Indonesia adalah negeri yang dikaruniai keberagaman luar biasa. Dari Sabang sampai Merauke, terdapat lebih dari 700 bahasa daerah, ratusan suku, dan berbagai agama serta kepercayaan yang hidup berdampingan.Â
Namun, ironi muncul ketika keberagaman yang seharusnya menjadi kekayaan justru melahirkan gesekan. Intoleransi, baik dalam bentuk halus maupun terang-terangan, masih menjadi luka terbuka yang menghambat persatuan sejati bangsa ini.
Saya pernah merasakannya langsung. Dalam sebuah diskusi antar kampus di Medan, saya menyaksikan bagaimana sebuah perbedaan pendapat dalam hal keyakinan malah ditanggapi dengan sindiran dan penolakan.
Alih-alih membuka ruang dialog, beberapa peserta justru memandang rendah sudut pandang yang berbeda. Bukan hanya kecewa, saya merasa waswas jika lingkungan terdidik saja masih sulit menerima perbedaan, bagaimana dengan masyarakat luas?
Menurut Setara Institute, sepanjang tahun 2024 masih terjadi banyak pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan, mulai dari penolakan pembangunan rumah ibadah hingga ujaran kebencian di media sosial. Intoleransi tak selalu hadir dalam bentuk kekerasan fisik.Â
Ia bisa menyusup lewat candaan rasis, pengucilan sosial, hingga pembatasan akses kerja atau pendidikan hanya karena identitas yang berbeda. Lebih ironis lagi, banyak kasus itu muncul di lembaga pendidikan atau tempat ibadah ruang yang seharusnya mengajarkan kasih dan damai.
Penyebab intoleransi bukanlah satu hal, melainkan hasil dari berbagai faktor yang saling menguatkan. Kurangnya pendidikan tentang keberagaman, media sosial yang penuh ujaran kebencian, lingkungan sosial yang homogen, serta minimnya ruang dialog menjadikan masyarakat kerap melihat perbedaan sebagai ancaman, bukan sebagai kekuatan. Bahkan kurikulum pendidikan pun terkadang belum menanamkan nilai multikulturalisme secara mendalam.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Upaya untuk mengatasi intoleransi tidak cukup hanya lewat imbauan atau peraturan. Ia butuh aksi nyata yang dimulai dari tingkat keluarga, sekolah, komunitas, hingga kebijakan negara.Â
Edukasi tentang keberagaman harus dimulai sejak dini, bukan sekadar mengenalkan budaya lain, tetapi menanamkan sikap hormat terhadap perbedaan. Ruang dialog antariman dan antarbudaya juga harus terus dibuka bukan untuk menyamakan keyakinan, tetapi untuk saling memahami.
Kaum muda bisa menjadi agen perubahan. Kampus, gereja, masjid, dan komunitas sosial bisa menjadi ruang kolaborasi lintas iman. Proyek seni, festival budaya, atau kegiatan sosial bersama adalah cara sederhana namun kuat untuk membangun jembatan antar kelompok.Â