Mohon tunggu...
Betarix polenaran
Betarix polenaran Mohon Tunggu... Buruh - Penulis dan Pencinta Sastra

Penulis lahir di Watobuku, 20 Juni 1995

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bilik yang Terluka

20 Maret 2019   09:27 Diperbarui: 20 Maret 2019   09:34 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerpen

Bilik Yang Terluka

 

Oleh Beatrix Aran

Aku dengar sapaan bisu di tengah pengap yang nyaris manja pada subuh yang beku dari bilik yang sunyi, namun mengapa kali ini ia terluka setelah kubenamkan kepolosan pada jemari nista sang perawan?

***

Mengalir, meleleh keringat sembari menetes dalam gerimis hujan dari wajah kusamku.

Sekali lagi aku ingin berkisah tentang tragedy silam di pelataran penjara suci.

Tragedi silam menjadi mimpi terburuk yang sengaja kubiarkan lapuk bersama gerimis dan lebih tepatnya kubiarkan berlalu tanpa ada solider dari pemilik kisah itu, apalagi menaklukan kesepian bersama sepotong hati yang remuk, lebur tinggalkan puing-puing kehancuran.

Sungguh kali ini aku terluka, ditambah lagi luka bisu bilik malam itu.

Segalanya telah terjadi , dan diam-diam malam seperti beradu pandang dengan kisah silam itu.

Dibantainya sepi yang rasa-rasanya semakin asing dan seketika mataku melotot pada birahi yang pekat. Tragedi yang pada kebanyakan kaum muda dalam penjara suci itu merupakan kiblat galau yang terus terpasung dan hal itu telah berlaku bagiku.

***

Bisikan mesra angin malam, berulangkali mendatangkan goda yang pada akhirnya menghantar bibirku bersetubuh dengan potret dari balik bingkai made in japan.

Ah, setelah puas nafsukku,barangkali aku membalikkan tubuhku merebahkannya pada pangkuan palang kegelian.Mata sang perawan itupun seketika sembab.

Tragedi silam itu,sungguh sebuah petaka bagiku.Lebih tragis dari tenggelamnya kapal titanic dan lebih kejam dari membiarkan gerimis duka mendandani pasang di pasifik.

Wajahku berbaris pasi, keriput, lebih jelek dipandang bila disandingkan dengan benteng lohayon pulau solor yang masih tegak berdiri meski berulangkali dihantam badai.

Hanya aku dan dia di pelataran penjara suci, menunggu datangnya pagi.

***

Aku lelaki berparas malaekat, meski bukan malaekat seperti yang diidolakan.

Roman muka kumodifikasi sedemikian kalem sehingga selalu dipandang alim, jenggot kupotong serata dagukku mirip lopo di sepanjang pantai kota Rowido.

Dan,ah aku mulai merasa benar-benar ganteng setelah senja dan sebelum pagi.

Namun menjadi ganteng ukuran orang muda dalam penjara suci itu menuntutku setiap saat harus membayar selusin bibir berharap agar secepatnya kata itu larut dalam ingatan mereka.

Ah,entalah . Sampai harus bergulat dengan kata itu, akupun berani memutuskan untuk mengambil jalan tengah diantara ganteng dan tidak.

Selalu saja jawaban dilematis yang kudapatkan, namun apapun itu tidak membatasi kemungkinan buatku untuk mengumandangkan kerinduan.

Itulah prinsip yang selalu kupegang.

***

Awalnya aku orangnya pendiam,entah kenapa aku selalu saja dikagumi sebagai sosok yang diam bahkan sampai harus berdiam diri. Pernah terungkap lewat bibirku kepada seorang teman bahwa diam itu berkat, diam itu anugerah yang belum saatnya ku telanjangi dengan kata-kata menawan dan mungkin diamku lebih dari kalimat yang pernah tersimpan di lidahku yakni doa. Aku mencintai diam, seperti aku mencintai kediamannku yakni penjara suci dengan butir-butir Rosario yang kuselip disetiap ucapanku dengan gema kidung mazmur yang setia menemani pagi. Aku gemar membuat puisi, cerita pendek bahkan opini yang mengalir dari bias kesunyian bilik itu. Singkatnya aku menjalani hari-hariku berpapasan mesra kesunyian dan kesepian.

Inilah hidup yang telah Tuan Deo gariskan kepadaku untuk selalu menata hari berbunga doa.

Semenjak kepergian ayah kepangkuanNya, aku ingat betul wasiat terakhir ayah

"Dalam lubuk hati yang paling dalam,ayah ingin engkau berkarya di lading Tuhan" kata ayah di sela-sela nafas terakhirnya. Kata-kata yang lebih etis mewakili tabiat seorang ayah,akhirnya akupun mengamininya. Aku anak pertama dari lima bersaudara sekaligus anak kesayangan ayah dan ibu. Ayah, ibu, dan teman-teman memanggilku Petrus alias Peter.

Nama yang unik dengan segala keunikan yang kumiliki.

***

Kuayun langkahku menuju pelataran ditemani Samsung galaxy yang lampunya semakin larut semakin redup.

Jantungku berdegup kencang, sungguh kali ini aku benar-benar mengenal bahkan jatuh cinta.

Jemariku kurapatkan barisan,sesekali jempol ku kulayangkan pada tombol send.

"Wah, sesuatu yang memang nampak, namun juga langka yakni seorang lelaki penakut seperti diriku berani menghadirkan perempuan dalam rentang waktu yang bisa dihitung dengan jari".

Kebarek, begitu orang mengakrabinya. Rambut keriting yang sengaja dilepas sepanjang bahu mirip gelombang laut sawu,dengan semarak senyum yang juga asing bagiku.

"Hi,salam kenal", wajahku gugup seketika lantaran terperangkap dalam kedua bola matanya yang biru nirmala. Disorongkan tangannya menyentuh jemariku, ada rasa curiga dihibahkan ke pikiranku takut kalau ada Pembina yang melintasi pelataran itu.

"Nona sedang buat apa disini?"Tanyakku ingin tahu.

"Aku hanya sekedar jalan-jalan mengisi liburanku" seketika disarungkan tangannya kembali kedalam saku.

Tanpa bertanya panjang lebar,diselimuti rasa takut, aku langsung berbalik arah menuju bilikku tanpa pamit.Bilik yang semakin sunyi hanya terdengar denyut weker dari balik pintu.

Pikiranku semakin kacau balau.Semuanya hanya ingin terpusat pada satu titik yakni kebarek.

***

Hari semakin senja, hasrat menggugatku untuk selalu bersua rupa kebarek.

Menyelami isi terdalam dari pesan terakhirnya

"Kopong, sejumput memori belum sempat kuabadikan.Rindu terus menggelora.Dengan perasaan takut, kau sobek pertemuan di puncak sunyi.Aku menunggumu di pelataran.

Kebarek Sekilas badan dan isi hatikku lemas di bahu kanannya.

Ini aku,mea cupla. Sorot matanya berubah kali ini lebih sendu dari matahari senja di puncak ile mandiri.Kulihat butir-butir air matanya menggayuti kelopak matanya yang bening.

Sejenak kesangsianku sirnah, kutarik mukanya ditatapnya dalam-dalam takut kalau aku akan berbuat aneh terhadap dirinya.

Roma mukanya searah denganku, birahi pekat yang semakin pekat menjelma sinar yang tersingkap di bibir mungilnya.

Kudekap sampai lumat tubuhnya, langkahpun beriringan menuju bilik sunyi.Meretas bibirnya yang gersang pada mulutku yang congkak.

Dan, ah menyisahkan kemerah-merahan sepanjang urat tenggorokan masih kuat menahan sentuhan.

***

Peter, aku hanya ingin membantumu, menyelesaikan persoalan yang tengah kau hadapi"kata Pade menguatkan. Aku ingin engkau kembali seperti Peter yang pernah kukenal. Diammu kali ini membawa air mata yang tak tahu arah dan tujuan.

Peter yang tidak terlupakan dalam seloroh yang menjengkelkan, meringkus dalam bilik sunyi penuh harap untuk melupakan Kebarek. "Sudalah, terkadang situasi manusiawi menuntut kita untuk sejenak mengkhianati Tuhan.jangan sesali semua yang telah terjadi.Bukankah Tuhan pun pernah digodai iblis?"Pade berargumen.

Yang aku sesali saat ini yakni telah mencoreng arang di tubuh Kebarek.Kebarek yang sejatinya perawan fisik,telah kunodai dengan aksi gilaku tanpa mempedulikan martabatnya.

Kucakar-cakar wajahnya jika belum puas nafsuku, hingga kebarek berbaring lemas.

Mea cupla.

Ku angkat samsung kesayanganku mencoba menghubungi Kebarek. Dari kejauhan pandanganku melayang pada sosok petugas penghantar Koran.

"Saudara yang bernama Peter?"sambil merogohkan tangannya di dalam tas.

"Ada titipan dari nona Kebarek, ia sudah pergi kemarin pagi untuk melanjutkan studi di University of Lowa,Amerika Serikat.

***

Semalam suntuk aku tak bisa tidur, perasaan bersalah terus menghantuiku apalagi menghantui panggilanku yang luhur dan mulia.

Kuambil sepucuk surat yang sempat juga dilampirkan foto potret Kebarek.

Kata demi kata ku pahami dan yang paling menggairahkan hingga membuat aku ingin memiliki Kebarek seutuhnya yakni ia bisa memahami arti dari sebuah kebisuan.

"Peter,aku tidak berani mencintaimu karena aku tahu engkau masih mencintai Tuhan.

Cinta pada giliranku hanya sebatas pada pandangan cinta-cita.

Aku paham, dengan kehadiranku membuat bilik sunyimu terluka.Berusahalah menepis pekat yang menggumuli hidupmu. Itulah berkat dalam diammu.

Salam kebarek.

Merinding, mencekam, aku merasa benar-benar berdosa setelah membaca surat Kebarek bukan karena kehadiran Kebarek dalam bilik sunyi itu tetapi aku telah menodai keperawanan bilik itu yang telah memahkotaiku dengan segala kebisuan.

Penjara Suci,16 Agustus 2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun