginap di desa, apalagi di kaki gunung yang belum ada listrik. Saya kok merasa, mereka yang hidup tentram di desa tersebut jauh lebih menikmati hidup. Bukankah hiruk-pikuk ala kota besar terutama di media massa dan media sosial sesungguhnya bukanlah hidup kita? Soal menteri menenggelamkan kapal, soal Air Asia, soal Charlie Hebdo, apakah semua itu ngaruh di hidup asli kita? Saya yakin tidak.

Dari tulisan jurnalisme “copy-paste” di Kompasiana, saya belum membaca –mohon informasinya kalau mungkin saya terlewat- satu pun tulisan dari keluarga korban Air Asia misalnya. Apalagi tentu tak ada yang terkait langsung dengan Charlie Hebdo.

Itulah yang kita akan rasakan di desa. Jauh dari hiruk-pikuk masalah yang bukan masalah kita.

Apa sih sebenarnya masalah kita? Ya keluarga kita itulah. Mereka yang sehari-hari berada bersama kita. Oleh karena itu, beberapa hari lalu saya menurunkan tulisan berjudul “Belajar Menghargai Orang Yang Kita Kenal”.

Karena seringkali kita alpa, sibuk membayangkan hidup orang lain seperti apa, sehingga tidak menikmati hidup kita sendiri. Makan semangkuk mie instan ditemani segelas air bening pun akan terasa nikmat bila hidup kita penuh syukur kepada Tuhan. Bukankah begitu?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun