Mohon tunggu...
Beti.MC
Beti.MC Mohon Tunggu... Relawan - Menulislah Selayaknya Bertutur, Mengalirlah Energi Kebaikan

Berbagi pengalaman, kesempatan dan cerita sehari-hari.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Nasi Goreng Tole

22 April 2021   06:58 Diperbarui: 22 April 2021   07:08 737
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ma, aku ikut lomba memasak nasi goreng di sekolah", kata Tole siang itu.

"Lalu, bagaimana cara mencicipi, Le?"  

"Nanti prosesnya saja yang difoto atau divideokan kemudian dikirim, tidak perlu dicoba", imbuhnya.

Aku bertanya mengapa dia ingin ikut lomba itu. Dia menjawab, teman-temannya tidak ada yang mau karena sudah ikut lomba yang lain. Aku masih penasaran mengapa dia ingin ikut. Kepo, banget kan.

Menurutnya, lomba ini mudah, toh, dia pernah membuat nasi goreng saat ekskul Pramuka. Walaupun lomba tidak mempertimbangkan rasa, aku menyarankan untuk bertanya pada Eyangti agar mendapat resep yang enak. Dia setuju untuk konsultasi dengan Eyangti dan mempersiapkan bahan-bahan yang diperlukan.

Peringatan Hari Pramuka kali ini diisi dengan berbagai lomba. Ada lomba membuat puisi, tulisan, video, termasuk memasak nasi goreng yang diikuti anakku. 

Aku sebenarnya masih penasaran bagaimana penjuriannya, tetapi sudahlah, pasti sekolah punya sistem penilaian yang adil. Setelah Tole bertanya resep nasi goreng istimewa, persiapan pun dilakukan dengan mengecek isi kulkas. 

Nah, aku kebagian tugas memotret dan memvideokan proses memasak nanti. Memang asyik ya, belajar di rumah, anak bisa bereksperimen dan orang tua juga bisa terlibat, walaupun bagian asrot (baca: asisten sorot) saja.

Memasak, adalah salah satu kegiatan yang bisa dilakukan siapa saja. Tetapi, belum semua sepakat kalau urusan memasak itu lumrah dilakukan oleh kaum lelaki. Teringat masa kecilku, saat lelaki tidak bersentuhan dengan tugas-tugas kerumahtanggaan. Dengan kata lain, peran perempuanlah yang dominan mengerjakan tugas-tugas rumah tangga.

Ehm, aku ingat juga bahwa tugas menata meja, membantu ibu mempersiapkan makanan, menyapu, mengepel, menyiram tanaman itu jadi tugas kami, anak perempuan. Sementara untuk membersihkan mobil, biasa dilakukan bapak dan saudara laki-lakiku. Seolah ada pembagian tugas begitu di rumah. Tapi itu dulu, sewaktu aku belum mengenal tentang peranan di rumah, bisa dilakukan laki-laki dan perempuan.

Bekerja di bidang sosial membawaku dalam pemahaman baru dan pemikiran-pemikiran yang luas, sesekali mendobrak tradisi di rumah. Tak pahamlah aku dulu kenapa hanya kami yang diminta membersihkan rumah, karena takut bertanya dan merasa memang itulah tugas kami. 

Berkat mengikuti pelatihan dan membaca tentang kesetaraan gender, makin terbukalah jendela informasiku bahwa sebenarnya kita ini, mahluk yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan hanya berbeda jenis kelaminnya saja, tetapi untuk pengembangan minat, kesempatan dan memilih peran atau tugas yang akan diemban, kita semua setara, tak dibedakan. Inilah yang dinamakan konstruksi sosial, bahwa ada peran/ tugas tertentu yang dilekatkan pada jenis kelamin tertentu, sehingga jika dilakukan oleh jenis kelamin yang lain, dirasa aneh/ tidak wajar.

Aku pun bergejolak saat mengetahui konsep-konsep baru ini, tetapi perlahan mulai memahami  bahwa memang ada hal-hal yang dulu tidak terpikirkan karena memang belum mendapatkan pengetahuan ini. 

Termasuk yang paling mudah, mengapa bayi perempuan identik dengan warna pink? Terus, kalau mainan motor-motoran itu identik dengan mainan anak laki-laki? Ini jadi perhatian khusus saat aku hamil. 

Aku tidak menerapkan warna seragam biru untuk semua perlengkapan bayiku meskipun berdasarkan hasil USG diketahui jenis kelaminya laki-laki. Aku tidak anti warna pink, dan saat dia mulai bermain, pilihan mainan apa saja aku berikan termasuk boneka dan permainan masak-masakan.

Ya, aku hanya ingin menerapkan ilmu yang baru, anak belajar dan bisa distimulasi melalui banyak hal. Pemahaman untuk tidak membeda-bedakan tugas tertentu hanya dilakukan oleh jenis kelamin tertentu, aku terapkan di rumah. 

Tugas merawat rumah dan mendidik anak, kami lakukan bersama-sama. Termasuk saat aku tidak bisa menyiapkan makanan, suami turun tangan membantu tanpa diminta.  

Memang tidak mudah melakukan perubahan. Tetapi jika kita meyakini bahwa perubahan itu baik, tentu akan berupaya untuk melakukannya. Seperti dahulu, di banyak keluarga hanya anak laki-laki saja yang disekolahkan tinggi, sementara anak perempuannya tinggal di rumah, itu karena anggapan bahwa perempuan tak jauh dari urusan rumah. 

Kini, perlahan perempuan pun mulai mengembangkan diri dan menjalani beragam profesi. Hal itu juga bukti bahwa perempuan bisa mengenyam pendidikan dan mengembangkan diri seperti kaum laki-laki.

Nah, keputusan Tole mengikuti lomba masak di sekolah perlu dukunganku karena dia berhak mengekpresikan apa yang disukainya. Kebetulan saja Tole suka bereksperimen di dapur, sekarang dia menjajal kemampuannya untuk berpartisipasi pada perlombaan sekolah.

Dari sepiring nasi gorengnya terselip perjuangan kami untuk memperkenalkan kesetaraan gender di lingkup paling kecil, keluarga. Ini jadi cerminan, anak laki-laki bisa melakukan tugas di dapur dan membantu ibu juga, bukan hanya anak perempuan yang selalu diminta untuk urusan rumah tangga. 

Hal ini bisa jadi bekal mereka dewasa nanti, mengajari anak-anak mereka untuk berbagi peran yang setara, tak timpang hanya di salah satu gender saja.

21 April 2021

Ed.Dina Ananti

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun