Indonesia selalu membanggakan diri sebagai bangsa religius. Kita memiliki enam agama resmi yang diakui negara, ratusan kepercayaan lokal, serta kehidupan masyarakat yang katanya toleran. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan sisi lain intoleransi atas nama agama justru semakin menjamur.
Mulai dari pembubaran ibadah, penolakan pendirian rumah ibadah, diskriminasi terhadap kelompok minoritas agama, hingga ujaran kebencian yang tersebar bebas di media sosial.Â
Masih segar dalam ingatan kita bagaimana sekelompok orang mengintimidasi jemaat yang sedang beribadah hanya karena dianggap tidak sesuai aturan mayoritas.Â
Atau bagaimana sebuah gereja, vihara, atau rumah ibadah minoritas lainnya tak kunjung mendapat izin karena alasan penolakan warga.
Yang menyedihkan, semua itu kerap terjadi di bawah tatapan negara. Alih-alih melindungi hak beragama warga negara, negara justru tampak gamang kadang diam, kadang setengah hati menindak, dan tak jarang malah terkesan membiarkan.
Padahal konstitusi kita jelas: setiap orang berhak memeluk agama dan beribadah menurut keyakinannya masing-masing. Lalu mengapa dalam praktiknya, kebebasan itu seolah diberikan hanya kepada yang mayoritas, yang dianggap sesuai, dan yang tidak bikin ribut?
Apakah negara sedang lalai, atau memang sengaja tutup mata?
Intoleransi agama bukan sekadar pelanggaran sosial ia adalah ancaman terhadap pilar kebangsaan. Jika dibiarkan, ia akan memecah persatuan, menumbuhkan kebencian, dan merusak generasi.Â
Bayangkan anak-anak tumbuh dengan melihat bahwa perbedaan agama adalah ancaman, bukan kekayaan. Bayangkan generasi muda percaya bahwa iman orang lain adalah musuh, bukan sesama manusia yang harus dihormati.
Sudah saatnya negara hadir dengan sungguh-sungguh. Bukan sekadar mengeluarkan pernyataan kami prihatin, tapi dengan kebijakan dan tindakan nyata menegakkan hukum secara adil, menghapus diskriminasi dalam perizinan rumah ibadah, memperkuat pendidikan toleransi lintas agama, serta melindungi semua umat beragama dari intimidasi dan kekerasan.