Mohon tunggu...
Betrika Oktaresa
Betrika Oktaresa Mohon Tunggu... Administrasi - Full time husband & father. Part time auditor & editor. Half time gamer & football player

Full time husband & father. Part time auditor & editor. Half time gamer & football player

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Memantrai Hati Menengok Memori

24 Desember 2019   14:25 Diperbarui: 24 Desember 2019   14:52 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Via spotify.com, copyright: Kunto Aji, Mantra Mantra

"Ya Allah, saya ikhlas jika saya gagal dalam seleksi beasiswa ini, tapi saya mohon sembuhkan Ayah saya."

Kalimat itu adalah sepenggal bagian dari doa yang saya panjatkan kepada Tuhan YME, sang Pemilik Semesta, ketika menunggu Ayah saya yang sedang dalam kondisi kritis karena penyakit jantungnya. 

Waktu itu, saya sedang menunggu panggilan wawancara sebagai rangkaian proses seleksi beasiswa untuk program S2 yang saya ikuti. Seingat saya, saya terus berdoa dengan permintaan yang sama, berharap kesembuhan bagi Ayah. 

Ketika itu saya terus memupuk yakin, bahwa Ayah saya akan diberikan kesembuhan, dan saya siap mengubur mimpi saya berkuliah di luar negeri. Ayah saya lebih penting, karena kepadanya saya selalu bisa menjadi Betrika yang manja, yang selalu dijaga, meski sudah berusia tak lagi remaja.

Hari berganti, sampai akhirnya Sang Khalik memutuskan untuk memberikan cerita yang berbeda dari asa. Ayah saya pergi untuk selamanya. Kala itu, tentu batin dan raga ini terpukul tak terhingga, rasa sedih menyayat hati. Namun, jauh di dalam hati, rasa amarah lebih banyak mendominasi. Saya tidak terima Ayah saya diambil begitu saja, "Kenapa permintaan saya tak didengar oleh-Nya?!"

Setelahnya, menjalani langkah ini terasa tak mudah. Terlebih ketika rasa rindu terus menumpuk memenuhi hati, rasanya justru menyayat dan mencabik menyakiti diri. Ayah selalu ada, memberi teladan bukan paksaan, memberi arahan bukan aturan. 

Ketika Ayah sudah tak ada, saya hilang arah, tak tahu jalan. Mengingatnya memberikan bahagia namun diiringi dengan semakin menancapnya luka. Mengingatnya menghadirkan ketidakhadiran, the presence of absence. Sebuah kerinduan pada seseorang atau sesuatu yang kita kasihi, tetapi kita tahu kita tidak akan pernah bisa mengalami lagi. 

Dari kondisi inilah saya menemukan sebuah kata, Saudade. Kata yang menjadi judul sebuah lagu karya Kunto Aji, seorang sahabat sejak masa remaja saya dulu di Jogja. S

aya sering dengar, ketika kita mendengarkan sebuah lagu, mungkin saja masing-masingnya akan memiliki penerimaan yang berbeda. Interpretasi yang tak sama. Bagi saya, Saudade seakan menceritakan bagaimana Ayah saya membisikkan kepada saya segala pesan dan tauladannya.

"Jadi, jadi
Besar dan bestari
Serap, serap
Yang baik untukmu"

"Oh disana
Berdirilah engkau
Dengan senyuman
Dan keping harapan"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun